Rabu, Mei 30, 2012

Diskusi Post Sebelumnya


Membaca judul post ini mungkin membuat kalian sedikit merasa penasaran. Mengapa post sebelumnya harus didiskusikan. Terlebih lagi, mengapa blog ini jadi membahas hal-hal yang berat??? :)

Sebenarnya post ini hanya akan sedikit menjelaskan mengenai post sebelumnya yang berkaitan dengan tugas kuliahku (yang belum sempat baca, lihat posting sebelumnya). Aku tak begitu mengira bahwa tugas kuliah yang aku kerjakan (dan aku coba publikasikan di blog ini) mengundang kontroversi. Memang, nampaknya berbicara mengenai agama dan toleransi sosial pada waktu-waktu ini adalah hal yang cukup sensitif. Post mengenai agama itu adalah sebuah tugas akhir dari mata kuliah filsafat yang telah kutempuh.

Sekilas tentang mata kuliah ini, pada dasarnya, mata kuliah filsafat mengajarkanku untuk mempertanyakan banyak hal, terutama hal-hal mendasar dalam kehidupan manusia. Tak melulu hal yang sangat menyulitkan, hal yang sepele pun perlu dipertanyakan karena untuk itulah kita dianugerahi komponen yang begitu canggih bernama otak, untuk memikirkan ‘the underlying reasons of many things’. Aku cukup menikmati mata kuliah ini karena aku diajarkan untuk memiliki waktu mempertanyakan sesuatu sebelum memberikan nilai terhadap hal itu. Bagiku mata kuliah ini seolah penghapus prejudice atau anggapan-anggap buruk lainnya terhadap sesuatu bahkan sebelum kita mencari kebenarannya.

Maka dari itu, sebelumnya, aku ingin meminta kalian untuk sejenak menyingkirkan semua prejudice yang kalian punya mengenai banyak hal, terutama mengenai sistem agama tertentu. Cobalah berpikir netral meski hanya sejenak dan aku harap kalian mampu mengikuti alur pembicaraan dalam tugas yang aku kerjakan.
Bagi kalian yang telah meluangkan waktu untuk sejenak membaca tugasku, sebelumnya aku hanya ingin mengatakan bahwa tugas itu merupakan pemikiranku akan suatu hal yang aku anggap aneh, dalam hal ini adalah sistem agama yang aku anggap semakin tidak karuan dikarenakan oknum-oknumnya. Aku tidak bermaksud menyinggung salah satu agama atau bahkan merendahkan nama Tuhan Yang Maha Esa serta maha segalanya karena aku juga beragama dan percaya akan keagungan Tuhan. Hanya saja, mungkin aku merasa kurang puas akan sikap orang-orang yang mengaku beragama dan menjunjung tinggi nama Tuhan serta menunjukkan bahwa mereka beriman, namun nyatanya mereka masih berlaku merugikan orang lain dan justru memunculkan kekacauan di tengah-tengah kehidupan sosial.

Untuk itulah, aku mempertanyakan banyak hal, termasuk mengapa kita tak bisa hidup berdampingan saja tanpa menyalahkan salah satu pihak? Bukankah beragama itu hak tiap orang? Bukan aku mempermasalahkan mana agama yang paling benar karena tiap orang pasti menganggap agamanyalah yang benar dan semua tidak akan terselesaikan dengan seperti itu. Toleransi tetap tak akan terwujud dengan ‘pengakuan kebenaran’ karena perdebatan tetap akan ada. Aku di sini lebih mempertanyakan tentang ‘agama yang dipercaya mengatur dan mengajarkan kebaikan mengapa seolah tak mampu mengajarkan orang-orangnya untuk saling menghargai?’ di mana kah keteraturan yang diharapkan oleh agama itu sendiri? Dan apakah kita bisa dengan mudahnya bersembunyi di balik nama agama setelah kita melakukan sesuatu? Bukankah itu terkesan begitu tak bertanggung jawab?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bergantian di dalam benakku. Di mana toleransi yang selama ini diajarkan melalui agama yang aku percayai? Bukankah nabiku, penyebar agamaku, sosok yang dimuliakan mengajarkan untuk bertoleransi dengan semua orang dari agama manapun?  Namun, mengapa ajaran yang notabene berasal dari satu nabi yang sama, dapat dipraktikkan secara berbeda dan pada akhirnya hanya berbuah menyalahkan orang di luar sistem agamaku? Tidak bisakah hanya berhenti dalam tahap “Baiklah, aku percaya agamaku yang paling baik dan benar bagiku. Tapi jika kau tetap ingin beribadah menurut apa yang kau percayai, silahkan saja. Tidak akan kubunuh kau hanya karena tidak sealiran denganku.” Bukankah dalam kitab pun diajarkan, untukkulah agamaku dan untukmulah agamamu?

Hanya masalah toleransi lah yang aku permasalahkan karena aku percaya, sang pencipta itu satu, Tuhanku satu, namun dengan berbagai nama. Sebuah entitas yang Esa, namun dengan berbagai sebutan. Semua yang menyebabkan munculnya ‘perbedaan’ akan konsep Tuhan hanyalah image yang dibuat oleh manusia dikarenakan mereka ingin mengerti Tuhan mereka. Mereka ingin mengenali Tuhan mereka, untuk itulah mereka tanpa sadar membuat image yang mereka anggap sebagai gambaran Tuhan yang sayangnya menyebabkan berbeloknya suatu kepercayaan. Pembuatan image ini terjadi karena keterbatasan manusia untuk benar-benar mengerti sosok Tuhan yang ada, namun sekaligus tidak ada, yang begitu sempurna dan begitu kuat. Manusia tidak mampu menggambarkan Tuhan dalam sosok yang mereka tidak tahu, namun di satu sisi, mereka merasa memerlukan penggambaran itu untuk merasa lebih dekat dengan Tuhannya. Maka, mereka berusaha mewujudkan itu dalam image manusia (yang notabene makhluk sempurna) dengan kekuatan super, karena manusia tidak mampu menggambarkan sosok yang lebih sempurna dibanding manusia since they only know that human is the perfect creatures compared to un-living things, plants, and animals.

Mungkin ini yang bisa aku sampaikan. Bukan aku bermaksud meletakkan salah satu sistem agama di atas yang lain. Aku hanya ingin melihat kesejajaran mereka sehingga kita pun bisa hidup bersisian tanpa harus berselisih. Bukan aku bermaksud pula menyalahkan pihak-pihak tertentu karena aku sadar, ilmu agamaku pun tak setinggi yang kalian pikir, malah ilmu agamaku masih sangat terbatas. Aku hanya ingin mempertanyakan beberapa hal itu saja sembari berusaha perlahan mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Semoga ini bisa sedikit memunculkan pengertian akan pemahaman jalan pikiranku dalam post sebelumnya.

Selasa, Mei 29, 2012

Agama Bukan Lagi Aturan Perbaikan dalam Mengajarkan Toleransi


Beberapa waktu lalu, saya sedikit terhibur dengan beberapa komentar di jaringan sosial mengenai salah satu permasalahan yang berdasarkan agama.  Yang membuat saya merasa sangat terhibur bukanlah permasalahan yang dibahas, yaitu mengenai pacaran, melainkan melihat bagaimana pandangan orang-orang yang berkomentar di thread itu. Para pengomentar itu berasal dari berbagai sistem agama (6 sistem agama yang diakui oleh negara, a.l: Islam, Budha, Hindu, Kristen, Katholik, dan KongHu Cu) sehingga pendapat mereka pun lantas berbeda-beda. Tidak hanya itu, pendapat dari orang yang menganut sistem agama yang sama (dan ajaran yang seharusnya sama) bahkan memiliki pandangan yang berbeda mengenai suatu hal.  Bahkan, ada sebagian dari mereka yang akhirnya saling menyalahkan dan saling menghujat satu dengan lainnya.
Mengetahui hal tersebut, saya jadi berpikir, mengapa bisa orang yang diakui beragama dan percaya kepada Tuhan malah tidak bisa saling menghargai satu sama lainnya? Terutama mereka yang notabene dari sistem keagamaan yang sama pun masih bisa saling menghujat. Bagaimana bila mereka berinteraksi dengan orang dari sistem agama yang lain? Di mana toleransi yang selama ini diajarkan di dalam ajaran agama itu sendiri atau bahkan yang telah ditanamkan sejak dini melalui pelajaran Budi Pekerti di dalam silabus pendidikan nasional? Mengapa ketika berurusan dengan agama, logika seolah terkalahkan?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas sempat terlintas di benak Anda juga. Yang saya sesalkan adalah manusia yang dikatakan sebagai makhluk sempurna lengkap dengan alat berpikirnya malah tidak bisa berpikir rasional untuk saling menghargai dan bertoleransi. Tidak sedikit pula yang tidak berpikir lebih lanjut mengenai aturan-aturan agama yang di’paksa’kan kepada mereka. Bahkan sebagian dari mereka pun rela melakukan tindakan yang merugikan orang lain maupun negara mereka sendiri hanya karena hasutan dari suatu aliran agama tertentu. Mereka bahkan membunuh orang dari sistem agama lain (yang bahkan agamanya pun diakui dan harusnya dilindungi oleh negara) hanya karena orang tersebut memiliki kepercayaan yang berbeda. Mereka menganggap orang dengan sistem agama berbeda adalah orang yang tidak pantas dihormati dan pantas untuk mati. Benarkah logika telah mati ketika bertemu dengan agama? Tidak bisa kah perbedaan kepercayaan ini menjadi suatu pembeda pun juga pengikat di saat yang bersamaan?
Jika kita mau diam sejenak untuk berpikir, sebenarnya akan kita temukan kesamaan dari tiap-tiap sistem agama yang ada. Pertama, tiap agama mengakui Tuhan sebagaimana yang tertera dalam dasar negara: Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika negara telah mengakui beberapa sistem agama, maka sebenarnya semua sistem itu di’asumsi’kan sama dalam hal mempercayai Tuhan yang Esa. Maka, untuk apa kita membeda-bedakan?
Kesamaan yang kedua adalah pada dasar kepercayaan itu sendiri. Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang tediri atas a- (=tidak) dan –gama (=kacau). Maka, secara terminologis, agama berarti tidak ada kekacauan atau dengan kata lain adanya sebuah keteraturan. Sebuah aturan dibuat untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Aturan juga berfungsi untuk mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik. Maka dari itu, setiap agama nampaknya berdasar pada sesuatu yang sama yaitu kepercayaan untuk berubah menjadi lebih baik dengan mengajarkan yang baik. Contohnya, tidak peduli apapun sistem agama yang kita anut, pasti akan ada peraturan yang menyatakan bahwa mencuri itu tidak diijinkan oleh Tuhan manapun. Maka apa yang sebenarnya berbeda dari agama satu dan yang lainnya? Mungkin hanya sebatas kitab.
Dari analisis sederhana di atas, tidak pantas jika kita menyatakan satu agama itu salah karena pada dasarnya semua agama memiliki dasar kepercayaan dan ajaran yang sama, yaitu kebaikan. Jika kita menganggap salah satu agama salah, maka ajaran agama kita pun juga salah. Lalu, apa yang sebenarnya kita bela dan anggap benar selama ini? Tidak ada. Memang, tidak ada salahnya kita menganggap agama kita lah yang paling baik karena itulah kita memilihnya. Namun, jika kita berhak berargumen seperti itu, maka orang lain pun berhak mengatakan agama merekalah yang terbaik karena mereka mempercayainya. Lalu, apakah tidak bisa kita menerima dan tetap berjalan bersama-sama di dalam suatu harmoni? Buat apa memperumit keadaan dengan mengatakan orang lain kafir dan akan masuk neraka jika sebenarnya kita juga dianggap sama oleh mereka? Selain itu, kita masih tidak tahu benar mengenai hukuman yang akan diberikan Tuhan setelah kita mati (neraka dan surga). Benarkah semua itu ada, ataukah hanya sebuah hiperbola yang menakutkan agar kita patuh terhadap suatu ajaran sekaligus sebuah hiperbola yang menggiurkan agar kita mau berbuat sesuai aturan?
Agama yang bertujuan memperbaiki yang buruk dan mengatur yang tidak tertata serta mengajarkan akan toleransi terhadap semua umat manusia seolah terlihat berbelok akhir-akhir ini. Semua dikarenakan oknum yang membuat agama hanya sebagai ikatan yang mengekang seseorang tanpa memiliki hak yang cukup untuk bertanya. Orang-orang ini terlihat mengerti akan agamanya, namun ketika tiba pada hal "mengapa harus begitu?" banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu untuk apa mereka melakukan semua aturan itu. Bukan hanya itu, agama saat ini terlihat begitu dipolitisir dan dimanfaatkan oleh kaum-kaum oportunis untuk mencapai keinginan mereka semata. Lalu, agama seperti apa yang kau pegang saat ini? Mengapa agama yang baik itu seolah telah kehilangan sinarnya dalam mengajarkan kebaikan? Di bagian mana yang salah sehingga ajaran yang baik tidak lagi terlihat berhasil mengajarkan kebaikan.
Pun dengan ajaran Budi Pekerti yang harusnya berhasil menanamkan rasa saling menghargai antar umat beragama telah gagal memenuhi tugas dan tujuannya. Semua yang diajarkan untuk selalu bersikap baik dalam kehidupan sosial dan berpikir logis ketika berinteraksi dengan orang lain juga gagal diterapkan. Semua ajaran itu bahkan dikalahkan oleh ajaran agama yang sayangnya telah dibelokkan dan disalah-artikan oleh berbagai pihak. Toleransi yang diharapkan untuk terwujud karena Indonesia adalah negara yang mengakui agama-agama yang berbeda tidak dapat diraih.

diambil dari tugas Filsafat Ilmu Budaya (milik saya)

Minggu, Mei 27, 2012

Kalau Bukan Demi MTD

Mei selalu identik dengan salah satu event yang dinanti-nanti oleh banyak orang, khususnya mereka yang berdomisili di Malang. Acara ini dihelat setiap tahun sekali dan telah menjadi ikon kota Malang. Festival Malang Kembali atau yang lebih dikenal dengan istilah Malang Tempo Doeloe (MTD), merupakan acara yang sering ditunggu oleh banyak orang, warga Malang maupun luar Malang. Biasanya diadakan sekitar akhir Mei untuk memperingati HUT kota Malang. Festival ini unik karena mengusung tema Malang pada tahun-tahun lampau. Festival ini diadakan di sepanjang jalan Ijen, Malang. Banyak food-stalls and accessorie-stalls yang ada di sana ikut meramaikan festival ini. Di sini, kita akan menemui banyak hal termasuk barang dan makanan yang mampu mengingatkan kita akan nostalgi masa lalu. Tak jarang, kita akan menemukan mainan lawas yang mengingatkan tentang masa kecil kita, pun makanan tradisional yang sekarang sudah sangat sulit ditemukan.

Oke, sekian tentang general description of MTD-nya. Sekarang, cerita sesungguhnya ni. Kemarin, tepatnya 26 Mei 2012, aku diajak teman-teman ke MTD, ya sekedar jalan-jalan bareng lah karena kami udah semester akhir dan kemungkinan akan semakin sibuk sama urusan masing-masing. Lha ini mumpung masih bisa ngumpul bareng di hari libur dan bisa jalan-jalan bareng (meski tidak semua sanggup hadir) jadi ya udah, berangkatlah kami semua. Ada 10 orang yang sanggup hadir kemarin, aku, mas Bangun, Titi, Mas Nicko, Nizar, Agung, Fima, Ninuk, Nyndi, dan Rina. Rencananya sih, ngumpul jam 3, lebih tepatnya abis ashar. Tapi seperti yang sudah bisa ditebak karena mennjadi kebiasaan, semuanya baru ngumpul jam 4 dan baru bisa berangkat jam segitu.

Long story short, kami akhirnya tiba di MTD setelah jalan kaki dari kos-nya Rina (tempat ngumpul tadi) and we found out that this place was already full of people. What on earth was happening? Biasanya nih jam-jam segini masih bisa jalan dengan santainya, tapi sekarang udah penuh aja sama tubuh-tubuh orang yang berdesak-desakan. Oh, God. Sepertinya semua orang memiliki pemikiran yang sama, yaitu: pergi sore aja, masih bisa jalan santai soalnya masih lengang daripada malem gak bisa menikmati soalnya udah penuh banget. Dan akhirnya, jadilah seperti ini. Sore pun lokasi sepanjang jalan Ijen ini sudah dipenuhi manusia. *shocked*

Di MTD kami sih sempet cuci mata. Melihat banyak wisata kuliner dan barang-barang tradisional yang dijual. Kami juga sempat mencicipi beberapa kuliner tradisional asli Nusantara. Delicious. Bukan hanya itu, kegiatan wajib di sana selain wisata kuliner dan menghabiskan uang adalah *jeng jeng jeng jeng*.
Yup, you are totally right. What else to be done instead of taking so many pictures in that annual event??? Jadinya, kami rame berfoto-foto ria mengabadikan kebersamaan kala itu *ecieh bahasaku. Bukan hanya foto kami yang diabadikan oleh kameran mas Nicko, namun juga foto-foto aneh. You know what, some people stared at us and might think that we were are crazy. Not give a single damn.lol. :P

We were walking along the way and enjoying the every little thing there, then the time to pray was near. Akhirnya, pada ribut nyari tempat buat sembayang. And, do you know what our decision was? Kami pun mangkir dari area MTD ke Mall Olympic Garden (MOG) buat nyari tempat sembayang. I know that you feel shocked because you might not think about that crazy idea. Dan baliknya nih, kita masih harus jalan kaki lagi ke tempat awal karena kondisi sangat tidak memungkinkan untuk naik angkot, sedangkan motor kami semua diparkir di kos-nya Rina di Jl. Blitar. Jadi intinya, rute yang kami lalui kemarin mulai dari Jl. Semarang, Jl. Blitar, terus Jl. Pahlawan Trip, Jl. Ijen, ke arah MOG, balik lagi ke arah Perpus Kota, Jl. Merbabu sampai menembus Gereja Ijen, terus ke Jl. Pahlawan Trip, dan Jl. Blitar lagi. fiuh. What a long journey, indeed. Mungkin kalau kalian hanya membaca dari postingan ini, kalian tidak tahu pasti sejauh apa itu, jadi mungkin lebih baik, kalau kalian main ke Malang, Jawa Timur, cobalah menyusuri jalan-jalan itu sesuai rute yang aku sebutkan dan rasakan sendiri bagaimana serunya kalian berjalan kaki melewati jalan itu.

Mungkin kalian berpikir, demi apa aku mau berjalan sejauh itu? Yang ada hanya membuat kaki gempor dan badan linu-linu. Ya, ini yang aku rasakan sekarang. Jawabannya adalah: kalau bukan demi MTD (dan ngumpul sama teman-teman) mungkin I wouldn't do that.

Teruntuk yang Terkasih

Teruntuk yang terkasih,

hidup itu tak selamanya indah, sayang. Terkadang ada waktu di mana keindahan itu pudar, bukan hilang. Terkadang kita akan tiba di satu masa ketika keindahan itu terselimuti kejenuhan yang kita rasakan. Namun, bukan berarti hidupmu tak lagi indah atau tak mungkin menjadi indah.

