Selasa, Februari 10, 2015

Dear, Heart



To:
My beloved partner in crime,
Heart.

Dear, Heart

Apa kabar kamu? Kamu tampak lesu, seolah sedih tak menentu. Seringnya kulihat akhir-akhir ini kamu bermuram durja. Melamun gundah gulana, bahkan tanpa kenal kala. Pagi, siang, sore, pun ketika malam telah tiba, tiada jua kamu tertawa. Ada apakah gerangan? Apa kerana lelaki itu? Apa kerana dia kamu merasakan luka?

Sekian lama aku berujar dan tanpa lelah aku mengingatkan, bahkan sejak awal pertemuan kalian, bahwa kamu harus awas. Jangan mudah menyerahkan diri. Namun, apa pula yang terjadi? Kamu malah seenaknya berlari pergi ke pelukan si lelaki. Bukankah sudah ribuan kali aku tuturkan, kamu jangan mudah termakan omongan orang apalagi yang (mungkin) hidung belang. Tapi apa? Pernah kamu mendengar? Tidak! Sekali pun tidak kamu indahkan semua ucapku. Tidak pula pernah, barang sekejap saja, kamu pusingkan semua ujarku. Seolah kata tak mampu lagi menyampaikan berita. Seperti itulah kamu membuatku menderita melihatmu yang terkadang meronta-ronta.

Apa kamu tahu? Aku seperti mau gila saja melihat tingkahmu yang tak dinyana-nyana. Tak berdaya lagi aku dalam menimbang sesuatu. Tak bisa lagi aku menggunakan logikaku. Bukankah semestinya aku dirancang untuk itu? Untuk berpikir. Namun sekejap mata tingkah laku absurd-mu melumpuhkanku. Dan kuputuskan untuk mengikuti inginmu.

Kini kau rasakan bukan? Seruanku selama ini adalah benar. Kamu merasa tak karuan kerana lelaki siluman. Ya, lelaki yang seenak hati bermain di sini. Lelaki yang seenak udel-nya memporakporandakan semua benteng yang ada dan membangunnya lagi dengan lebih indah. Lelaki yang bertindak sesukanya mendobrak semua yang telah tertata rapi dan mengubahnya menjadi lebih artistik. Lelaki yang aku tahu begitu kamu cintai. Lelaki yang aku tahu begitu menjagamu dengan pantas. Lelaki yang aku tahu mengingatmu dalam setiap malamnya. Lelaki yang aku tahu saat ini sedang menyiapkan diri menjadi pendamping hidupmu.

Aku sadar kamu sedang gelisah. Gelisah kerana masa yang belum tiba. Ya, tampaknya kamu amat berusaha mencari rasa dalam kata ‘kelak’. Bagaimana kelak, semasa kalian telah bersama. Tenanglah. Masa depan belumlah datang, biarlah nanti aku bantu memikirkan. Yang terpenting kini apa yang telah terbentang di hadapan. Bahwa kalian telah perlahan merajut sebuah ikatan. Ikatan yang nantinya akan dipersatukan di hadapan Tuhan. Ingatlah, apa yang nantinya telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak akan pudar dan hilang dengan mudahnya.

Cheers,
Your partner in crime,
Brain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar