Sabtu, Juni 25, 2011

Untold (1)

"Life is indeed unique. Sometimes it hurts much, but somehow it is funny if we can see from another perspective."

Terkadang hal-hal terjadi di luar logika kita, layaknya sebuah kebetulan yang sangat tepat. Mungkin ada sebagian dari kalian yang tidak percaya pada sebuah kebetulan. Mungkin kalian termasuk golongan orang yang percaya bahwa semua hal yang terjadi pasti ada alasannya dan pasti ada tujuannya, entah itu baik atau pun buruk. Namun, tidak begitu bagi hal yang satu ini. Aku tak mampu melogikanya, sehingga aku terpaksa percaya bahwa ini memang murni sebuah kebetulan.

Sebuah perang bintang terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan (sedikit lebay). Aku tak bermaksud menyinggung siapa pun, aku tak bermaksud meniru apa pun, atau bahkan mengibarkan bendera perang itu. Namun, ternyata tak begitu bagi mereka. Mereka menganggap aku yang salah, selalu berada di pihak yang salah dan selalu menjadi pihak yang dikalahkan. Tidak peduli bagaimana alasanku, tidak melihat bagaimana sebenarnya posisiku, bahkan tidak sedikitpun memikirkan bagaimana perasaanku. Tidakkah mereka tahu bahwa diperlakukan seperti itu sangatlah menyakitkan?

Aku berusaha bersikap baik, sabar dan rela menerima semuanya. Tapi mengapa tetap saja terlihat salah di mata mereka. Butakah mereka?
Tak tahukah mereka bahwa bersikap seperti itu sangatlah menyakitkan?

Mungkin memang aku pihak yang patut dicurigai karena memiliki alasan yang cukup besar untuk memulai sebuah perang bintang. Tapi, hei, buat apa? Tak ada untungnya bagiku.
Demi Tuhan....

Aku sudah lelah terus diperlakukan seperti itu. Selalu terlihat salah. Kini terserahlah saja, mereka mau berpikir apa. Aku hanya akan terus melangkah, melanjutkan hidupku yang sempat tertunda.
hahaha, Ternyata memang tak ada gunanya aku terus menoleh ke belakang karena masa lalu tak akan pernah bisa berubah. Sudahlah, akan aku biarkan mereka. Karena aku memang sudah terlalu lelah.

*ternyata aku telah melakukan kebodohan yang besar dalam hidupku hanya karena terus membelamu tanpa mendapatkan apapun yang baik bagiku....

Jumat, Juni 24, 2011

Three Days of Dreaming (baca: Tour 3 Kota) Pictures


first destinantion: Waduk Karangkates, Blitar

second destination: Museum Bung KarnoThird destination: Gua Lowo
fourth destination: Pantai Karanggongso

Sepenggal Kisah untuk Dia

Duduk aku termenung menghadap layar laptopku. Malam semakin larut, namun kantuk tak kunjung menghampiriku. Kedua mata ini seakan tak mau tertutup untuk sejenak beristirahat. Hhh, insomnia ini mengapa menghampiriku di saat yang tidak tepat? Perasaanku terlalu sedih dan sakit untuk tetap terjaga malam ini, namun ternyata tubuhku berkata lain.

Kutolehkan wajahku, memandang sekeliling kamarku. Gelap. Hanya remang cahaya layar laptopku satu-satunya sumber sinar di kamar ini. Ya, memang lampu aku matikan semenjak aku masuk ke dalam kamar ini beberapa saat yang lalu. Seolah aku ingin terjebak dalam kegelapan yang mendalam. Pikiranku melayang, melintasi waktu, memutar kembali memori-memori masa lalu. Biasanya jika dalam keadaan seperti ini aku akan memilih untuk menulis. Selama ini menulis selalu bisa menenangkan pikiran dan sedikit melegakan perasaanku karena dengan menulis, aku bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan bahkan menceritakan masalah-masalah yang serasa menghimpitku.

Hhhh, kutarik nafas dan kuhembuskannya keras. Cinta memang membuat orang berubah, bahkan sampai 180 derajat. Cinta membuat orang menjadi cengeng dan super melankolis. Yah, setidaknya itulah yang terjadi padaku. Aku yang dulu jarang menangis, apalagi untuk seorang lelaki, kini jadi sering meneteskan air mata untuk hal-hal sepele. Mungkin benar kata orang, di dalam cinta selalu ada air mata.

Ini semua berawal dari mengenal dia, seorang laki-laki periang dan penuh tawa. Bersamanya aku tenang, bersamanya aku merasa senang, pun bahagia. Hari-hariku penuh dengan canda dan tawa. Dia mewarnai hariku yang sebelumnya terasa abu-abu, monoton. Tak perlu waktu lama untuk dekat dengannya karena dia orang yang menyenangkan dan mudah membuatku nyaman. Perasaanku kala itu layaknya petualang yang menemukan tempat baru yang indah, seolah aku telah sangat lama mengenal dirinya. Seolah aku menemukan sesuatu yang selama ini aku cari.

Aku terlanjur mengharap banyak. Aku terlanjur membiarkan hatiku melambung tinggi, berharap semua ini akan abadi. Namun ternyata tak ada satu pun di dunia ini yang akan abadi, termasuk kebersamaan ini. Semua hanyalah sementara. Dia hanya berhenti sejenak di duniaku sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya mencari dunia yang baru, hati yang baru. Sedangkan aku, aku telah terlanjur membuka hatiku, membiarkannya masuk terlalu dalam, dan akhirnya menghancurkannya. Aku porak poranda. Ingin aku membencinya, namun kata orang, cinta tak bisa berujung benci.

Hhhh, kuhembuskan nafasku lagi. Semua kini telah usai, kisahku denganmu. Kini yang ada hanyalah kisahmu yang baru, entah bersama siapa. Aku sudah berjanji pada diriku hanya akan melihatmu dari jauh. Dan inilah yang aku lakukan sekarang, memandang duniamu dari duniaku tanpa menghentikan langkahku untuk tidak menantimu kembali. Melihatmu dari kejauhan tanpa terlibat terlalu dalam dengan hidupmu. Menjadi seorang figuran di dalam drama kehidupanmu.

Pikiranku kembali ke alam nyata dan mulai kuketikkan kata demi kata. Sebuah cerita pun mengalir indah, menari-nari dalam layar laptopku.

Ini hanyalah sebuah cerita. Penggalan kisah dalam kehidupan kita. Mungkin telah lama kau lupakan atau kau kubur dalam di dasar hatimu. Aku hanya ingin mengungkapkan, mungkin mengingatkanmu sedikit akan kisah kita. Kau pasti tahu, tidak ada manusia yang ingin dilupakan dan dihapus dari ingatan.

Kala itu, aku melihat kau tersenyum, bercanda tawa dengan kawanmu. Aku terpesona oleh senyummu. Raut bahagia itu, tawa itu. Tak dapat kuenyahkan bayangmu sejak itu. Dan kita bertemu kembali, kita pun saling mengetahui. Mengenal satu sama lain dan perlahan mencoba untuk mengerti. Sang Waktu bergerak mengiringi kisah ini. Dan akhirnya berhenti karena ternyata kita telah berdiri di akhir episode tentang kita. Sepenggal kisah tentang kita telah usai.

Penggalan kisah ini mungkin telah kau lupa pun terkubur di dasar benakmu. Terkubur oelh penggalan kisahmu yang baru dengan hati yang baru. Namun, tak begitu bagiku. Ia tetap ada di sana, meski aku telah memutuskan untuk melaju. Sepenggal kisah tentang kita kutuliskan untukmu karena aku tak ingin terhapuskan dari ingatanmu.
-Sepenggal kisah untuk Dia-

Three Days of Dreaming (baca: Tour 3 Kota) Last Part

Hari terakhir di Trenggalek (kalau mau tau petualangan sebelumnya, silahkan baca postingan sebelumnya). Pagi-pagi pun kami berangkat menuju kota selanjutnya, Kediri. Singgah di rumah teman, berkaraoke ria, dan makan tentunya, satu hal itu memang tidak bisa terlepas selama liburan ini. Kami bergiliran menyanyikan banyak lagu, mulai dari dangdut (the music of my country), campursari/langgam, keroncong, lagu melayu, evergreen, pop, hingga rock. Tidak peduli suara yang pas-pas an (aku maksudnya karena yang lain ternyata memiliki suara yang cukup indah untuk didengar), kami bernyanyi hingga tenggorokan kering dan suaraku berubah parau.

Lelah, kami beristirahat sejenak, memulihkan tenaga untuk berjalan lagi. Pukul 16.00 menuju Simpanglima Kediri. Tiba di sana saat langit mendekati senja. Sang surya terlihat agung dan mempesona menuju peraduannya. Semburat jingga di langit biru dan awan yang putih. Sungguh sebuah panorama indah yang mampu tertangkap oleh mata.

Mungkin kalian bertanya, apa yang begitu special di Simpanglima. Di sana terdapat sebuah bangunan yang notabene meniru bangunan di luar negeri, kalau aku tidak salah, di Prancis. Bangunannya indah, semakin indah dengan suasana senja, semilir angin yang membelai lembut, serta sang bulan yang seolah tak mau melewatkan momen itu. Seperti layaknya wisatawan, kami mengambil foto sebanyak-banyaknya.. :D

Perjalanan berakhir. Seolah mimpi, tour ini harus berakhir dan kami harus terbangun untuk menghadapi kehidupan yang sempat tertunda. Saatnya kembali ke realita..
It was such a beautiful dream and I do not want to get up again. However, it is the time to go back to the reality after three days of dreaming. I am refreshed and ready to face the real world :D

See you in another post.

Three Days of Dreaming (baca: Tour 3 Kota) Part II

Perjalanan selanjutnya...

Setelah puas menikmati kota Blitar (baca postingan sebelumnya), kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama, Trenggalek.

Kami tiba di Trenggalek sekitar pukul 15.00 dan berhenti di rumah salah satu teman kami yang akan menjadi tempat tinggal kami selama tiga hari ke depan. *Terima kasih kepada teman kami yang sudah merelakan rumahnya diporakporandakan :)
Ketika tiba di sana, kami langsung dihadapkan pada makanan, camilan, serta godaan untuk memecah degan atau kelapa muda yang baru saja diambil dari kebun sendiri. Hmmm, nikmatnya.

Trenggalek tidak sepanas yang aku kira karena mungkin daerah ini juga masih dikelilingi oleh gunung. Pada siang hari lumayan terik, namun tidak terlalu membuat berkeringat, sedangkan pada malam hari, anginnya cukup kencang untuk membuatku merapatkan jaket ataupun selimut.

Tak lama setelah meneguk air degan, kami memutuskan untuk pergi berenang (kebetulan rumah teman kami dekat dengan kolam renang). Yay, lama tidak berenang akhirnya aku bisa berenang lagi untuk meregangkan otot-otot yang kaku setelah perjalanan panjang Malang-Blitar-Trenggalek.

Hari pertama di Trenggalek tidak terlalu sibuk karena memang kami tujukan untuk istirahat. Mempersiapkan kondisi fisik untuk perjalanan esok hari ke Gua Lowo dan Pantai Karanggongso.

Hari kedua, perjalanan pun dimulai. Jam 08.00 kami berangkat, tentunya setelah semua sarapan dan menyiapkan barang bawaan masing-masing. Jadwal hari ini adalah pergi ke Gua Lowo yang akan dilanjutkan dengan Pantai Karanggongso (keduanya satu arah).
Banyak dari kami, terutama kaum perempuan, yang kurang menyukai gua. Mereka takut akan gelap mungkin, atau merasa tidak aman saja. Siapa tahu tiba-tiba gua itu longsor dan kami tidak bisa keluar lagi (naudzubillah). Gua Lowo itu panjangnya 800m, itu pun yang sudah mudah aksesnya, yang memang ditujukan untuk pengunjung. Selebihnya, masih dalam lagi, namun aksesnya susah. Harus yang berpengalaman yang boleh masuk. Jalan masuk dan keluar gua hanya ada satu, sehingga kita harus putar balik untuk kembali ke mulut gua. Lumayan menarik.

Dinding-dinding gua terkikis oleh air sehingga berbentuk seperti salur-salur, bahkan ada yang seperti kelambu. Sayangnya, kameraku tidak maksimal dalam mengabadikan gambar di tengah kegelapan. Tidak ada stalaktit ataupun stalakmit yang dekat dengan kepala kami, tidak seperti di Gua Gong. Setengah perjalanan, akan terdengar suara cicitan dan kepakan sayap di atap gua, itu adalah sarang kelelawar atau dalam bahasa Jawa disebut Lowo. Itulah mengapa gua ini disebut dengan Gua Lowo. Seperti pada sarang umumnya, pasti akan terdapat bau-bauan yang menusuk hidung, di dalam gua ini pun begitu. Bau itu berasal dari guano atau kotoran kelelawar, tapi menurutku, bau itu masih dalam tahap wajar. Tidak sampai membuat orang pusing atau bahkan pingsan.

Di salah satu dinding gua pun terdapat sumber atau mata air yang dipercaya orang sebagai mata air awet muda. Entah itu benar atau tidak aku tidak tahu. Selain itu, terdapat bebatuan yang terkikis air atu termakan cuaca, sehingga bisa berbentuk seperti kura-kura raksasa (di luar gua) dan singa. Setelah berjalan ke dalam, kami memutar untuk keluar gua. Rasanya seolah kembali ke peradaban saat melihat cahaya terang. Gua itu terdapat di bawah, sehingga untuk kembali ke permukaan, kami harus melewati tangga yang ternyata cukup menyaingi tangga Borobudur. Hahaha, pagi-pagi sudah olahraga. Over all, gua ini cukup menarik untuk dikunjungi.