Hidup tak selamanya sesuai yang kita harapkan, kasih. Memang kitalah pembuat keputusan dan pemilih jalan yang kita lalui, namun hal-hal di luar ekspetasi masih mungkin menghantui. Itulah saat di mana kita harus membuat keputusan lagi. Sebuah keputusan yang akan menentukan laju kita nanti. Ingatlah satu hal, jangan sampai kau menyesali keputusan yang telah kau buat nanti. Lakukan semuanya dengan senang hati.

Aku tahu, melakukan itu semua tidak semudah yang aku tuliskan di sini. Asal kau tahu, aku juga takut. Terkadang aku juga lelah. Tapi di saat itu menerjang, aku berusaha mengingatmu, mengingat mereka yang menyayangiku, mengingat tujuanku, untuk apa aku berjalan di lintasan ini. Aku berusaha membayangkan senyum kalian pun senyumku sendiri. Membayangkan saat-saat bahagia karena kalian berbahagia atas diriku pun bangga akan kesuksesanku. Melawan ketakutan dan rasa lelah itu tidaklah mudah, namun jangan sampai kita kalah.

Tak bisa kita selalu mangkir dari ketidak-indahan hidup, sayang. Semua kepahitan yang kita rasakan adalah penempa kekuatan dan kegigihan kita. Mengalahkan semua kelelahan, menaklukkan semua halangan yang ada. Hadapi, dan kita senantiasa menjadi lebih kuat. Setelah pahit, manis pun akan terasa begitu berharga.

Aku percaya kau mampu, sayang. Kau memiliki kekuatanmu sendiri. Cukuplah ingat ini, sayang: kau tidak sendiri. Tak bisa kujanjikan banyak hal padamu, bahkan tak berani aku bersumpah selalu ada untukmu. Aku hanya bisa berjanji satu hal: berusaha selalu ada untukmu. Berusaha mendukungmu dan membantumu semampuku.

Semua ini demi dirimu. Demi hidupmu juga masa depanmu (dan aku). Kita tidak muda lagi, sayang. Tak bisa terus lari dan menipu diri. Ini jalan yang kita pilih, kita harus lalui. Bersama sampai akhir. Ini inginku, bagaimana denganmu? aku harap jawaban itu sama. :)


salam hangat,
aku yang menyayangimu, selalu-

Kamis, Mei 24, 2012

Time Flies, Indeed

Hai semuanya...
What's up? I hope you're doing fine.

Kali ini aku hanya ingin berbagi sebuah rasa. Perasaan yang terkadang kita lupakan hanya karena kita terlalu sering merasakannya. Sebuah paradoks kan? Namun, itulah yang terjadi.

Do you ever feel that time flies? Yeah, time passes so fast without us ever notice it. Sering sekali kita tiba-tiba berada di satu titik dalam kehidupan yang akhirnya memaksa kita untuk merasa:

 "Wah, cepet banget ya. Gak kerasa udah 2 bulan."
 "Wah, perasaan masih kemarin deh masuk semester baru, eh sekarang udah mau UAS aja."
 "He? Udah mau liburan lagi? Berarti udah kelewat 6 bulan donk."

Perasaan-perasaan seperti itu dan ekspresi-ekspresi lain yang berkaitan dengan "time flies so fast" sering sekali muncul dalam benak kita, namun ia juga sering terlupakan. Kita ingat hanya jika kita berada di satu titik setelah melewati banyak hal, namun kita sering melupakannya pada keseharian kita. Karena itulah, tak jarang dari kita, termasuk aku, yang merasa terkejut bahwa waktu sudah cukup jauh berjalan. Bukan, bahkan dia berlari begitu cepatnya. Atau bahkan, seperti pepatahnya, dia terbang bagaikan pesawat jet.

Hal inilah yang akhirnya membuat kita merasa terkejut, bahwa ternyata kita sudah menghabiskan sekian bagian dari kontrak hidup kita di dunia tanpa kita menyadarinya. Hal ini juga yang terkadang menimbulkan sebuah penyesalan, entah itu besar pun kecil, karena kita merasa masih banyak yang belum terselesaikan dalam kurun waktu tersebut. Entah memang terlalu banyak hal yang harus dilakukan atau karena kita yang tidak mampu memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin.

Akhir-akhir ini aku merasakannya. Waktu seakan berlalu begitu cepat dan terlihat berusaha meninggalkanku. Terkadang aku merasa lelah hanya untuk berusaha berlari menyamai langkahnya. Namun tetap saja tidak pernah bisa sejajar. Aku sering berpikir: "Aku sudah memasuki kepala dua."; "Sebentar lagi aku sudah harus lulus, padahal aku merasa baru sebulan menjadi mahasiswa."; "Berarti setelah ini aku harus cepat bekerja."; dan pikiran-pikiran lainnya sering kali muncul dalam lamunanku. Tak terasa waktu begitu cepat bergulir.

Aku teringat seorang teman yang berkata, "Life is a race." Yes, indeed, it is. Semua berjalan begitu cepat. Meski kita berusaha memacu kecepatan kita, terkadang kita masih tertinggal. Mungkin memang benar, cepat saja tidak cukup. Ya, speed is not enough, being fast is not enough. Kita memerlukan sebuah strategi. Strategi terbaik bagi masing-masing dari kita untuk menjalani hari dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak tertinggal oleh putaran kehidupan.

Ya, mungkin strategi yang dibutuhkan secara umum adalah, bagaimana kita bisa terus mengingat bahwa waktu bergulir begitu cepat.

Kamis, Mei 10, 2012

Sampai Gelap Kembali Menyelimuti

Mentari menyapa sang pagi
hangatkan seluruh permukaan bumi
Di sini, aku tetap menanti
hingga gelap kembali menyelimuti

Jauh kugantungkan sang angan
di taburan langit penuh gemintang
Terkadang tertutup awan,
namun bukan menghilang.

Tak jarang lelah aku
seolah tak sanggup lagi 'tuk maju
Merangkak, jatuh, dan menggelepar
berusaha merengkuh sang fajar

Tak jarang seperti mati aku
tak mampu lagi terbangun, terjaga, hanya diam
Terperosok, luka, dan malu
berusaha meraih bulan dalam pelukan sang malam

Jikalau berkenan, Tuan,
ulurkanlah tanganmu
biarkan kesentuh dengan jemariku

Jikalau kau mau, Tuan
angkatlah aku dari jatuhku
bersama, kita mengayuh sampai layu

Sampai gelap kembali menyelimuti...

Mind's Talk

Suara tawa itu selalu terngiang di telingaku. Senyumnya, bahkan garis bibirnya yang membentuk lengkungan menghias wajahnya pun masih kuingat dengan jelasnya. Namun saat ini, bukan dia yang selama ini ceria yang ketemui di hadapanku. Dia terlihat lelah, seolah memikul beban berat di pundaknya. Jarang aku menemuinya dalam keadaan seperti ini, jika bukan karena masalah yang teramat berat.

Pun benar adanya. Dia merasa begitu terbebani. Beban yang 'dengan sengaja' kutaruh di kedua bahunya. Beban yang 'dengan sengaja' aku buat semakin berat. Sedangkan Aku, aku yang mengaku mengertinya, justru semakin membingungkannya. Aku, yang mengaku menyayanginya, justru semakin menyakitinya.

Pantaskah aku meng-klaim diriku seperti itu? Masih pantaskah aku untuk berada di sampingnya, yang telah 'dengan sengaja' aku sakiti?

Mungkin orang menganggapku tak pantas, namun aku akan membuatnya pantas. Akan kujaga dia dan barang yang telah dengan senang hati dia berikan. Ya....