Rabu, September 26, 2012

Sedikit Lagi Waktu

“Kenapa kamu selalu memaksakan kehendakmu? Tidak bisakah kamu mendengar pendapatku?” teriak seorang pria kepada wanitanya.
“Ingat, selama ini aku sudah sering menurutimu dan mengalah. Tidak ingatkah kamu ketika kamu lebih memilih menonton bola bersama teman-temanmu dibanding menemaniku sendirian di rumah?” timpal wanita itu.
“Bukankah aku sudah menjelaskan tentang itu? Sudah pernah kita bahas kan sebelumnya? Kenapa dibahas lagi?”
“Ah, sudahlah. Aku lelah. Terserah kamu saja,” akhirnya wanita itu pun menyerah dan melangkah pergi dengan air mata yang sedari tadi disembunyikannya.
-Right in the thick of love, At times we get sick of love. It seems like we argue everyday-

***
Bukan kali ini kami bertengkar. Ini sudah kesekian kalinya semenjak dua tahun yang lalu kami menikah. Orang bilang adu argumen itu hal biasa, terlebih lagi usia pernikahan kami masih seumur jagung. Kami masih sama-sama egois, masih sama-sama ingin menang sendiri.

Aku bertemu suamiku tiga tahun yang lalu. Dan di pertemuan pertama kami, dia sudah mampu mencuri cintaku. Kala itu, dia selalu mampu membuat hari yang biasa menjadi luar biasa. Seolah keindahan semesta terkalahkan oleh keindahan cinta dua orang manusia yang dimabuk asmara. Memang ketika jatuh cinta semua menjadi indah, bahkan ada cerita tai kucing pun berasa coklat. Semua seolah akan baik-baik saja.

Cerita tentang masa depan pun mengalir sempurna. Bagaimana kau ingin memiliki rumah di suatu kota yang sejuk. Betapa aku ingin menghiasinya dengan taman yang penuh bunga. Betapa kita ingin mewujudkan kebersamaan kita. Namun, lihatlah kini, dua tahun sudah sejak ijab perjanjian nikah yang kau ucapkan dan kita masih butuh lebih banyak belajar menerima semua kekurangan.

--I know I misbehaved. And you made your mistakes. And we both still got room left to grow--

Sudah dua hari berlalu sejak argumen kita yang lalu. Dan sudah dua hari ini aku singgah di rumah orang tuaku. Begitulah aku, masih kekanak-kanakan. Selalu mencari jalan pulang ketika kami memiliki masalah yang belum terselesaikan. Tahukah kamu, Sayang? Di dalam sendiriku ini, aku selalu memikirkanmu. Tak kuingkari khawatirku selalu menyerbu. Sudah makan kah kamu? Bagaimana tidurmu semalam tadi? Tapi egoku masih tidak mau mengalah. Aku pun terlalu malu untuk menghubungimu.

***
Fajar menyingsing. Dia muncul dari peraduannya semalam. Sinarnya menghangatkan bumi dan seisinya.  Kulihat layar handphoneku. Sebuah pesan baru masuk di nomorku. Sebuah pesan dari nomor yang aku kenal dan selalu aku hafal sejak tiga tahun lalu.

From: +62812***

Sayang, pulanglah. Aku merindumu. Sepi rumah kita tanpa ada kamu di dalamnya.
Salam rindu, suamimu.

Sebuah pesan singkat yang mampu meluluh-lantakkan semua egoku. Sebuah pesan singkat yang menghangatkan hatiku, mengalahkan hangatnya mentari pagi ini. Dan aku pun tak sanggup lagi untuk tidak membalas pesan itu.

To: +62812***

Jemput aku. Aku merindumu.
Salam sayang, istri yang memikirkanmu.

Tak lama setelah kukirimkan pesan singkat itu, terdengar deru mobil di depan rumah orang tuaku. Ternyata, dia langsung menjemputku begitu menerima pesanku. Dia, suami yang aku cintai. Aku sambut  pria pujaanku itu di depan rumah. Kupasangkan senyum terindah yang aku punya.

Tersenyum pula ia sembari memelukku hangat. Sebuah pelukan yang biasa dia berikan ketika kami bersama dan tak terasa aku begitu merindukan pelukan ini. “Maafkan aku, Sayang. Jangan pergi lagi, ayo kita selesaikan semuanya dengan baik-baik,” dia berucap dan mengecup keningku hangat.

“Iya, aku minta maaf untuk keegoisanku kemarin, Sayang. Maaf sudah terlalu keras kepala.”
“Pun aku begitu. Kita benahi semuanya perlahan-lahan. Memang mungkin kita membutuhkan sedikit lagi waktu. Aku yakin kita bisa melaluinya bersama. Aku yakin.”

--And though love sometimes hurts..I still put you first..And we'll make this thing work..But I think we should take it slow--

Ya, mungkin kami memang masih butuh sedikit waktu. Sedikit lagi waktu untuk belajar saling memahami, belajar mengalah dan mengerti. Sedikit lagi waktu untuk tumbuh. Mungkin akan ada lagi adu argumen yang berikutnya, namun di situlah kami belajar berkembang. Mungkin akan ada lagi saat-saat aku melangkah keluar dari pintu rumah itu, namun bukan berarti aku menyerah dan meninggalkan pergi. Mungkin akan ada lagi saat-saat di mana dia harus menjemputku pulang, dan di sinilah kami akan berjuang. Ya, sedikit lagi waktu, tidak perlu terburu-buru.

Take it slow
Maybe we'll live and learn
Maybe we'll crash and burn
Maybe you'll stay, maybe you'll leave,
maybe you'll return
Maybe another fight
Maybe we won't survive
But maybe we'll grow
We never know baby youuuu and I

Sabtu, September 22, 2012

Ketika Harapan Hanya Semu


“Vodka, please,” pintaku pada seorang bartender. Dia mengangguk sejenak dan segera menuangkan vodka yang aku pinta. Disodorkannya satu shot vodka itu. Ya, di sinilah aku sekarang, terdampar di sebuah bar yang sudah cukup lama aku lupakan. Duduk dengan one shot of vodka di hadapanku. Mungkin kau terheran-heran, mengapa aku bisa kembali terdampar di sini. Namun, sebenarnya wajar saja kan jika aku ingin merasakan hangatnya alcohol di dalam kerongkonganku yang kering karena ada masalah yang menghampiriku.

Sebenarnya aku malu pada diriku sendiri, orang yang dulunya tegar dan angkuh sepertiku bisa merasakan sakit hati yang amat sangat hanya karena seorang wanita. Haha, baru kali ini aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Lizzie, nama wanita itu. Seorang wanita yang entah datang dari mana dan entah bagaiman mampu mengubah hidupku.
---
“Permisi, bisa saya bertemu dengan bapak Reza?” tanya seorang perempuan kepada seorang sekretaris di depan sebuah ruangan kantor.
“Sudah ada janji sebelumnya?”
“Sudah.”
“Dengan ibu siapa ini? Biar saya sampaikan kepada pak Reza.”
“Lizzie, dari pihak advertising yang akan membicarakan proyek real estate,” ucap wanita itu kalem.
“Baik, tunggu sebentar ya Bu.”
---
Terdengar ketukan di pintu kantorku, dan di sinilah pertemuanku dengannya terjadi pertama kali. Seorang wanita yang anggun dan jelita. Penampilannya tidak begitu ‘wah’, tapi tetap enak dipandang mata. Kulitnya putih, dan terlihat sehalus sutera. Mungkin begitu rasanya jika aku menyentuhnya. Ah, jadi ingin menyentuh tangannya. Pipinya berseri dan bibirnya merah merekah. Bak seorang bidadari yang turun dari peraduannya.

“Selamat pagi, pak. Saya Lizzie dari pihak advertising yang akan menangani proyek real estate Anda.”
Suaranya mengalun begitu lembut, bagaikan nyanyian surgawi. Aku begitu terpesona padanya. Kulihat matanya yang bening menatapku, perlahan mengernyitkan keningnya. Ah, ya, aku lupa menimpali kata-katanya.
“Ehem, iya. Bagaimana dari pihak Anda? Apa sudah ada konsep tentang advertising yang bisa saya lihat?” aku berusaha seprofesional mungkin menutupi rasa gugup ku. Entahlah, baru kali ini aku merasa gugup di depan seorang wanita.

Dia mulai menjelaskan konsep yang telah dia buat dan dia semakin membuatku terpesona. Kata orang, wajah berbanding terbalik dengan kepandaian seseorang. Namun, tidak pada wanita di depanku ini. Dia begitu sempurna.

“Bagus. Saya menyukai konsep yang telah Anda buat. Mungkin, bisa Anda kembangkan dan kita lihat perkembangannya.”
“Baik, pak.”
---
“Maaf, pak saya sedikit terlambat sehingga membuat bapak menunggu. Tadi jalanan macet tidak karuan,” Lizzie meminta maaf dengan wajahnya yang terlihat begitu menyesal.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi, tidak susah kan menemukan rumah makan ini? Oh iya, sekali lagi, sudah aku bilang berkali-kali jangan memanggilku ‘pak’, panggil saja Reza dan jangan terlalu formal dengan menggunakan kata saya,” kataku panjang lebar.
“Ehm, harus mana dulu yang aku timpali?” Dia diam sejenak dan kemudian melanjutkan, “tidak sulit menemukan rumah makan ini. Dan baik, aku tidak akan terlalu formal, Reza.” Senyumnya mengembang. Senyum yang paling aku sukai.

Ini pertemuan kami yang kesekian kali dan sudah beberapa kali ini bertemu di luar kantor. Dia wanita yang menyenangkan dan berwawasan luas. Tak kurang, dia juga begitu baik kepada semua orang. Dia selalu bisa membuatku terperangah kagum.

Bukan sekali ini aku berusaha mengajaknya makam siang ataupun malam dengan dalih pekerjaan. Nampaknya, dia sudah tahu intensiku, tapi dia diam saja dan menikmati semuanya. Ini yang membuatku semakin jatuh terhadapnya. Mungkin memang aku memiliki harapan. Aku menginginkannya, dan aku akan mendapatkannya. Aku merasa penuh dengan harapan. Dan semuanya, ia yang berikan.
---
Semuanya berjalan dengan lancar, dan aku pun semakin dekat dengan Lizzie. Sudah banyak hal yang aku bagi dengannya, termasuk kisah kehidupan pribadiku. Tapi tak lama lagi kerja sama kami akan segera usai. Hal ini membuatku tak nyaman. Entah ada dorongan dari mana, aku memutuskan untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan pada Lizzie, wanita yang membuatku gila setengah mati.

“Hai Reza. Sudah lama menunggu?” tanya Lizzie padaku.
“Aku baru tiba lima menit yang lalu,” ujarku sedikit berbohong. Sebenarnya aku sudah tiba hampir setengah jam lalu. Apa yang mendorongku untuk datang seawal itu juga aku tidak tahu. Konyol.

Musik mengalun merdu melatar-belakangi malam di restoran Jepang ini. Sebuah lagu yang terdengar sendu mengalir lembut menemani kebersamaan kami.
“Liz, boleh aku mengatakan sesuatu? Sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu,” aku sedikit gugup ketika mengatakan ini.
“Silahkan saja.” “Kau tahu, aku belum pernah merasa seperti ini. Tapi semenjak kau hadir dan menemani hariku aku merasa ada yang berubah. Aku seolah gila dan tak sanggup menjalani hari tanpa kehadiranmu. Dan mulai esok perjanjian bisnis kita telah usai. Jika mungkin, aku masih ingin bersama denganmu. Maukah kau menjadi kekasihku?”

Dia terperangah, antara takjub dan terkejut. Dipalingkan wajahnya sejenak, seolah berusaha menyembunyikan keterkejutan yang mampir di parasnya yang rupawan. Sedetik kemudian, dia menatapku dalam. Terlihat olehku segurat kecewa, pun kesedihan. Apa, ini? Bukankah selama ini dia terlihat nyaman denganku? Mengapa dia menampakkan ekspresi seperti itu?

“Reza, terima kasih atas rasa yang kau berikan kepadaku. Namun maaf, sungguh minta maaf aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,” ucapnya sedikit ragu.
“Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Bukankah selama ini kita baik-baik saja? Lalu, apa arti kebersamaan kita selama ini? Apa kamu sudah menyukai pria lain? Tambatan hati, iya?”
“No, no. There is nothing wrong with you. And I did enjoy my time with you. Dengarkan dulu, aku tidak bisa menerimamu bukan karena aku menyukai pria lain. Terlebih lagi, it is because I cannot love another guy.”
“Apa maksudmu?”
“Aku lesbi,” dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. “Maaf.”
Perlahan, dia beranjak dari kursinya dan melangkah pergi.
Doushite kimi wo suki ni natte shimattan darou?
Donna ni toki ga nagaretemo kimi wa zutto
Koko ni iru to, omotteta no ni
Demo kimi ga eranda no wa chigau michi

Why did I end up falling for you?
No matter how much time has passed,
I thought that you would always be here
But you have chosen a different road
---
Di sinilah aku sekarang. Menatap vodka yang disuguhkan kesekian kalinya. Ya, aku telah jatuh hati pada wanita yang bahkan tidak bisa mencintaiku. Semua harapan yang sempat ia berikan padaku dulu, sekarang telah mati.
-DBSK- Doushite Kimi wo Suki Ni Natte Shimattan darou?-

Kecupan Rasa Espresso


Secercah sinar keemasan masuk entah darimana, menyinari Mata yang masih terpejam.
“Selamat pagi.” Telinga mendengar sebuah suara dari kejauhan. Suara yang aku kenal dan selalu aku rindukan. Mata membuka kelopaknya perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan terang di dalam ruangan.
“Selamat pagi, Sayang.” Bibir berucap membalas salam hangat dari yang aku rindukan. Sebuah kecupan ringan mendarat di Dahi pemilikku. Sebuah kecupan dari orang yang aku rindukan, kekasih pemilikku. Ya, aku adalah Hati, yang dimiliki seorang wanita bernama Freya. Perjalananku cukup panjang sampai akhirnya menemukan sebuah tambatan. Asal kau tahu saja, pemilikku adalah seorang wanita yang keras hati. Terlalu kuat dia melindungiku untuk tidak terluka karena pernah dia rasakan sakit yang begitu dalam karena luka yang ada padaku.
---
Can anybody hear me?
Am I talking to myself?
My mind is running empty
In the search for someone else
Who doesn’t look right through me.
It’s all just static in my head
Can anybody tell me why I’m lonely like a satellite?

“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Seorang pria datang menghampiri Freya yang sedang asik melahap buku favoritnya di sebuah kafe kesukaannya. Mengernyitlah dahinya, merasa terganggu dengan kehadiran pria itu. Aku tahu dia tidak akan menyukai ini karena dia bukan tipe orang yang mudah bergaul. Dia suka menyendiri dan lebih memilih bersembunyi di balik buku daripada berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi seorang pria asing. “Bolehkah saya duduk di sini? Maaf jika menganggu, tapi tempat duduk yang lain sudah penuh, dan saya lihat bangku ini kosong. Jadi, bisakah saya bergabung?”

Freya memandang sekeliling dan melihat bahwa semua bangku yang kosong itu sudah terisi. Tidak lagi dia punyai sejuta alas an untuk menolak pria itu. Memang, di waktu-waktu makan siang, kafe ini selalu penuh. Tapi biasanya tidak pernah sepenuh ini. Padahal pemilikku hanya ingin menikmati hari ini, sendirian. Entah bagaimana dia terbiasa dengan kesendirian, sebenarnya aku merasa cukup kesepian.

 Akhirnya, Kepala mengangguk dengan tidak ikhlas, isyarat memperbolehkan pria itu bergabung dengan Freya. “Terima kasih,” ucap pria itu.

Hening. Beginilah Freya ketika bersama dengan orang yang tidak dia kenal. Lebih banyak diam dengan pikirannya. Benar-benar antisosial.

“Buku itu cukup menarik.”
Hmm, gigih juga pria ini untuk membuat pemilikku membuka sedikit pertahanannya. Sudahlah, menyerah saja.
”Maaf?” hanya satu kata yang terucap dari bibir pemilikku. Entah memang dia tidak mendengar atau hanya ingin memberikan isyarat ‘jangan ganggu aku’.
“Buku itu,” ucap pria itu sambil menunjuk buku yang Freya bawa. “Ceritanya menarik. Aku sudah membacanya bahkan berkali-kali.”
“Kau yakin sudah pernah membaca buku ini?”
“Tentu saja. Itu tentang perjalanan seseorang di surga kan? Five People Meet in Heaven karangan Mitch Albom kan? Apa kau meragukan aku”
“Ya, kau benar. Aku menyukai buku ini dan aku heran ada seorang pria yang menyukai buku ini juga. Karena itu, aku sedikit terkejut mendengar pernyataanmu tadi.”

Dan aku juga terkejut mengetahui pemilikku mau membuka sedikit pertahanannya pada pria ini. Tampaknya, ini akan berlanjut lagi.
--
Benar saja, kedekatan pemilikku dengan pria (yang dulunya asing) yang ternyata bernama Eros memiliki keterlanjutan. Nama yang unik, kuakui, untuk seorang yang juga unik dan penuh cinta. Tak kusangka pertahanan yang dipasang oleh pemilikku perlahan-lahan luruh dan kini, aku hampir tidak memiliki sebuah tembok pun mengelilingi keberadaanku. Aku, Hati yang selama ini terlindungi, telah dibuka kembali.

“Espresso, satu,” kudengar pria itu memesan minuman seperti biasanya. “Vanila latte, satu.”
“Kau begitu menyukai espresso ya? Setiap datang kemari kulihat kau memesan minuman yang sama.”
“Sama seperti kau yang selalu memesan vanilla latte kesukaanmu.”

Ya, aku tahu jawabnya. Karena wanita ini, pemilikku, tidak terlalu menyukai perubahan. Dan karena itulah aku heran, bagaimana dia bisa menerima bergitu banyak perubahan setelah mengenalmu, tuan.

“Itu karena aku suka sesuatu yang berbau vanilla, dan aku cukup menyukai kopi. Jadi, aku berusaha mencari gabungan keduanya,” timpal Freya.

Hari ini, seperti biasanya selama sekian minggu, mereka menikmati siang bersama. Memesan kopi kesukaan mereka dan berbagi banyak cerita. Sepertinya bahkan pemilikku sudah berbagi hati dengan pria itu karena aku merasakan kehangatan yang merasuk setiap mereka bersama.

Bibir kini mampu tertawa lepas setiap candaan yang diberikan Eros menggelitikku. Bahkan Mata sampai menitikkan air karena tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba keheningan menyeruak. Tangan merasakan sebuah sentuhan lembut dari tangan milik pria itu. Dan kehangatan lagi-lagi menyelubungiku.

“Aku merasa senang menghabiskan waktu bersamamu. Kau tahu, sejak hari pertama kita bertemu, aku merasakan kenayamanan yang luar biasa. Entah bagaimana, seolah aku sudah mengenalmu sekian lama. Sejak itu, setiap detik bergulir, pikiranku melayang melambung memikirkanmu. Wajahmu dan semua tentangmu tak bisa aku enyahkan sedetik pun.”

Dia berhenti sejenak, dan aku seolah berhenti berdetak. Paru-paru sedikit sesak karena kata-kata indah yang pria itu sampaikan.

“Sejak itu, aku ingin menghabiskan semua hariku bersamamu. Maukah kau menjadi kekasihku?” pinta pria itu pada pemilikku.
Bibir hanya diam. Pemilikku ragu, mungkin akulah yang ragu. Aku masih takut merasakan sakit lagi. Tapi aku juga tak ingin kehilangan kehangatan ini. Berperanglah aku dengan Otak. Dan akhirnya, aku telah memutuskan.
Can I please come down?
‘Cause I’m tired of drifting round and round.
Can I please come down?
“Iya,” ucap Bibir, diikuti dengan anggukan Kepala.
Sebuah kecupan mendarat di Bibir dan lagi, kehangatan yang tak terlukiskan menyelimuti aku lagi. Inilah yang selama ini aku cari di dalam kesendirian. Sebuah kehangatan yang mengusir sepi dan mampu meruntuhkan pertahanan aku, sebuah Hati milik Freya.
Sebuah kecupan rasa espresso telah menghapuskan semua rasa sakit yang pernah ada. Kecupan rasa espresso itu masih membekas lama. Pahit pun manis terasa bersamaan. Mungkin, inilah cinta. Seorang lelaki (yang dulunya asing) telah mampu memenuhi semua ruang yang aku punya.
---
"Ini, vanilla latte kesukaanmu, Sayang," pria itu menyodorkan sebuah cangkir kepada Freya dan kemudia dia menyesap espresso kesukaannya. Freya pun menyesap kopinya dan menikmati kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
Sebuah kecupan mendarat lembut di Bibir. Sebuah kecupan rasa espresso yang selalu aku sukai, pun dirindukan pemilikku.

Senin, September 17, 2012

Sang Perempuan dan Dia


Hai, apa kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja hari ini dan semoga kamu sedang dalam mood yang menyenangkan karena aku akan menceritakan sebuah kisah sederhana seorang perempuan dan yang mencintainya. Jadi, santailah, bawa camilan dan segelas kopi untuk menemanimu. Sudah siap mendengarkan ceritaku? Siap kan hati dan pikiranmu untuk menikmati kisah ini.
Kala itu, musim panas di tahun 2009. Suatu sore di bawah hangatnya sinar mentari bulan Juni, seorang perempuan berjalan masuk ke dalam sebuah toko buku tua. Wajahnya berseri dan terlihat begitu ceria. Seolah semua keceriaan sore itu telah diserapnya. Berkelilinglah ia menyusuri lorong-lorong yang diciptakan oleh rak-rak buku. Dan di sanalah, di salah satu baris rak buku tua, pertemuan pertama mereka terjadi, bersuanya seorang perempuan dan Dia pertama kali.

Jika kamu ada di antara mereka, mungkin kamu akan mengerti bagaimana rasanya takdir mempertemukan mereka. Dari beberapa pasang mata yang ada, Dia memilih untuk menatap mata indah sang perempuan. Dan dari beberapa hati yang hadir, di hati sang perempuan lah hatinya Ia tambatkan. Mungkin kamu menganggapnya konyol, tapi tunggu dulu. Memang itulah yang terjadi. Mereka bersua pertama kali dan di pertemuan pertama itu pula, Dia memutuskan untuk mencintainya sepenuh hati, memberikan hatinya kepada perempuan itu. Mungkin itulah yang disebut orang dengan cinta pertama. Seolah tak ada yang bisa mengalihkan pandang Dia lagi. Dia tak bisa menjelaskan apa dan bagaimana, yang Dia tahu, Dia memutuskan untuk memilih bersama sang perempuan.


Maybe it's intuition
But some things you just don't question
Like in your eyes
I see my future in an instant
and there it goes
I think I've found my best friend

Di sinilah semuanya bermula, kisah sederhana seorang perempuan dan Dia.
----
Juli 2009

“Ini hari pertamaku kuliah. Kuliah itu memang begitu berbeda ya dari sekolah-sekolah sebelumnya. Aku masih merasa asing hari ini. Masih banyak yang belum dan perlu aku ketahui dan pelajari lagi. Tapi, aku menikmatinya. Bertemu dengan berbagai wajah baru. Aku senang.” Cerita si perempuan panjang lebar. Senyumnya mengembang dan bertengger lama di paras indahnya. Senyumnya hangat, mengalahkan hangatnya sinar mentari musim panas. Mendengar celotehan sang putri pujaannya, Dia tersenyum. Dia menyuguhkan senyum yang tulus dari dalam hatinya.

“Aku senang kalau kamu juga senang. Dan kulihat kau begitu menikmati harimu. Dengan begini, aku tidak perlu khawatir kan?”
Sang perempuan masih terus menyunggingkan senyum cantiknya.
----
Januari 2010
“Selamat Tahun Baru,” ucap perempuang dengan riangnya. “Semoga di tahun ini semua kebaikan datang pada kita ya. Aku berharap semuanya menjadi lebih indah dan lebih baik lagi. Aku ingin tetap dan lebih bahagia dari tahun sebelumnya.”

“Iya. Semoga kau tetap berbahagia. Karena aku menyukai senyum kebahagiaanmu daripada isak tangismu.” Balasku.
---
Maret 2010
“Aku senang sekali hari ini,” perempuan memulai ceritanya seperti biasa.
“Benarkah? Aku senang kalau kau bahagia.” Dia selalu menanggapi dengan tenang. Mungkin bagi beberapa orang Dia terkesan dingin, namun sebenarnya dia begitu menyanyangi perempuannya. Dia begitu memperhatikannya. Dan Dia menikmati setiap detik kebersamaan mereka, mendengar cerita perempuannya begitu menyenangkan.

Sejenak mereka terdiam. Tapi Dia tahu bahwa perempuannya akan mulai bercerita panjang lebar menjelaskan setiap detik kejadian yang dialaminya pada hari itu. Yang Dia butuhkan hanyalah menunggu dengan sabar.

“Kau pasti tidak percaya. Ternyata di dunia ini memang ada seorang pangeran. Tadi aku bertemu dengannya. Dia ganteng sekali, pintar dan sangat baik. Tapi kebaikannya ia tujukan pada banyak orang, bukan aku saja. Entah mengapa aku kurang menyukai itu. Mungkin aku jatuh hati padanya, tapi aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Ah, sudahlah”

Hening. Dia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata, “Jangan tidak mempercayai cinta pada pandangan pertama, cinta bukan sesuatu yang pasti dan bisa dilogika. Terkadang, kita cukup mempercayainya. Cukup percaya untuk memberikan hati pada seseorang meski masih pertama kali bertemu,” karena itulah yang aku rasakan padamu¸batinnya.
---
Mei 2011
“Wah, waktu begitu cepat berlalu ya. Aku senang bisa semakin dekat dengan pangeran itu. Hehehe,” seringai sang perempuan
“Iya, semoga kau baik-baik saja, ya,”
---
Agustus 2011
“Semakin kau dekat dengan pangeran itu, semakin sedikit waktu yang bisa kau berikan kepadaku ya. Mungkin memang aku yang jatuh cinta padamu sejak pertemuan pertama kita. Mungkin aku yang terlalu berharap agar kau mencintaiku pula.” Dia berkata dengan lirih
---
Oktober 2011
“Aku sakit hati. Dia berbohong padaku. Aku kecewa padanya. Aku sudah mempercayainya sedemikian rupa, namun dia tega membohongiku. Tidak ada bedanya dia dengan orang lain.” Ceritamu di tengah isakan tangis dan cucuran air mata.
“Sudah, jangan menangis lagi. Jika kau memutuskan untuk mencintai kau juga harus siap untuk tersakiti. Aku akan menemanimu sampai kau tertidur, tenanglah,” hibur Dia pada perempuannya. Itulah yang biasa Dia lakukan ketika perempuannya bersedih. Dia merasa terluka melihat perempuannya berlinangan air mata. Jika Dia bisa, mungkin Dia akan menghajar siapapun yang melukai hati lembut perempuannya.
---
Waktu telah bergulir, tidak terasa sudah lebih dari empat tahun Dia tetap setia menemani perempuannya. Bukan pertama kalinya Dia melihat perempuannya dengan orang lain, orang yang dianggap sebagai pangerannya. Bukan sekali ini Dia merasakan kehilangan, namun di samping itu Dia tetap saja setia, karena baginya cinta pada pandangan pertama tidak bisa dihapus semudah itu. Dan kini nampaknya Dia akan kehilangan perempuannya lagi dan untuk waktu yang lama, bahkan mungkin selamanya.

 “Esok aku akan melepas masa lajangku. Tidak terasa kau sudah menemaniku selama ini, mendengarkan semua cerita ku, isak tangisku, menemani hari-hariku. Terima kasih. Tapi mungkin, waktu kita akan segera berakhir, setelah ini mungkin aku sudah sangat jarang sekali berbagi cerita denganmu. Maaf, aku tidak bisa bersama denganmu.” Tulismu di halaman terakhir
“Aku turut bahagia untukmu, cinta pertamaku. Semoga kau bahagia dengan cinta pertama mu.”
Ternyata pertemuan pertama perempuan dengan pangeran pun tidak bisa dihapuskan dengan mudah. Dan mereka memutuskan untuk bersama, selamanya. 
Begitulah cerita sang perempuan dengan yang mencintainya, AKU, sebuah buku harian tua yang telah lama menantikan kehadiran perempuannya. Kau lihat, cinta pertama tak akan terhapus dengan mudah meski mungkin kau telah menemukan penggantinya.

I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life

-I Knew I Loved You by Savage Garden- 

Rabu, September 12, 2012

Parting


Well I wonder could it be
When I was dreaming ‘bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy, call me blind
to still be suffering is stupid after all of this time

Sebuah lagu terdengar dari kejauhan memecah keheningan di antara kita. Kita yang tidak tahu harus berkata apa. Kita yang mungkin mulai hari esok hanya akan terdiri dari hanya aku atau hanya kamu, bukan lagi ada aku dan ada kamu. Kita yang mungkin tidak akan bisa bersama lagi tepat sehari setelah hari ulang tahunku.

“Haha, pas banget ya lagunya. Seolah semua orang tahu tentang kisah kita saat ini,” kataku sambil tertawa. Tawaku garing dan tidak bernyawa.

“Nggak bisa ya, yang diputer itu lagu lain, bukan yang ini? Bikin suasana tambah suram aja,” ungkapmu sedikit sebal dan mungkin merasa bersalah.

“Did I lose my love to someone better? And does she love you like I do. I do, you know I really really do,” gumamku menirukan lantunan lagu itu.

Kamu hanya diam tanpa kata melihat tingkahku yang seperti itu. Mungkin kamu berpikir aku masih sangat kekanak-kanakan. Tapi, bisa saja kamu membiarkanku seperti itu untuk sedikit menghilangkan rasa bersalahmu. Atau mungkin kamu membiarkanku karena kamu tahu, dengan cara itulah aku bisa mengurangi rasa sakit hatiku. Mungkin lebih tepatnya rasa kecewa yang mendalam. Tak sengaja ekor mataku menangkap pandanganmu padaku. Entah apa arti dari pandanganmu itu, tapi aku merasakan segurat kesedihan dan kekecewaan. Mungkin kamu juga terluka. Harusnya kamu terluka karena jika tidak, jika hanya aku yang merasakan luka ini, betapa menyedihkannya aku.

“Jadi, ini terakhir kalinya kita makan bersama?” tanyaku padamu.

“Sepertinya begitu. Ini kencan kita yang terakhir,” jawabmu lemah. Tiba-tiba kamu menghembuskan napas cukup keras. Entah, itu artinya apa.

“Jangan mengatakan kencan yang terakhir. Sangat menyakitkan mendengarkannya karena berakhir dengan sebuah ironi.” Aku berusaha sekuat tenagaku untuk menahan air mata yang mendesak keluar. Aku tidak ingin menangis, setidaknya tidak di hadapanmu. Aku tidak ingin terlihat lemah sehingga membuatmu mengasihaniku.

“Maaf,” hanya sebuah kata itu yang meluncur dari bibirmu.

“Sudah, kamu nggak perlu minta maaf lagi. Kita kan sudah janji untuk bisa menerima apapun keputusan hari ini. Selain itu, kamu sudah ada dia yang menunggumu. Dia lebih membutuhkannya daripada aku. Aku masih sanggup menjalani hidupku sendiri, sambil menunggu orang yang mau menerimaku lagi,” aku tersenyum, tapi sangat terpaksa. Sekali lagi, kamu hanya diam. Aku yakin bahwa kamu tahu seberapa terlukanya aku. Aku yakin bahwa kamu sangat mengerti sebuah kata maaf saja tidak akan bisa mengubah sebuah perpisahan.

“Ya, aku sudah memilikinya,” katamu lebih untuk meyakinkan dirimu sendiri. “Terima kasih atas kehadiranmu selama ini. Nggak ada yang bisa menggantikan posisimu di dalam sini,” kau menunjuk dada sebelah kiri, tempat sebuah hati yang pernah aku miliki. “Sebenarnya sangat sulit melepaskanmu karena selama ini, secara tidak sadar kamu telah menjadi standar di dalam hidupku. Kamu telah mengisinya dengan perasaanmu. Tapi, entah mengapa seolah semesta terlalu cemburu jika aku memilikimu seutuhnya. Karena itulah, mereka bersekongkol memisahkan kita. Aku sayang kamu. Tapi kita sama-sama tahu bahwa ini tidak mungkin berlanjut”

Aku setuju dengan kalimat terakhirmu. Kita masih saling menyayangi tapi kita juga sama-sama tahu bahwa kita memiliki orang yang sudah menunggu kita dengan harapan-harapannya.

“ Iya. Aku permisi sebentar. Urusan wanita,” candaku sambil memberikan cengiran khas ku. Kamu hanya tersenyum menanggapinya dan kemudian mengangguk.

Tak lama aku kembali ke dekatmu. “Ayo,” ajakku.

Aku tak ingin terlihat menyedihkan di hadapanmu, tapi aku tahu kalau aku tidak bisa menipumu. Kamu selalu tahu bagaimana keadaanku. Perlahan tapi pasti kamu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Kau menarikku mendekat dan merangkulku, melakukan kebiasaanmu selama ini. Lucu, kita tahu kita harus berpisah, tapi tangan kita masih akan saling terpaut seperti ini. Entah sampai berapa lama, mungkin ini yang terakhir kalinya setelah aku tahu kau dijodohkan dengan dia.

And we were letting go of something special
Something we’ll never have again
I know, I guess I really really know
The day you went away-M2M

Jumat, September 07, 2012

Warna di tengah Kelabu


Masih teringat jelas dalam ingatanku tentang hari itu. Suatu senja bulan Oktober tahun 2010. Pertemuan itu bukan tak disengaja. Aku yang sudah merencanakannya. Aku tahu kau, namun mungkin kau belum mengetahuiku. Bahkan sangatlah mungkin jika kau belum merasakan keberadaanku. Mungkin kau masih belum tahu jika aku ada.

Awalnya, aku ragu untuk menyapa. Aku takut dikira sok kenal. Terlebih lagi, aku malu. Ya, aku malu jika ternyata akhirnya kau menganggapku sebagai seorang yang mengganggu. Tapi hatiku berkata lain, entah dari mana sebuah keyakinanakan terjadinya cerita yang menarik tiba-tiba menyeruak keluar. Mengisi seluruh ruang hati dan menghapuskan segala ragu yang sempat singgah tadi. Akhirnya, kuputuskan untuk menyapamu, berharap kau akan sedikit mengenaliku meski sebenarnya aku tahu bahwa harapan ini hanya semu.

Dan ternyata benar, kau bahkan menganggapku sebagai orang lain—orang yang kau kenal. Sebenarnya, aku kecewa kala itu, namun candaanmu segera menggantikannya secepat angin berlalu. Aneh, meski kita belum saling mengenal. Meski ini adalah pembicaraan pertama kita, aku merasa telah mengenalmu sekian lama. Aku merasa begitu akrab. Bersamamu terasa hangat, bersamamu seolah waktu berhenti melaju.

Kita sama-sama tahu bahwa aku sudah ada kekasih kala itu dank au pun sedang menyukai seseorang. Kita sama-sama tahu bahwa mungkin kedekatan kita tidak seharusnya seperti ini. Bahwa mungkin kebersamaan kita adalah salah. Namun, tak bisa kupungkiri sedikit pun, aku menikmati saat-saat bersamamu. Dan buruknya, aku mencandu. Asal kau tahu, sejak itu aku selalu menantikan kehadiranmu dalam hariku yang kelabu.

Hari berganti minggu, minggu tergeserkan oleh bulan, dan aku akhirnya berpisah dengan kekasihku. Kecewa, iya. Tapi, tak ada air mata yang hinggap di pelupuk mataku. Entah, aku tidak merasakan sakit meski telah dikhianati olehnya. Hanya sedikit rasa kecewa dari egoku yang tinggi, “mengapa dia berani menduakan aku?” Ya, saat itu aku merasa kalah. Herannya, hanya dengan sebuah telepon darimu yang menanyakan kabarku, semua rasa kekalahanku terhapuskan oleh suaramu yang terdengar merdu di telingaku. Saat itu, aku tahu, aku sebenarnya telah jatuh kepadamu. Aku tahu mengapa tak kurasakan sakit di hatiku, karena sejak hari itu, sebuah senja di bulan Oktober 2010, aku telah menyerahkan hatiku kepadamu. Mungkin orang menganggapku aneh karena tak mencintai kekasihku, namun lihatlah, justru aku bersyukur tak mencintainya karena pada akhirnya dia mengkhianatiku.

Perlahan pun pasti, kita semakin saling mengisi. Kau tahu, seperti biasa aku selalu menantikan hadirmu dalam hariku. Tak kuasa aku menjalani hari tanpa tahu kabarmu, tanpa mendengar suaramu, tanpa melihat binar matamu. Dalam saat apapun, kau berhasil menenangkan gelisahku. Aku selalu rindu akan senandungmu, meski terkadang sebenarnya sumbang, tapi bagiku itu senandung terindah yang kau lantunkan. Sebagaimana kau menjadi anugerah terindah dalam hidupku.
***
Agustus 2012,

Terdengar suara Duta, sang vokalis menemani soreku kini. Sambil membayangkan dirimu menatap langit senja yang sama di jarak yang berbeda. Kunikmati lantunan lagu yang sederhana, namun penuh dengan makna, yang menggambarkan tentang dirimu. Kunikmati rinduku padamu, berharap lantunan lagu ini juga terdengar samapi di tempatmu.

Sifatmu nan s'lalu
Redahkan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu

Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki


“Untuk dirimu yang sekarang berada di tempat yang cukup jauh, terima kasih telah datang dan mengisi hidupku, Sayang. Terima kasih telah menuliskan kisah yang indah. Terima kasih telah menjadi anugerah terindah bagiku, dan akan selalu begitu. Terima rinduku, semoga bisa temani hari-harimu di negeri seberang,” batinku.

-terinspirasi dari lagu Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki-Sheila On 7-