Setelah berolah raga ria, kami lanjut ke pantai Karanggongso, sekitar 1 jam dari Gua Lowo. Jalan menuju pantai seperti jalan menuju pegunungan, menanjak dan berkelok-kelok (ini sebenernya mau ke pantai apa gunung?). Pemandangan yang ditawarkan cukup menyegarkan mata karena di kanan kiri jalan terdapat hutan-hutan kecil yang penuh dengan pepohonan hijau.

Setelah melihat pepohonan, akhirnya kami melihat hamparan pasir putih dan air biru. ya, Pantai. Kami tiba di pantai. It is a beautiful bitch beach. Airnya bening dan tidak ada sampah yang mengapung maupun berserakan. Di sana terdapat banyak perahu yang memang ditujukan untuk pengunjung yang ingin menjelajahi lautnya. Hanya dengan 5000 rupiah per orang. Ada sebuah dermaga yang sayangnya sedikit tidak terawatt, karena banyak lantai kayunya yang sudah lepas, namun dermaga itu masih bisa kita naiki atau tapaki. Mungkin saat sunset, pantai itu sangat romantis. Sayangnya, perjalanan kali ini tidak kami habiskan sampai sunset.

Di sana, kami sangat menikmati pemandangan pantai dengan bukit-bukit atau pulau yang ada di sekeliling serta di tengahnya. Langit pun cerah. Sebuah lukisan yang sempurna di kanvas bernama dunia. Kami berenang, bermain ombak, berfoto (paling banyak dilakukan), makan ikan bakar, dan banyak lagi. It seemed that we were forgetting our miseries. Life seemed so simple and happy. Banyak senyum dan tawa yang kami tinggalkan di sana. Kesedihan pun sirna sudah. Memang liburan seperti ini terkadang sangatlah dibutuhkan untuk sekadar meringankan beban pikiran.

Puas menikmati pantai, kami pun kembali ke tempat peristirahatan dan memang langsung beristirahat. Seolah tak sanggup beraktivitas lagi :P

*nantikan episode terakhir dari Tour 3 kota ini :D

Kamis, Juni 23, 2011

Three Days of Dreaming (baca: Tour 3 Kota) Part I

Tadaimaaaa…..
*membuka blog dan menyadari betapa usangnya blog ini. Ternyata sudah cukup lama aku tidak menulis di blog ini, dari bulan Mei hingga Juni.

Wow, satu bulan penuh, atau lebih mungkin :)
Maaf, bagi orang-orang yang mengikuti blog ini, yang suka membaca blog ini, dan yang selalu memantau perkembangannya *membungkuk (tapi emangnya ada?)
Aku jarang menulis karena sibuk, hahaha. Ya, ya, ya, aku tahu itu alasan klasik. Baiklah, akan aku katakan yang sebenarnya, aku sedang menghadapi sesuatu yang dinamakan writer’s block. Ya, aku tidak ada ide untuk menulis! *jdaaar* suara petir menyambar.

Anyway, kali ini aku akan menuliskan pengalamanku selama tour 3 hari (Blitar, Trenggalek, dan Kediri) di liburan ini. Setelah sebulan lebih kami (baca: aku dan teman-teman sekelasku) merencanakan perjalanan ini—aku tahu kalian mungkin menganggap kami lebay, tapi begitulah adanya—akhirnya perjalanan ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Kami berangkat dari Malang pada hari Minggu, 12 Juni 2011. Rencana awal, kami berangkat setelah subuh, tapi seperti yang telah diduga, jadwal pemberangkatan mundur beberapa jam, menjadi pukul 07.00 (ternyata budaya memakai jam dari karet itu masih kami lestarikan).

Perjalanan dimulai menuju kota pertama, Blitar. Sebenarnya ini bukan tujuan utama melainkan tempat persinggahan pertama. Kami hanya transit, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi menuju tujuan utama, yaitu Tenggalek.

Blitar, apa yang kalian pikirkan saat mendengar nama kota itu?

Yup, benar (meskipun kalian tidak menjawab atau pun jawaban kalian salah, tetap saja aku anggap benar. Baik kan?) tujuan wisata kami di Blitar adalah waduk Karangkates. Waduk itu lumayan bagus sebenaranya, namun sayang, seperti layaknya tempat wisata lain yang selalu didapati adanya kerjaan tangan-tangan jahil yang membuang sampah sembarangan, mencorat-coret dinding maupun pagar, atau hal-hal yang lain. Semua itu membuatnya menjadi tidak indah. Terlepas dari itu, pemandangan yang dipampangkan cukup menarik, seolah ada pulau di tengan waduk itu (ya, mungkin itu memang pulau betulan). Udaranya cukup sejuk, karena memang masih pagi dan jalanan masih cukup sepi. Waduk itu berada di kanan jalan, jika kita datang dari arah Malang. Di kiri jalan terdapat landaian tanah yang tertanami tetumbuhan hijau. Letak jalan raya dan jembatan berada beberapa meter lebih tinggi dari waduk dan landaian tanah itu. Seolah kau berada di atas gunung dan mampu melihat semua yang ada di bawah tanpa sedikit pun penghalang pandangan mata. Dan hari itu cerah, secerah mentari yang bertengger di singgasana langit, secerah senyum kami yang penuh kekaguman dan kesenangan :D

Tempat singgah kedua, masih di Blitar. Museum Bung Karno. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba mereka (baca: teman-temanku) tertarik dengan sebuah museum dan makam, namun bagaimanapun itu adalah sebuah warisan nenek moyang, harta negara yang patut untuk dikunjungi dan dilestarikan (udah sok ni bicaranya). Museum Bung Karno merupakan sebuah kawasan wisata yang cukup luas. Di sana terdapat perpustakaan tempat menyimpan buku-buku sejarah (yaiyalah tempat nyimpen buku) mengenai Indonesia, Bung Karno sendiri, maupun buku-buku yang lainnya. Selain itu, terdapat museum yang menyimpan gambar-gambar (foto maupun lukisan tentang Bung Karno. Salah satunya adalah sebuah lukisan yang notabene ajaib. Ya, ajaib karena lukisan itu berdetak. Detakan itu tepat berasal dari titik di mana jantung seharusnya berada, yaitu dada sebelah kiri. Memang, jika dilihat dari depan, tidak akan terlihat bedanya. Hanya nampak layaknya lukisan biasa, namun jika kita melihatnya dari samping, maka akan nampak bagian dada tersebuut berdenyut-denyut lembut dan berirama laksana denyutan jantung manusia. Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi, mungkin ada suatu trik atau suatu penjelasan ilmiah tentang itu, entahlah. Bisa dibilang lukisan itu menjadi Point of Interest di kawasan wisata ini selain makam Bung Karno sendiri tentunya. Selain lukisan yang berdetak itu, banyak sekali lukisan serta foto-foto pada zaman kemerdekaan. Melihat foto-foto tersebut rasanya seperti kita menyaksikan suatu peristiwa pada zaman itu, padahal mungkin kita belum lahir. Sayangnya, di dalam museum, pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar.

Rute museum ini berurutan dari depan ke belakang—museum, perpustakaan, makam, dan pusat oleh-oleh. Sekarang, kami menuju makam Bung Karno. Sebelumnya, seperti yang sempat disiarkan di berita bahwa ada sejarawan yang percaya bahwa Bung Karno tidak dilahirkan di Blitar melainkan di Surabaya. Well, aku tidak tahu mana yang benar, karena masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. Back to the topic, di sana terdapat dua buah makam dan satu buah guci besar yang terletak di pendopo. Jadi, letak makam tersebut di atas atau lebih tinggi dari jalan yang dilalui pengunjung. Aku tidak tahu itu ditujukan untuk apa, apakah agar makam itu tidak dirusak atau kotor (tapi siapa yang akan mau merusak makam?), ataukah suatu bentuk penghormatan. Hei, aku tahu Bung Karno adalah orang yang berjasa, namun dia juga hanya seorang manusia yang setara derajatnya dengan manusia yang lain di hadapan Tuhan. Entah mengapa aku merasa orang-orang terlalu menghormatinya. Aku tahu makam mungkin tempat keramat, namun entah mengapa orang-orang terlalu mengkultuskannya. Terserahlah.

Rute berlanjut ke pasar oleh-oleh. Banyak sekali stand yang menjual cindera mata mulai dari yang kecil dan mudah dibawa seperti pin, gantungan kunci, topeng, baju, sandal, sampai yang besar seperti lampion, pajangan, dan peralatan dapur. Pasar oleh-oleh itu cukup besar, namun jalannya sempit sehingga pejalan kaki yang lain harus terpaksa berhenti sejenak saat ada pengunjung yang berhenti untuk melihat-lihat barang di salah satu stan. Anyway, jalan-jalan di Blitar lumayan seru!