Tertuju kepada
Sang Awan di Hamparan Lazuardi
Dulu, di dalam luasnya sang Lazuardi, di sanalah pertama
kali aku menemukanmu. Aku dengan ingin tahuku dan kerlipan nakalku terus
memandangimu tanpa sedikit pun merasakan jenuh. Begitu lekat, kupandangi engkau tamat-tamat dengan penuh
minat setiap kali engkau lewat. Dengan sedikit menumbuhkan harap bahwa engkau
akan mulai balas melihat.
Sang Kala pun beranjak menjauh, namun aku tetap pada masaku, tetap dalam diamku; hanya berani mencuri pandang dari jauh. Tak kunjung bosan aku menatap meskipun cuma
sekejap. Tapi tak sedikitpun, tak sekalipun—sejak pertemuan pertama kita—aku berani lancang memikirkan
kata “kelak” dan “kita”. Karena aku mafhum, mencintaimu (dulu) tak pernah
semudah menggantung angan. Karena ada Bulan si ratu Malam dan seorang Puan di atas Bumi yang
selalu menyimpanmu dalam ingatan; serta seruan rindu yang tak putusnya
mereka lafalkan. Aku paham, Awan.
Pernah terlintas padaku, bagaimana jika aku mundur saja dan menyerah; bagaimana jika aku melihat dengan tabah dari balik celah; serta
rentetan bagaimana jika yang terus
memenuhi daftar kepalaku. Biar saja aku hilang ditelan oleh sang Pekat agar tak
lagi berkelip cepat. Biar saja Bulan atau seorang Puan yang merapatkan sauhnya dan beristirahat di daratan hatimu. Dan biar
saja aku menjadi kenangan yang hanya terlewat tanpa pernah sedetik pun tertambat.
Karena aku sadar, Awan, bahwa kita adalah beda. Aku dengan
redupku, engkau dengan mendungmu. Aku dengan kejoraku, dan engkau dengan putih
cerahmu. Namun apakah kau tahu, Awan? Tak pernah aku menyana, bahwa kau
membiarkan aku menang memiliki sosokmu dan juga hatimu; utuh. Perlahan engkau membangunkan sebuah kesadaran
bahwa beda tak ubahnya hanya kumpulan aksara yang membentuk sebuah kata tanpa
secuilpun makna harus berpisah. Karena beda tetaplah KITA. Kita yang tak ada
tanpa berdua; kita yang menghilang jika tidak bersama. Kita yang melebur semua
beda dan tetap merajut serat-serat asa. Kita yang saling mengaminkan dalam kumpulan
doa pada Semesta. Kita yang mengharap restu dari sang Maha untuk tidak
terpisah. Kita yang saling melantun rindu dalam buaian sang Lazuardi yang biru.
Kita yang berhasrat menjadi satu, padu di hadapan sang Surya.
Bolehkah jika aku sekarang berpikir tentang kelak dan kita,
Awan?
Dengan kerlipan penuh cinta
Sang Bintang Kejora di Lazuardi malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar