To:
My beloved
partner in crime,
Heart.
Dear, Heart
Apa kabar kamu?
Kamu tampak lesu, seolah sedih tak menentu. Seringnya kulihat akhir-akhir ini kamu
bermuram durja. Melamun gundah gulana, bahkan tanpa kenal kala. Pagi, siang,
sore, pun ketika malam telah tiba, tiada jua kamu tertawa. Ada apakah gerangan?
Apa kerana lelaki itu? Apa kerana dia kamu merasakan luka?
Sekian lama
aku berujar dan tanpa lelah aku mengingatkan, bahkan sejak awal pertemuan
kalian, bahwa kamu harus awas. Jangan mudah menyerahkan diri. Namun, apa pula
yang terjadi? Kamu malah seenaknya berlari pergi ke pelukan si lelaki. Bukankah
sudah ribuan kali aku tuturkan, kamu jangan mudah termakan omongan orang
apalagi yang (mungkin) hidung belang. Tapi apa? Pernah kamu mendengar? Tidak!
Sekali pun tidak kamu indahkan semua ucapku. Tidak pula pernah, barang sekejap
saja, kamu pusingkan semua ujarku. Seolah kata tak mampu lagi menyampaikan
berita. Seperti itulah kamu membuatku menderita melihatmu yang terkadang
meronta-ronta.
Apa kamu
tahu? Aku seperti mau gila saja melihat tingkahmu yang tak dinyana-nyana. Tak
berdaya lagi aku dalam menimbang sesuatu. Tak bisa lagi aku menggunakan
logikaku. Bukankah semestinya aku dirancang untuk itu? Untuk berpikir. Namun
sekejap mata tingkah laku absurd-mu melumpuhkanku. Dan kuputuskan untuk
mengikuti inginmu.
Kini kau
rasakan bukan? Seruanku selama ini adalah benar. Kamu merasa tak karuan kerana
lelaki siluman. Ya, lelaki yang seenak hati bermain di sini. Lelaki yang seenak
udel-nya memporakporandakan semua benteng yang ada dan membangunnya lagi dengan
lebih indah. Lelaki yang bertindak sesukanya mendobrak semua yang telah tertata
rapi dan mengubahnya menjadi lebih artistik. Lelaki yang aku tahu begitu kamu
cintai. Lelaki yang aku tahu begitu menjagamu dengan pantas. Lelaki yang aku
tahu mengingatmu dalam setiap malamnya. Lelaki yang aku tahu saat ini sedang
menyiapkan diri menjadi pendamping hidupmu.
Aku sadar
kamu sedang gelisah. Gelisah kerana masa yang belum tiba. Ya, tampaknya kamu amat
berusaha mencari rasa dalam kata ‘kelak’. Bagaimana
kelak, semasa kalian telah bersama. Tenanglah. Masa depan belumlah datang,
biarlah nanti aku bantu memikirkan. Yang terpenting kini apa yang telah
terbentang di hadapan. Bahwa kalian telah perlahan merajut sebuah ikatan.
Ikatan yang nantinya akan dipersatukan di hadapan Tuhan. Ingatlah, apa yang
nantinya telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak akan pudar dan hilang dengan
mudahnya.
Cheers,
Your partner
in crime,
Brain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar