Selasa, September 06, 2011

Bintang yang Tertutup Awan

Terdiam aku duduk di teras depan rumah. Angin malam menyapu wajah dan membelai tengkuk ku perlahan. Kurapatkan jaket yang kukenakan saat itu. Dingin seperti malam yang lalu. Namun, suasana malam ini tak seperti biasanya. Malam yang sepi. Kutengadahkan wajah memandang langit yang gelap. Berusaha menyaksikan bintang yang tersembunyi di balik awan. Dia ada,
kilaunya di sana. Namun, tak tampak bersinar karena terselimuti keangkuhan sang mega.

Aku tersenyum kecut. Nasib bintang itu sedikit mirip dengan aku. Hanya nampak kala gelap menyapa, menyelimuti hamparan sang Lazuardi. Hanya saja terkadang cahayanya tak terlalu terang untuk menguasai singgasana malam. Cahayanya redup bahkan tak tampak jika terselimuti kabut. Begitu pun aku. Sinarku kini redup di hadapannya, tak mampu membuatnya memalingkan wajah untuk melihat kehadiranku.

Bukan aku lampu benderang atau pun kunang-kunang, aku hanyalah seorang manusia biasa. Yang kumaksud dengan cahaya adalah bagaimana perasaanku terhadap seseorang.

Kau tahu, aku juga bisa jatuh cinta layaknya yang lainnya. Namun sayangnya, semua itu tak berjalan lancar.

Mungkin kau sudah bisa menebaknya. Ya, kisahku bagaikan nasib bintang itu. Perasaanku tak
nampak di mata orang yang kupuja seolah terselimuti awan tebal. Pun bayangku tak sedikitpun hadir karena tak ada sinar. Sakit, sedih, merana rasanya. Namun, mau bagaimana lagi?
Apa yang bisa aku lakukan? Tak ada. Tak pula bisa aku memaksa, kan?

Hhh..Hembusan nafasku mengepulkan asap yang lalu hilang. Dingin ini semakin menggigit tetapi
tak tersirat pikiran untuk beranjak dari tempatku duduk saat ini. Beginilah jika aku
terlanjur tenggelam dalam alam pikirku. Merenungi nasib perasaanku.
Kau lihat? Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menerima. Menerima keadaan, bagaimanapun menyedihkannya. Mungkin memang aku terlalu melodramatis.

Haha. Aku benci terjebak dalam situasi seperti ini.

Malam pun semakin larut, seiring dengan lelahnya mataku. Kuputuskan renungan kali ini
berakhir di sini saja karena sang bintang tak juga nampak. Tak bisa dia menghiburku dengan
kerlipannya.

Kuakhiri perenunganku--jika tak ingin aku anggap hanya sebagai lamunan--dengan menuliskan
sebuah surat untuk sang awan.

Berhentilah kau sejenak, luangkan waktu untuk memandang sekitar. Tolehkan wajahmu sekejap, melihat ke belakang. Singkirkan ke-aku-an mu dan kelamnya ambisimu. Bukalah matamu, pun hatimu agar mampu melihat dengan sempurna. Maka di sana, akan kau temukan dia, sang bintang yang berkilau indah, tersenyum bahagia. Hanya padamu.