Minggu, Agustus 01, 2010

Sebuah Kisah tentang Kita

Ini sebuah kisah tentang cinta. Kisah sederhana tentang sebuah persahabatan. Ini sebuah cerita tentang aku dan kau. Sebuah kisah tentang kita.

Tak terasa, telah cukup lama kita ukirkan kisah kita berdua. Bersama. Satu tahun, bukan waktu yang singkat untuk berlalu begitu saja. Pun cukup untuk membuat aku terbiasa akan hadirmu. Pertemuan kala itu, aku rasa sebagai sebuah kebetulan yang indah. Namun, aku juga yakin bahwa tak ada kebetulan di dunia ini. Semua telah digariskan oleh-Nya. Pertemuan kala itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu itu apa. Secercah rasa aman serta nyaman saat berbincang denganmu. Menyenangkan, mungkin itu kata yang tepat untuk mengungkapkan saat-saat yang berlalu bersamamu.

Canda itu, tawa itu, senyum itu, selalu tularkan bahagia dalam hatiku. Kau seorang yang mampu hadirkan senyum di sela tangisku, kelegaan di atas resahku. Kau mampu hadirkan bahagia dalam sedihku. Kau seorang yang mampu mengerti sedihku tanpa aku perlu mengatakannya. Kau seorang yang mampu mendengar tangisku tanpa aku meneriakkan perihku. Kau seorang yang berarti bagiku. Mungkin bahkan yang mengerti tentang aku.

Seorang sahabat, itu gelar yang kuberikan padamu ketika kita pergi ke suatu tempat berdua. Kau pun tersenyum padaku, mengulang kata itu dengan lirih, lembut mungkin. Sahabat.. hmm, kata yang indah memang. Seindah waktu itu.

Telah cukup lama kau lukis kenangan dalam hatiku. Membubuhkan warna dalam hariku, bersedia menemaniku ke mana pun aku mau. Kau luangkan waktu berhargamu hanya untuk menungguku. Telah cukup lama keadaan itu berlangsung hingga aku tak sadar aku telah benar-benar bergantung padamu. Apakah kau tahu, sebelumnya tak pernah aku gantungkan asaku pada seseorang. Apakah kau tahu, tak pernah kuperlihatkan lemahku pada orang luar. Tapi tidak kali ini, entah mengapa pintu ini terbuka lebar untukmu. Entah mengapa kubiarkan pertahananku runtuh. Entah mengapa kuijinkan kau mengetahui sisi diriku yang rapuh. Ironis memang. Aku yang biasa sendiri, Aku yang bertemankan dengan sepi kini berharap akan datangnya mentari.

Aku tahu banyak hal yang telah terjadi pada kita. Sebuah pertengkaran, beribu tawa dan canda, tak urung pula kesedihan hadir pada hariku juga harimu. Kita pernah terjatuh, aku maupun dirimu. Namun, kita selalu bisa bangkit untuk berdiri dan mulai bersiap untuk lari. Masih bersama. Kita sejajarkan langkah, berjalan seirama. Mungkin bagaikan bergandeng tangan.

Kini, sesuatu pun tak terelakkan untuk terjadi. Sesuatu yang mungkin akan memisahkan jalan kita. Ya, sebuah persimpangan. Kita berdiri dan berhenti di sebuah persimpangan, di mana suatu pilihan menentukan masa depan. Kita termenung, hmm, mungkin bukan kita, melainkan aku. Aku berusaha untuk berpikir, membuat suatu keputusan tanpa harus mengubah banyak hal. Kuakui aku memang terlalu pengecut untuk melakukan perubahan. Apalagi perubahan akan hubungan kita. Jika perubahan yang lebih baik, mungkin aku akan yakin. Namun entah mengapa tak mampu kulihat keputusan yang benar-benar baik. Keputusan sempurna yang sesuai dengan inginku. Egois memang. Tapi begitulah aku, dan terima kasih padamu karena sudah mau mengerti aku.

Suatu hari pesan itu datang menghunjam jantungku. Pesan singkat yang kau kirimkan padaku hari itu. Pesan yang mampu hentikan napasku untuk sejenak bahkan mungkin denyut jantungku sebelum akhirnya berubah cepat. Pesan yang mengatakan bahwa kau telah menemukan hatimu. Sakit. Entah mengapa. Aku tahu sebagai seorang sahabat aku harus mendukungmu. Aku memang membalas dengan kata-kata dukungan saat itu, tapi aku tidak merasakan ketulusan dari kata-kata itu. Aku rasakan aku mati. Hatiku seolah kembali beku.

Esoknya, kita bertemu. Kau berhutang sebuah cerita kepadaku, cerita tentang hatimu. Sebenarnya aku tak mampu mendengarnya. Bagaimanapun aku sahabatmu yang harus mendengar kisahmu kan? Karena memang itulah gunanya sahabat. Sebagai pendengar. Hatiku ter-iris setiap kau ceritakan tentang dia, tapi aku harus tetap tersenyum. Aku tahu senyum itu pasti terlihat terpaksa, bagaimanapun, aku tak ingin merusak aura bahagiamu hanya karena ke-aku-anku.

Dari awal aku tahu dan berusaha untuk tak berharap banyak padamu. Karena aku tak ingin merusak semuanya yang memang terasa sempurna dan begitu indah.

Hari itu pun tiba. Nasib tak berpihak padaku. Sebuah keputusan besar harus dibuat. Kala itu, aku memutuskan untuk bungkam, melihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun ternyata tak bisa seperti itu. Di saat kuputuskan untuk tak mengungkapkan persaanku padamu, kau malah telah mengetahuinya. Bodoh memang jika mengharap kau tak akan tahu, mengingat selama ini kau selalu mengerti.

Kini, semua telah terungkap. Semua telah berakhir. Mungkin memang harus berakhir begini. Mungkin memang inilah saatnya kita berjalan di jalan masing-masing. Aku dengan jalanku. Kau dengan jalanmu yang mungkin bersama dia yang akan menemanimu. Aku berusaha untuk yakin bahwa ini yang terbaik karena ini adalah rencana Tuhan untuk aku dan juga dirimu. Tuhan sudah tahu dari awal Dia menulis cerita tentang kita. Sekeras apapun aku berusaha, sekuat apapun aku berharap, semua seolah tak mungkin aku raih karena memang ini akhir yang dituliskan Tuhan meski cerita tengahnya kita ukir dengan kemauan kita.

Harus berakhir beginikah? Itu yang kau tanyakan padaku. Aku hanya tersenyum pahit dan berbisik dalam hati "iya". Kau mungkin tak tahu, seandainya aku bisa memilih, aku tak mau akhir yang seperti ini. Aku ingin sebuah akhir yang bahagia. Namun, adakah akhir yang benar-benar bahagia? Kebahagiaan sejati yang sangat sempurna. Tidak. Tidak ada. Aku sudah mengetahuinya karena bahagia bagiku belum tentu bahagia bagi orang lain kan. Sebenarnya kebahagiaan hanyalah masalah sudut pandang, tapi bagaimanapun di setiap kisah pasti ada tokoh yang terluka. Dan di kisah kita kali ini, tokoh itu adalah Aku.