Hai,
kemarilah. Duduklah bersamaku barang sebentar. Kita minum kopi dan bersantai
bersama nikmati suasana. Biarkan aku membacakan sebuah surat yang ingin
kukirimkan pada seseorang di sana. Dengarkan dulu dengan sabar. Jangan, jangan
tertawa dulu ataupun mengejekku sebelum aku kelar. Uhm, tes tes. Sudah siap?
“Teruntuk
yang telah melepaskan masa lajang,
Bagaimana
kau di sana? Sudah lama kita tak pernah bersua. Sejak kapan? Lima tahun? Bukan,
sepuluh tahun yang lalu tepatnya. Terakhir kali kita bertemu adalah di hari
kelulusan kita, di saat kita berdua masih bocah ingusan. Kau masih ingat? Kita berpisah
dengan menyisakan sedikit luka.
Maaf mungkin
kau menganggapku sedikit lancang (atau bahkan jalang). Tapi sungguh aku tak
bermaksud menggali kenangan yang sudah lama terkubur dan perlahan menghilang. Memang,
dulu aku sempat menyukaimu bahkan terang-terangan. Orang bilang itu cuma cinta
monyet. Atau malah kamu memang cinta pertamaku? Ah, aku tak tahu. Namanya juga
bocah, suka sok fasih bicara cinta padahal belum tahu benar itu makanan apa. Juga
belum pernah merasa kecewa karena cinta. OK, cukup tentang kita. Nanti malah
ada yang marah. :P
Oiya, kulihat
kamu sudah menikah. Aku tahu dari akun media sosialmu. Kau tampak begitu
bahagia di fotomu dengannya. Senyummu begitu merekah. Dan kau masih tetap sama,
tampak seperti kucing saat kau tertawa. Aku ikut senang, meski sempat merasa
ada yang hilang. Entah, aku tak tahu apa yang kurang. Mungkin karena kabarnya
sedikit mengejutkan.
Maaf, aku
tidak bisa datang waktu itu. Bukan, bukannya aku tak mau. Namun jaraklah yang
mengganggu dan waktu yang tak mau menunggu. Sungguh, kalau boleh aku bicara,
aku benar-benar ingin menjadi salah satu saksi dari hari bahagiamu. Melihatmu
tersenyum sebagai pengantin baru. Tapi apalah dayaku karena begitulah adaku
kala itu.
Eh, boleh
aku bertanya? Apa kamu bahagia sekarang? Pertanyaan retoris ya? Hahaha, OK, aku
ganti pertanyaannya. Bagaimana rasanya menjadi seorang suami? Bagaimana rasanya
memiliki istri? Sungguh aku iri. Sering aku melamun seorang diri, kapan aku
akan segera mengakhiri masa lajang ini. Tapi tampaknya Tuhan masih tak rela aku
bersuami.
Well, selamat
atas pernikahanmu. Selamat karena kau telah melepas masa lajangmu. Maaf karena
aku mengucapkannya hanya lewat surat dan bahkan sedikit terlambat. Semoga kalian
bahagia sampai akhir hayat. Sampai bertemu di saat yang mungkin tepat untuk membagi
cerita yang pernah terlewat. :D
Aku, yang
suka mengenangmu sebagai cinta monyetku.”
Bagaimana?
Kau menyukainya? Cheesy ya? Baiklah, akan kusimpan saja surat ini dan
membiarkannya tetap terlipat rapi. Ayo, kita minum kopi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar