Sibuk sibuk sibuk..
udah tiga bulanan ini sibuk mulu tiap hari. semua ini gara2 PPL (program perploncoan di lapangan). banyak banget tugas yang harus digarap dan laporan-laporan yang kudu dikumpulin di akhir kegiatan. daaaannnnnnnnnnn...
seperti biasa, procrastinating. pada akhirnya selalu ribet di akhir gara2 gak nyicil semua tugas itu mulai awal kegiatan. dafuq..
capek tiap hari. tidur gak teratur, makan juga. begadang hampir tiap hari tapi tugas masih aja numpuk. belum lagi menjamah skripsweet yang udah kudu dikelarin juga. what a life!
capek hati, capek fisik, capek pikiran. hmm lengkap banget *mulai lebay
tapi tetep aja, jangan sampe semua lelah ini terbuang percuma. jangan sampe terlalu lama terjebak stress. kudu tetep maju kan biar cepet kelar? *motivasi diri sendiri*
ayo perjuang sampai titik darah penghabisan.
P.S: pake high-heels seharian terus berdiri lama dan berjalan jauh itu sangat menyiksa....
Minggu, Oktober 21, 2012
Rabu, September 26, 2012
Sedikit Lagi Waktu
“Kenapa kamu selalu memaksakan kehendakmu? Tidak bisakah
kamu mendengar pendapatku?” teriak seorang pria kepada wanitanya.
“Ingat, selama ini aku sudah sering menurutimu dan mengalah.
Tidak ingatkah kamu ketika kamu lebih memilih menonton bola bersama teman-temanmu
dibanding menemaniku sendirian di rumah?” timpal wanita itu.
“Bukankah aku sudah menjelaskan tentang itu? Sudah pernah
kita bahas kan sebelumnya? Kenapa dibahas lagi?”
“Ah, sudahlah. Aku lelah. Terserah kamu saja,” akhirnya
wanita itu pun menyerah dan melangkah pergi dengan air mata yang sedari tadi
disembunyikannya.
-Right in the thick of
love, At times we get sick of love. It seems like we argue everyday-
***
Bukan kali ini kami bertengkar. Ini sudah kesekian
kalinya semenjak dua tahun yang lalu kami menikah. Orang bilang adu argumen itu
hal biasa, terlebih lagi usia pernikahan kami masih seumur jagung. Kami masih
sama-sama egois, masih sama-sama ingin menang sendiri.
Aku bertemu suamiku tiga tahun yang lalu. Dan di
pertemuan pertama kami, dia sudah mampu mencuri cintaku. Kala itu, dia selalu
mampu membuat hari yang biasa menjadi luar biasa. Seolah keindahan semesta
terkalahkan oleh keindahan cinta dua orang manusia yang dimabuk asmara. Memang
ketika jatuh cinta semua menjadi indah, bahkan ada cerita tai kucing pun berasa
coklat. Semua seolah akan baik-baik saja.
Cerita tentang masa depan pun mengalir sempurna.
Bagaimana kau ingin memiliki rumah di suatu kota yang sejuk. Betapa aku ingin
menghiasinya dengan taman yang penuh bunga. Betapa kita ingin mewujudkan
kebersamaan kita. Namun, lihatlah kini, dua tahun sudah sejak ijab perjanjian
nikah yang kau ucapkan dan kita masih butuh lebih banyak belajar menerima semua
kekurangan.
--I know I misbehaved. And
you made your mistakes. And we both still got room left to grow--
Sudah dua hari berlalu sejak argumen kita yang lalu.
Dan sudah dua hari ini aku singgah di rumah orang tuaku. Begitulah aku, masih
kekanak-kanakan. Selalu mencari jalan pulang ketika kami memiliki masalah yang
belum terselesaikan. Tahukah kamu, Sayang? Di dalam sendiriku ini, aku selalu
memikirkanmu. Tak kuingkari khawatirku selalu menyerbu. Sudah makan kah kamu?
Bagaimana tidurmu semalam tadi? Tapi egoku masih tidak mau mengalah. Aku pun
terlalu malu untuk menghubungimu.
***
Fajar menyingsing. Dia muncul dari peraduannya
semalam. Sinarnya menghangatkan bumi dan seisinya. Kulihat layar handphoneku. Sebuah pesan baru
masuk di nomorku. Sebuah pesan dari nomor yang aku kenal dan selalu aku hafal sejak
tiga tahun lalu.
From: +62812***
Sayang, pulanglah. Aku merindumu. Sepi rumah kita
tanpa ada kamu di dalamnya.
Salam rindu, suamimu.
Sebuah pesan singkat yang mampu meluluh-lantakkan
semua egoku. Sebuah pesan singkat yang menghangatkan hatiku, mengalahkan
hangatnya mentari pagi ini. Dan aku pun tak sanggup lagi untuk tidak membalas
pesan itu.
To: +62812***
Jemput aku. Aku merindumu.
Salam sayang, istri yang memikirkanmu.
Tak lama setelah kukirimkan pesan singkat itu,
terdengar deru mobil di depan rumah orang tuaku. Ternyata, dia langsung
menjemputku begitu menerima pesanku. Dia, suami yang aku cintai. Aku sambut pria pujaanku itu di depan rumah. Kupasangkan
senyum terindah yang aku punya.
Tersenyum pula ia sembari memelukku hangat. Sebuah
pelukan yang biasa dia berikan ketika kami bersama dan tak terasa aku begitu
merindukan pelukan ini. “Maafkan aku, Sayang. Jangan pergi lagi, ayo kita
selesaikan semuanya dengan baik-baik,” dia berucap dan mengecup keningku
hangat.
“Iya, aku minta maaf untuk keegoisanku kemarin,
Sayang. Maaf sudah terlalu keras kepala.”
“Pun aku begitu. Kita benahi semuanya perlahan-lahan.
Memang mungkin kita membutuhkan sedikit lagi waktu. Aku yakin kita bisa
melaluinya bersama. Aku yakin.”
--And though love
sometimes hurts..I still put you first..And we'll make this thing work..But I
think we should take it slow--
Ya, mungkin kami memang masih butuh sedikit waktu.
Sedikit lagi waktu untuk belajar saling memahami, belajar mengalah dan
mengerti. Sedikit lagi waktu untuk tumbuh. Mungkin akan ada lagi adu argumen
yang berikutnya, namun di situlah kami belajar berkembang. Mungkin akan ada
lagi saat-saat aku melangkah keluar dari pintu rumah itu, namun bukan berarti
aku menyerah dan meninggalkan pergi. Mungkin akan ada lagi saat-saat di mana
dia harus menjemputku pulang, dan di sinilah kami akan berjuang. Ya, sedikit
lagi waktu, tidak perlu terburu-buru.
Take it slow
Maybe we'll live and learn
Maybe we'll crash and burn
Maybe you'll stay, maybe you'll leave,
maybe you'll return
Maybe another fight
Maybe we won't survive
But maybe we'll grow
We never know baby youuuu and I
Sabtu, September 22, 2012
Ketika Harapan Hanya Semu
“Vodka, please,” pintaku pada seorang bartender. Dia
mengangguk sejenak dan segera menuangkan vodka yang aku pinta. Disodorkannya
satu shot vodka itu. Ya, di sinilah aku sekarang, terdampar di sebuah bar yang
sudah cukup lama aku lupakan. Duduk dengan one shot of vodka di hadapanku.
Mungkin kau terheran-heran, mengapa aku bisa kembali terdampar di sini. Namun,
sebenarnya wajar saja kan jika aku ingin merasakan hangatnya alcohol di dalam
kerongkonganku yang kering karena ada masalah yang menghampiriku.
Sebenarnya aku malu pada diriku sendiri, orang yang dulunya
tegar dan angkuh sepertiku bisa merasakan sakit hati yang amat sangat hanya
karena seorang wanita. Haha, baru kali ini aku tidak bisa mendapatkan apa yang
aku inginkan. Lizzie, nama wanita itu. Seorang wanita yang entah datang dari
mana dan entah bagaiman mampu mengubah hidupku.
---
“Permisi, bisa saya bertemu dengan bapak Reza?” tanya
seorang perempuan kepada seorang sekretaris di depan sebuah ruangan kantor.
“Sudah ada janji sebelumnya?”
“Sudah.”
“Dengan ibu siapa ini? Biar saya sampaikan kepada pak Reza.”
“Lizzie, dari pihak advertising yang akan membicarakan
proyek real estate,” ucap wanita itu kalem.
“Baik, tunggu sebentar ya Bu.”
---
Terdengar ketukan di pintu kantorku, dan di sinilah pertemuanku
dengannya terjadi pertama kali. Seorang wanita yang anggun dan jelita.
Penampilannya tidak begitu ‘wah’, tapi tetap enak dipandang mata. Kulitnya
putih, dan terlihat sehalus sutera. Mungkin begitu rasanya jika aku
menyentuhnya. Ah, jadi ingin menyentuh tangannya. Pipinya berseri dan bibirnya
merah merekah. Bak seorang bidadari yang turun dari peraduannya.
“Selamat pagi, pak. Saya Lizzie dari pihak advertising yang
akan menangani proyek real estate Anda.”
Suaranya mengalun begitu lembut, bagaikan nyanyian surgawi.
Aku begitu terpesona padanya. Kulihat matanya yang bening menatapku, perlahan
mengernyitkan keningnya. Ah, ya, aku lupa menimpali kata-katanya.
“Ehem, iya. Bagaimana dari pihak Anda? Apa sudah ada konsep
tentang advertising yang bisa saya lihat?” aku berusaha seprofesional mungkin
menutupi rasa gugup ku. Entahlah, baru kali ini aku merasa gugup di depan
seorang wanita.
Dia mulai menjelaskan konsep yang telah dia buat dan dia
semakin membuatku terpesona. Kata orang, wajah berbanding terbalik dengan
kepandaian seseorang. Namun, tidak pada wanita di depanku ini. Dia begitu
sempurna.
“Bagus. Saya menyukai konsep yang telah Anda buat. Mungkin,
bisa Anda kembangkan dan kita lihat perkembangannya.”
“Baik, pak.”
---
“Maaf, pak saya sedikit terlambat sehingga membuat bapak
menunggu. Tadi jalanan macet tidak karuan,” Lizzie meminta maaf dengan wajahnya
yang terlihat begitu menyesal.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi, tidak susah kan menemukan rumah
makan ini? Oh iya, sekali lagi, sudah aku bilang berkali-kali jangan
memanggilku ‘pak’, panggil saja Reza dan jangan terlalu formal dengan
menggunakan kata saya,” kataku panjang lebar.
“Ehm, harus mana dulu yang aku timpali?” Dia diam sejenak
dan kemudian melanjutkan, “tidak sulit menemukan rumah makan ini. Dan baik, aku
tidak akan terlalu formal, Reza.” Senyumnya mengembang. Senyum yang paling aku
sukai.
Ini pertemuan kami yang kesekian kali dan sudah beberapa
kali ini bertemu di luar kantor. Dia wanita yang menyenangkan dan berwawasan
luas. Tak kurang, dia juga begitu baik kepada semua orang. Dia selalu bisa
membuatku terperangah kagum.
Bukan sekali ini aku berusaha mengajaknya makam siang
ataupun malam dengan dalih pekerjaan. Nampaknya, dia sudah tahu intensiku, tapi
dia diam saja dan menikmati semuanya. Ini yang membuatku semakin jatuh
terhadapnya. Mungkin memang aku memiliki harapan. Aku menginginkannya, dan aku
akan mendapatkannya. Aku merasa penuh dengan harapan. Dan semuanya, ia yang
berikan.
---
Semuanya berjalan dengan lancar, dan aku pun semakin dekat
dengan Lizzie. Sudah banyak hal yang aku bagi dengannya, termasuk kisah
kehidupan pribadiku. Tapi tak lama lagi kerja sama kami akan segera usai. Hal
ini membuatku tak nyaman. Entah ada dorongan dari mana, aku memutuskan untuk
mengungkapkan apa yang aku rasakan pada Lizzie, wanita yang membuatku gila
setengah mati.
“Hai Reza. Sudah lama menunggu?” tanya Lizzie padaku.
“Aku baru tiba lima menit yang lalu,” ujarku sedikit
berbohong. Sebenarnya aku sudah tiba hampir setengah jam lalu. Apa yang
mendorongku untuk datang seawal itu juga aku tidak tahu. Konyol.
Musik mengalun merdu melatar-belakangi malam di restoran
Jepang ini. Sebuah lagu yang terdengar sendu mengalir lembut menemani
kebersamaan kami.
“Liz, boleh aku mengatakan sesuatu? Sudah lama aku ingin
mengatakan ini padamu,” aku sedikit gugup ketika mengatakan ini.
“Silahkan saja.” “Kau tahu, aku belum pernah merasa seperti
ini. Tapi semenjak kau hadir dan menemani hariku aku merasa ada yang berubah.
Aku seolah gila dan tak sanggup menjalani hari tanpa kehadiranmu. Dan mulai
esok perjanjian bisnis kita telah usai. Jika mungkin, aku masih ingin bersama
denganmu. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Dia terperangah, antara takjub dan terkejut. Dipalingkan
wajahnya sejenak, seolah berusaha menyembunyikan keterkejutan yang mampir di
parasnya yang rupawan. Sedetik kemudian, dia menatapku dalam. Terlihat olehku
segurat kecewa, pun kesedihan. Apa, ini? Bukankah selama ini dia terlihat
nyaman denganku? Mengapa dia menampakkan ekspresi seperti itu?
“Reza, terima kasih atas rasa yang kau berikan kepadaku.
Namun maaf, sungguh minta maaf aku tidak bisa memenuhi permintaanmu,” ucapnya
sedikit ragu.
“Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Bukankah selama ini
kita baik-baik saja? Lalu, apa arti kebersamaan kita selama ini? Apa kamu sudah
menyukai pria lain? Tambatan hati, iya?”
“No, no. There is nothing wrong with you. And I did enjoy my
time with you. Dengarkan dulu, aku tidak bisa menerimamu bukan karena aku
menyukai pria lain. Terlebih lagi, it is because I cannot love another guy.”
“Apa maksudmu?”
“Aku lesbi,” dia menghela napas panjang sebelum akhirnya
menundukkan kepalanya. “Maaf.”
Perlahan, dia beranjak dari kursinya dan melangkah pergi.
Doushite kimi wo suki ni natte shimattan
darou?
Donna ni toki ga nagaretemo kimi wa zutto
Koko ni iru to, omotteta no ni
Demo kimi ga eranda no wa chigau michi
Why
did I end up falling for you?
No
matter how much time has passed,
I
thought that you would always be here
But
you have chosen a different road
---
Di sinilah aku sekarang. Menatap vodka yang disuguhkan
kesekian kalinya. Ya, aku telah jatuh hati pada wanita yang bahkan tidak bisa
mencintaiku. Semua harapan yang sempat ia berikan padaku dulu, sekarang telah
mati.
-DBSK- Doushite Kimi wo
Suki Ni Natte Shimattan darou?-
Kecupan Rasa Espresso
Secercah sinar keemasan masuk entah darimana, menyinari Mata
yang masih terpejam.
“Selamat pagi.” Telinga mendengar sebuah suara dari
kejauhan. Suara yang aku kenal dan selalu aku rindukan. Mata membuka kelopaknya
perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan terang di dalam ruangan.
“Selamat pagi, Sayang.” Bibir berucap membalas salam hangat
dari yang aku rindukan. Sebuah kecupan ringan mendarat di Dahi pemilikku.
Sebuah kecupan dari orang yang aku rindukan, kekasih pemilikku. Ya, aku adalah
Hati, yang dimiliki seorang wanita bernama Freya. Perjalananku cukup panjang
sampai akhirnya menemukan sebuah tambatan. Asal kau tahu saja, pemilikku adalah
seorang wanita yang keras hati. Terlalu kuat dia melindungiku untuk tidak
terluka karena pernah dia rasakan sakit yang begitu dalam karena luka yang ada
padaku.
---
Can
anybody hear me?
Am I
talking to myself?
My
mind is running empty
In
the search for someone else
Who
doesn’t look right through me.
It’s
all just static in my head
Can
anybody tell me why I’m lonely like a satellite?
“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Seorang pria datang menghampiri
Freya yang sedang asik melahap buku favoritnya di sebuah kafe kesukaannya.
Mengernyitlah dahinya, merasa terganggu dengan kehadiran pria itu. Aku tahu dia
tidak akan menyukai ini karena dia bukan tipe orang yang mudah bergaul. Dia
suka menyendiri dan lebih memilih bersembunyi di balik buku daripada
berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi seorang pria asing. “Bolehkah
saya duduk di sini? Maaf jika menganggu, tapi tempat duduk yang lain sudah
penuh, dan saya lihat bangku ini kosong. Jadi, bisakah saya bergabung?”
Freya memandang sekeliling dan melihat bahwa semua bangku yang kosong
itu sudah terisi. Tidak lagi dia punyai sejuta alas an untuk menolak pria itu.
Memang, di waktu-waktu makan siang, kafe ini selalu penuh. Tapi biasanya tidak
pernah sepenuh ini. Padahal pemilikku hanya ingin menikmati hari ini,
sendirian. Entah bagaimana dia terbiasa dengan kesendirian, sebenarnya aku
merasa cukup kesepian.
Akhirnya, Kepala mengangguk
dengan tidak ikhlas, isyarat memperbolehkan pria itu bergabung dengan Freya.
“Terima kasih,” ucap pria itu.
Hening. Beginilah Freya ketika bersama dengan orang yang tidak dia
kenal. Lebih banyak diam dengan pikirannya. Benar-benar antisosial.
“Buku itu cukup menarik.”
Hmm, gigih juga pria ini untuk
membuat pemilikku membuka sedikit pertahanannya. Sudahlah, menyerah saja.
”Maaf?” hanya satu kata yang terucap dari bibir pemilikku. Entah memang
dia tidak mendengar atau hanya ingin memberikan isyarat ‘jangan ganggu aku’.
“Buku itu,” ucap pria itu sambil menunjuk buku yang Freya bawa.
“Ceritanya menarik. Aku sudah membacanya bahkan berkali-kali.”
“Kau yakin sudah pernah membaca buku ini?”
“Tentu saja. Itu tentang perjalanan seseorang di surga kan? Five People Meet in Heaven karangan
Mitch Albom kan? Apa kau meragukan aku”
“Ya, kau benar. Aku menyukai buku ini dan aku heran ada seorang pria
yang menyukai buku ini juga. Karena itu, aku sedikit terkejut mendengar
pernyataanmu tadi.”
Dan aku juga terkejut mengetahui pemilikku mau membuka sedikit
pertahanannya pada pria ini. Tampaknya, ini akan berlanjut lagi.
--
Benar saja, kedekatan pemilikku dengan pria (yang dulunya asing) yang
ternyata bernama Eros memiliki keterlanjutan. Nama yang unik, kuakui, untuk
seorang yang juga unik dan penuh cinta. Tak kusangka pertahanan yang dipasang oleh pemilikku
perlahan-lahan luruh dan kini, aku hampir tidak memiliki sebuah tembok pun
mengelilingi keberadaanku. Aku, Hati yang selama ini terlindungi, telah dibuka
kembali.
“Espresso, satu,” kudengar pria itu memesan minuman seperti biasanya.
“Vanila latte, satu.”
“Kau begitu menyukai espresso ya? Setiap datang kemari kulihat kau
memesan minuman yang sama.”
“Sama seperti kau yang selalu memesan vanilla latte kesukaanmu.”
Ya, aku tahu jawabnya. Karena
wanita ini, pemilikku, tidak terlalu menyukai perubahan. Dan karena itulah aku
heran, bagaimana dia bisa menerima bergitu banyak perubahan setelah mengenalmu,
tuan.
“Itu karena aku suka sesuatu yang berbau vanilla, dan aku cukup
menyukai kopi. Jadi, aku berusaha mencari gabungan keduanya,” timpal Freya.
Hari ini, seperti biasanya selama sekian minggu, mereka menikmati siang
bersama. Memesan kopi kesukaan mereka dan berbagi banyak cerita. Sepertinya
bahkan pemilikku sudah berbagi hati dengan pria itu karena aku merasakan
kehangatan yang merasuk setiap mereka bersama.
Bibir kini mampu tertawa lepas setiap candaan yang diberikan Eros menggelitikku. Bahkan Mata sampai menitikkan air karena tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba keheningan menyeruak. Tangan merasakan sebuah sentuhan lembut dari
tangan milik pria itu. Dan kehangatan lagi-lagi menyelubungiku.
“Aku merasa senang menghabiskan waktu bersamamu. Kau tahu, sejak hari
pertama kita bertemu, aku merasakan kenayamanan yang luar biasa. Entah
bagaimana, seolah aku sudah mengenalmu sekian lama. Sejak itu, setiap detik
bergulir, pikiranku melayang melambung memikirkanmu. Wajahmu dan semua
tentangmu tak bisa aku enyahkan sedetik pun.”
Dia berhenti sejenak, dan aku seolah berhenti berdetak. Paru-paru
sedikit sesak karena kata-kata indah yang pria itu sampaikan.
“Sejak itu, aku ingin menghabiskan semua hariku bersamamu. Maukah kau
menjadi kekasihku?” pinta pria itu pada pemilikku.
Bibir hanya diam. Pemilikku ragu, mungkin akulah yang ragu. Aku masih
takut merasakan sakit lagi. Tapi aku juga tak ingin kehilangan kehangatan ini.
Berperanglah aku dengan Otak. Dan akhirnya, aku telah memutuskan.
Can
I please come down?
‘Cause
I’m tired of drifting round and round.
Can
I please come down?
“Iya,” ucap Bibir, diikuti dengan anggukan Kepala.
Sebuah kecupan mendarat di Bibir dan lagi, kehangatan yang tak
terlukiskan menyelimuti aku lagi. Inilah yang selama ini aku cari di dalam
kesendirian. Sebuah kehangatan yang mengusir sepi dan mampu meruntuhkan pertahanan aku, sebuah Hati milik Freya.
Sebuah kecupan rasa espresso telah menghapuskan semua rasa
sakit yang pernah ada. Kecupan rasa espresso itu masih membekas lama. Pahit pun
manis terasa bersamaan. Mungkin, inilah cinta. Seorang lelaki (yang dulunya
asing) telah mampu memenuhi semua ruang yang aku punya.
---
"Ini, vanilla latte kesukaanmu, Sayang," pria itu menyodorkan sebuah cangkir kepada Freya dan kemudia dia menyesap espresso kesukaannya. Freya pun menyesap kopinya dan menikmati kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
Sebuah kecupan mendarat lembut di Bibir. Sebuah kecupan rasa espresso yang selalu aku sukai, pun dirindukan pemilikku.
Senin, September 17, 2012
Sang Perempuan dan Dia
Hai, apa kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja hari ini dan
semoga kamu sedang dalam mood yang menyenangkan karena aku akan menceritakan
sebuah kisah sederhana seorang perempuan dan yang mencintainya. Jadi,
santailah, bawa camilan dan segelas kopi untuk menemanimu. Sudah siap
mendengarkan ceritaku? Siap kan hati dan pikiranmu untuk menikmati kisah ini.
Kala itu, musim panas di tahun 2009. Suatu sore di bawah hangatnya sinar mentari bulan Juni, seorang perempuan berjalan masuk ke dalam sebuah toko buku tua. Wajahnya berseri dan terlihat begitu ceria. Seolah semua keceriaan sore itu telah diserapnya. Berkelilinglah ia menyusuri lorong-lorong yang diciptakan oleh rak-rak buku. Dan di sanalah, di salah satu baris rak buku tua, pertemuan pertama mereka terjadi, bersuanya seorang perempuan dan Dia pertama kali.
Jika kamu ada di antara mereka, mungkin kamu akan mengerti bagaimana rasanya takdir mempertemukan mereka. Dari beberapa pasang mata yang ada, Dia memilih untuk menatap mata indah sang perempuan. Dan dari beberapa hati yang hadir, di hati sang perempuan lah hatinya Ia tambatkan. Mungkin kamu menganggapnya konyol, tapi tunggu dulu. Memang itulah yang terjadi. Mereka bersua pertama kali dan di pertemuan pertama itu pula, Dia memutuskan untuk mencintainya sepenuh hati, memberikan hatinya kepada perempuan itu. Mungkin itulah yang disebut orang dengan cinta pertama. Seolah tak ada yang bisa mengalihkan pandang Dia lagi. Dia tak bisa menjelaskan apa dan bagaimana, yang Dia tahu, Dia memutuskan untuk memilih bersama sang perempuan.
Maybe it's intuition
But some things you just don't question
Like in your eyes
I see my future in an instant
and there it goes
I think I've found my best friend
Di sinilah semuanya bermula, kisah sederhana seorang
perempuan dan Dia.
----
Juli 2009
“Ini hari pertamaku kuliah. Kuliah itu memang begitu berbeda ya dari sekolah-sekolah sebelumnya. Aku masih merasa asing hari ini. Masih banyak yang belum dan perlu aku ketahui dan pelajari lagi. Tapi, aku menikmatinya. Bertemu dengan berbagai wajah baru. Aku senang.” Cerita si perempuan panjang lebar. Senyumnya mengembang dan bertengger lama di paras indahnya. Senyumnya hangat, mengalahkan hangatnya sinar mentari musim panas. Mendengar celotehan sang putri pujaannya, Dia tersenyum. Dia menyuguhkan senyum yang tulus dari dalam hatinya.
“Aku senang kalau kamu juga senang. Dan kulihat kau begitu menikmati harimu. Dengan begini, aku tidak perlu khawatir kan?”
Sang perempuan masih terus menyunggingkan senyum cantiknya.
----
Januari 2010
“Selamat Tahun Baru,” ucap perempuang dengan riangnya. “Semoga di tahun ini semua kebaikan datang pada kita ya. Aku berharap semuanya menjadi lebih indah dan lebih baik lagi. Aku ingin tetap dan lebih bahagia dari tahun sebelumnya.”
“Iya. Semoga kau tetap berbahagia. Karena aku menyukai senyum kebahagiaanmu daripada isak tangismu.” Balasku.
---
Maret 2010
“Aku senang sekali hari ini,” perempuan memulai ceritanya seperti biasa.
“Benarkah? Aku senang kalau kau bahagia.” Dia selalu menanggapi dengan tenang. Mungkin bagi beberapa orang Dia terkesan dingin, namun sebenarnya dia begitu menyanyangi perempuannya. Dia begitu memperhatikannya. Dan Dia menikmati setiap detik kebersamaan mereka, mendengar cerita perempuannya begitu menyenangkan.
Sejenak mereka terdiam. Tapi Dia tahu bahwa perempuannya akan mulai bercerita panjang lebar menjelaskan setiap detik kejadian yang dialaminya pada hari itu. Yang Dia butuhkan hanyalah menunggu dengan sabar.
“Kau pasti tidak percaya. Ternyata di dunia ini memang ada seorang pangeran. Tadi aku bertemu dengannya. Dia ganteng sekali, pintar dan sangat baik. Tapi kebaikannya ia tujukan pada banyak orang, bukan aku saja. Entah mengapa aku kurang menyukai itu. Mungkin aku jatuh hati padanya, tapi aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Ah, sudahlah”
Hening. Dia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata, “Jangan tidak mempercayai cinta pada pandangan pertama, cinta bukan sesuatu yang pasti dan bisa dilogika. Terkadang, kita cukup mempercayainya. Cukup percaya untuk memberikan hati pada seseorang meski masih pertama kali bertemu,” karena itulah yang aku rasakan padamu¸batinnya.
---
Mei 2011
“Wah, waktu begitu cepat berlalu ya. Aku senang bisa semakin dekat dengan pangeran itu. Hehehe,” seringai sang perempuan
“Iya, semoga kau baik-baik saja, ya,”
---
Agustus 2011
“Semakin kau dekat dengan pangeran itu, semakin sedikit waktu yang bisa kau berikan kepadaku ya. Mungkin memang aku yang jatuh cinta padamu sejak pertemuan pertama kita. Mungkin aku yang terlalu berharap agar kau mencintaiku pula.” Dia berkata dengan lirih
---
Oktober 2011
“Aku sakit hati. Dia berbohong padaku. Aku kecewa padanya. Aku sudah mempercayainya sedemikian rupa, namun dia tega membohongiku. Tidak ada bedanya dia dengan orang lain.” Ceritamu di tengah isakan tangis dan cucuran air mata.
“Sudah, jangan menangis lagi. Jika kau memutuskan untuk mencintai kau juga harus siap untuk tersakiti. Aku akan menemanimu sampai kau tertidur, tenanglah,” hibur Dia pada perempuannya. Itulah yang biasa Dia lakukan ketika perempuannya bersedih. Dia merasa terluka melihat perempuannya berlinangan air mata. Jika Dia bisa, mungkin Dia akan menghajar siapapun yang melukai hati lembut perempuannya.
---
Waktu telah bergulir, tidak terasa sudah lebih dari empat tahun Dia tetap setia menemani perempuannya. Bukan pertama kalinya Dia melihat perempuannya dengan orang lain, orang yang dianggap sebagai pangerannya. Bukan sekali ini Dia merasakan kehilangan, namun di samping itu Dia tetap saja setia, karena baginya cinta pada pandangan pertama tidak bisa dihapus semudah itu. Dan kini nampaknya Dia akan kehilangan perempuannya lagi dan untuk waktu yang lama, bahkan mungkin selamanya.
“Esok aku akan melepas masa lajangku. Tidak terasa kau sudah menemaniku selama ini, mendengarkan semua cerita ku, isak tangisku, menemani hari-hariku. Terima kasih. Tapi mungkin, waktu kita akan segera berakhir, setelah ini mungkin aku sudah sangat jarang sekali berbagi cerita denganmu. Maaf, aku tidak bisa bersama denganmu.” Tulismu di halaman terakhir
“Aku turut bahagia untukmu, cinta pertamaku. Semoga kau bahagia dengan cinta pertama mu.”
Ternyata pertemuan
pertama perempuan dengan pangeran pun tidak bisa dihapuskan dengan mudah. Dan mereka
memutuskan untuk bersama, selamanya.
Begitulah cerita sang perempuan dengan
yang mencintainya, AKU, sebuah buku harian tua yang telah lama menantikan
kehadiran perempuannya. Kau lihat, cinta pertama tak akan terhapus dengan mudah
meski mungkin kau telah menemukan penggantinya.
I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
-I Knew I Loved You by Savage Garden-
Rabu, September 12, 2012
Parting
Well I wonder could it
be
When I was dreaming ‘bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy, call me blind
to still be suffering is stupid after all of this time
When I was dreaming ‘bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy, call me blind
to still be suffering is stupid after all of this time
Sebuah lagu terdengar dari kejauhan memecah keheningan di
antara kita. Kita yang tidak tahu harus berkata apa. Kita yang mungkin mulai
hari esok hanya akan terdiri dari hanya aku atau hanya kamu, bukan lagi ada aku
dan ada kamu. Kita yang mungkin tidak akan bisa bersama lagi tepat sehari
setelah hari ulang tahunku.
“Haha, pas banget ya lagunya. Seolah semua orang tahu
tentang kisah kita saat ini,” kataku sambil tertawa. Tawaku garing dan tidak
bernyawa.
“Nggak bisa ya, yang diputer itu lagu lain, bukan yang ini?
Bikin suasana tambah suram aja,” ungkapmu sedikit sebal dan mungkin merasa
bersalah.
“Did I lose my love to someone better? And does she love you
like I do. I do, you know I really really do,” gumamku menirukan lantunan lagu
itu.
Kamu hanya diam tanpa kata melihat tingkahku yang seperti
itu. Mungkin kamu berpikir aku masih sangat kekanak-kanakan. Tapi, bisa saja
kamu membiarkanku seperti itu untuk sedikit menghilangkan rasa bersalahmu. Atau
mungkin kamu membiarkanku karena kamu tahu, dengan cara itulah aku bisa mengurangi
rasa sakit hatiku. Mungkin lebih tepatnya rasa kecewa yang mendalam. Tak
sengaja ekor mataku menangkap pandanganmu padaku. Entah apa arti dari
pandanganmu itu, tapi aku merasakan segurat kesedihan dan kekecewaan. Mungkin
kamu juga terluka. Harusnya kamu terluka karena jika tidak, jika hanya aku yang
merasakan luka ini, betapa menyedihkannya aku.
“Jadi, ini terakhir kalinya kita makan bersama?” tanyaku
padamu.
“Sepertinya begitu. Ini kencan kita yang terakhir,” jawabmu
lemah. Tiba-tiba kamu menghembuskan napas cukup keras. Entah, itu artinya apa.
“Jangan mengatakan kencan yang terakhir. Sangat menyakitkan
mendengarkannya karena berakhir dengan sebuah ironi.” Aku berusaha sekuat
tenagaku untuk menahan air mata yang mendesak keluar. Aku tidak ingin menangis,
setidaknya tidak di hadapanmu. Aku tidak ingin terlihat lemah sehingga
membuatmu mengasihaniku.
“Maaf,” hanya sebuah kata itu yang meluncur dari bibirmu.
“Sudah, kamu nggak perlu minta maaf lagi. Kita kan sudah
janji untuk bisa menerima apapun keputusan hari ini. Selain itu, kamu sudah ada
dia yang menunggumu. Dia lebih membutuhkannya daripada aku. Aku masih sanggup
menjalani hidupku sendiri, sambil menunggu orang yang mau menerimaku lagi,” aku
tersenyum, tapi sangat terpaksa. Sekali lagi, kamu hanya diam. Aku yakin bahwa
kamu tahu seberapa terlukanya aku. Aku yakin bahwa kamu sangat mengerti sebuah
kata maaf saja tidak akan bisa mengubah sebuah perpisahan.
“Ya, aku sudah memilikinya,” katamu lebih untuk meyakinkan
dirimu sendiri. “Terima kasih atas kehadiranmu selama ini. Nggak ada yang bisa
menggantikan posisimu di dalam sini,” kau menunjuk dada sebelah kiri, tempat
sebuah hati yang pernah aku miliki. “Sebenarnya sangat sulit melepaskanmu
karena selama ini, secara tidak sadar kamu telah menjadi standar di dalam
hidupku. Kamu telah mengisinya dengan perasaanmu. Tapi, entah mengapa seolah
semesta terlalu cemburu jika aku memilikimu seutuhnya. Karena itulah, mereka
bersekongkol memisahkan kita. Aku sayang kamu. Tapi kita sama-sama tahu bahwa
ini tidak mungkin berlanjut”
Aku setuju dengan
kalimat terakhirmu. Kita masih saling menyayangi tapi kita juga sama-sama tahu
bahwa kita memiliki orang yang sudah menunggu kita dengan harapan-harapannya.
“ Iya. Aku permisi sebentar. Urusan wanita,” candaku sambil
memberikan cengiran khas ku. Kamu hanya tersenyum menanggapinya dan kemudian
mengangguk.
Tak lama aku kembali ke dekatmu. “Ayo,” ajakku.
Aku tak ingin terlihat menyedihkan di hadapanmu, tapi aku
tahu kalau aku tidak bisa menipumu. Kamu selalu tahu bagaimana keadaanku.
Perlahan tapi pasti kamu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Kau
menarikku mendekat dan merangkulku, melakukan kebiasaanmu selama ini. Lucu,
kita tahu kita harus berpisah, tapi tangan kita masih akan saling terpaut
seperti ini. Entah sampai berapa lama, mungkin ini yang terakhir kalinya setelah aku tahu kau dijodohkan dengan dia.
And we were letting go of something special
Something we’ll never have again
I know, I guess I really really know
The day you went
away-M2M
Jumat, September 07, 2012
Warna di tengah Kelabu
Masih teringat jelas dalam ingatanku tentang hari itu. Suatu
senja bulan Oktober tahun 2010. Pertemuan itu bukan tak disengaja. Aku yang
sudah merencanakannya. Aku tahu kau, namun mungkin kau belum mengetahuiku.
Bahkan sangatlah mungkin jika kau belum merasakan keberadaanku. Mungkin kau
masih belum tahu jika aku ada.
Awalnya, aku ragu untuk menyapa. Aku takut dikira sok kenal.
Terlebih lagi, aku malu. Ya, aku malu jika ternyata akhirnya kau menganggapku
sebagai seorang yang mengganggu. Tapi hatiku berkata lain, entah dari mana
sebuah keyakinanakan terjadinya cerita yang menarik tiba-tiba menyeruak keluar.
Mengisi seluruh ruang hati dan menghapuskan segala ragu yang sempat singgah
tadi. Akhirnya, kuputuskan untuk menyapamu, berharap kau akan sedikit
mengenaliku meski sebenarnya aku tahu bahwa harapan ini hanya semu.
Dan ternyata benar, kau bahkan menganggapku sebagai orang
lain—orang yang kau kenal. Sebenarnya, aku kecewa kala itu, namun candaanmu
segera menggantikannya secepat angin berlalu. Aneh, meski kita belum saling
mengenal. Meski ini adalah pembicaraan pertama kita, aku merasa telah
mengenalmu sekian lama. Aku merasa begitu akrab. Bersamamu terasa hangat,
bersamamu seolah waktu berhenti melaju.
Kita sama-sama tahu bahwa aku sudah ada kekasih kala itu
dank au pun sedang menyukai seseorang. Kita sama-sama tahu bahwa mungkin
kedekatan kita tidak seharusnya seperti ini. Bahwa mungkin kebersamaan kita
adalah salah. Namun, tak bisa kupungkiri sedikit pun, aku menikmati saat-saat
bersamamu. Dan buruknya, aku mencandu. Asal kau tahu, sejak itu aku selalu
menantikan kehadiranmu dalam hariku yang kelabu.
Hari berganti minggu, minggu tergeserkan oleh bulan, dan aku
akhirnya berpisah dengan kekasihku. Kecewa, iya. Tapi, tak ada air mata yang
hinggap di pelupuk mataku. Entah, aku tidak merasakan sakit meski telah
dikhianati olehnya. Hanya sedikit rasa kecewa dari egoku yang tinggi, “mengapa
dia berani menduakan aku?” Ya, saat itu aku merasa kalah. Herannya, hanya
dengan sebuah telepon darimu yang menanyakan kabarku, semua rasa kekalahanku
terhapuskan oleh suaramu yang terdengar merdu di telingaku. Saat itu, aku tahu,
aku sebenarnya telah jatuh kepadamu. Aku tahu mengapa tak kurasakan sakit di
hatiku, karena sejak hari itu, sebuah senja di bulan Oktober 2010, aku telah
menyerahkan hatiku kepadamu. Mungkin orang menganggapku aneh karena tak
mencintai kekasihku, namun lihatlah, justru aku bersyukur tak mencintainya
karena pada akhirnya dia mengkhianatiku.
Perlahan pun pasti, kita semakin saling mengisi. Kau tahu,
seperti biasa aku selalu menantikan hadirmu dalam hariku. Tak kuasa aku
menjalani hari tanpa tahu kabarmu, tanpa mendengar suaramu, tanpa melihat binar
matamu. Dalam saat apapun, kau berhasil menenangkan gelisahku. Aku selalu rindu
akan senandungmu, meski terkadang sebenarnya sumbang, tapi bagiku itu senandung
terindah yang kau lantunkan. Sebagaimana kau menjadi anugerah terindah dalam
hidupku.
***
Agustus 2012,
Terdengar suara Duta, sang vokalis menemani soreku kini. Sambil
membayangkan dirimu menatap langit senja yang sama di jarak yang berbeda.
Kunikmati lantunan lagu yang sederhana, namun penuh dengan makna, yang
menggambarkan tentang dirimu. Kunikmati rinduku padamu, berharap lantunan lagu
ini juga terdengar samapi di tempatmu.
Sifatmu nan s'lalu
Redahkan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu
Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki
“Untuk dirimu yang sekarang berada di tempat yang cukup
jauh, terima kasih telah datang dan mengisi hidupku, Sayang. Terima kasih telah
menuliskan kisah yang indah. Terima kasih telah menjadi anugerah terindah
bagiku, dan akan selalu begitu. Terima rinduku, semoga bisa temani hari-harimu
di negeri seberang,” batinku.
-terinspirasi dari lagu Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki-Sheila On 7-
Kamis, Agustus 30, 2012
Silence
Matahari bertengger di ufuk barat, menyiratkan sinarnya jingganya pada semesta. Langit terlukis indah, semburat emas dan merah menghiasi permukaannya. Sebentar lagi senja dan berubah menjadi malam. Terlihat seorang gadis melihat pemandangan itu. Terasa pandanganya menatap begitu jauh. Entahlah, mungkin dia membayangkan sebuah kegelapan yang tetiba akan menyelimuti seluruh alam. Perlahan, namun pasti, sang Surya berjalan menuju peraduannya, membuat lazuardi semakin kelabu seolah bersedih ditinggalkannya.
Sang gadis masih tetap duduk terdiam di depan teras menikmati pergantian suasana itu. Begitu damai, begitu indah, pun terasa begitu mencekam baginya. Entah, mungkin hanya perasaannya saja atau hanya pikiran yang melintas sekilas. Prasangka buruk terus saja berkecamuk di dalam benaknya. Sudah banyak yang dia lakukan untuk menepis semua prasangkanya, namun semua terlihat sia-sia. Seolah pikiran negatif itu akan benar-benar terjadi. Dia tak kuasa menampiknya. Mereka menyerbunya seketika seperti kelam yang menjarah langit ketika matahari tak lagi terlihat.
Dia takut, setakut manusia pada kematian. Namun tenang saja, semua ini tidak ada hubungannya dengan mati. Dia hanya merasa takut akan kehilangan untuk kesekian kalinya. Klise memang.
Pertanyaan itu dia tujukan pada hatinya. Meski telah kehilangan orang yang pernah dekat dengannya di masa lalu, tetap saja, dia tidak pernah terbiasa dengan rasa kehilangan. Sakitnya tetap saja terasa, menusuk dalam dan menekan. Membuatnya sesak napas meski hanya mengingat saat-saat itu. Kini, dia takut rasa sakit yang sama akan menyerbu masuk ke dalam hatinya. Lagi..
Sang gadis masih tetap duduk terdiam di depan teras menikmati pergantian suasana itu. Begitu damai, begitu indah, pun terasa begitu mencekam baginya. Entah, mungkin hanya perasaannya saja atau hanya pikiran yang melintas sekilas. Prasangka buruk terus saja berkecamuk di dalam benaknya. Sudah banyak yang dia lakukan untuk menepis semua prasangkanya, namun semua terlihat sia-sia. Seolah pikiran negatif itu akan benar-benar terjadi. Dia tak kuasa menampiknya. Mereka menyerbunya seketika seperti kelam yang menjarah langit ketika matahari tak lagi terlihat.
Dia takut, setakut manusia pada kematian. Namun tenang saja, semua ini tidak ada hubungannya dengan mati. Dia hanya merasa takut akan kehilangan untuk kesekian kalinya. Klise memang.
Bukankah itu wajar? Banyak orang datang dan pergi dari kehidupanku, kan? Aku sudah sering kehilangan orang lain. Lalu untuk apa aku merasakan ketakutan ini?
Pertanyaan itu dia tujukan pada hatinya. Meski telah kehilangan orang yang pernah dekat dengannya di masa lalu, tetap saja, dia tidak pernah terbiasa dengan rasa kehilangan. Sakitnya tetap saja terasa, menusuk dalam dan menekan. Membuatnya sesak napas meski hanya mengingat saat-saat itu. Kini, dia takut rasa sakit yang sama akan menyerbu masuk ke dalam hatinya. Lagi..
"Tak adakah yang bisa meredakan ini? Aku butuh seseorang untuk membuatku tenang, setenang air yang tidak bergelombang. Aku butuh kau. Apa kau tahu itu? Aku butuh kehadiranmu. Aku diam, bukan berarti aku tidak tahu apapun. Aku diam, bukan berarti aku baik-baik saja. Di mana kamu saat ini? Aku rindu perlukmu, aku rindu belaimu. Aku rindu suaramu, lembut pun mampu debarkan jantungku. Aku rindu pandang matamu. Aku rindu kamu, Sayang. Aku diam, bukan berarti aku tak mau menghubungimu. Aku diam, menunggumu hadir dalam kesakitanku. Cepatlah datang, Sayang, atau mungkin aku akan lebih parah dari mati."Malam semakin kelam, langit tiada berbintang. Bulan pun tak menampakkan pucat sinarnya. Mendung, seolah langit ikut merasakan ketakutannya.
Sekedar Cerita
"Terkadang semua lebih terasa mudah ketika kita tidak tahu"
Mungkin beberapa dari kalian pernah merasakan hal seperti ini, merasa semuanya akan lebih baik dan lebih mudah dijalani jika kalian tidak mengetahui terlalu banyak. Memang, terkadang mengetahui sesuatu bisa terasa menyakitkan, terutama menngetahui hal yang mungkin tidak seharusnya kita ketahui. Memang terkadang ada beberapa saat di mana sebaiknya kita tak mengerti akan hal itu karena kita tidak perlu merasakan sebuah kekecewaan atau rasa sakit yang begitu dalam.
Orang bilang truth is never that simple. Mostly, truth hurts. Seringnya mengetahui sebuah kebenaran bisa membuat kita merasa kecewa atau tersakiti. Jika mungkin tidak tersaikiti, rasa takutlah yang akan menghampiri. Rasa takut akan sesuatu yang bahkan tidak jelas itu apa. Rasa takut karena memikirkan pun membayangkan hal yang masih belum tentu benar. Namun, rasa takut itu cukup untuk membuat hati merasa tidak nyaman. Rasa takut sekecil itu bahkan cukup untuk membuat pikiran menjadi keruh.
Mungkin karena inilah, banyak orang berandai "If only I didn't see that. If only I didn't know about it, maybe it will be much easier." Namun maukah kalian hidup dalam sebuah kebohongan? Bahagia, tapi bukan bahagia yang sebenarnya karena kalian menyimpan bangkai di dalam peti.
Aku menjawab tidak. Lebih baik bagiku mengetahui yang sebenarnya dan merasa kecewa dibanding hidup tenang dan bahagia di dalam kepalsuan. Karena aku tahu, bangkai yang kita simpan pasti akan terbongkar pada akhirnya. Dan ketika saat itu tiba, lihatlah, rasa sakitnya akan lebih dalam melukai kita. Pada akhirnya, tetap rasa sakit yang akan kita rasa, kan?
Hidup itu kejam memang, kebenaran itu menyakitkan. Namun kita harus mennghadapinya. Jika kita mengetahui sebuah kebenaran dan merasa sakit, bagiku itu lebih baik. Karena jika sakit, mungkin memang harus kita lepaskan. Tapi sepertinya tidak akan semudah itu jika semuanya terjadi di dalam suatu hubungan. Karena melepaskan seseorang yang kita sayangi tidak akan mudah, memutuskan sebuah hubungan sangatlah berat dan tentunya menyakitkan. Butuh waktu agar lukanya mengering dan menutup.....
Jika memang terasa menyakitkan, mungkin memang harus kau lepaskan.......
Minggu, Juni 17, 2012
Secuil Asam Manis Liburan
Libur t'lah tiba, libur t'lah tiba..
Hore, hore hore, HORE!!!
*nyanyi*
Yup, bener banget, sekarang suasana liburan sudah begitu kental terasa. Banyak anak sekolah yang udah libur, bahkan ujian tes masuk SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi Negeri udah selesai dilaksanakan. Dengan begitu, udah jelas banget kalau jalan-jalan mulai semakin ramai gara-gara banyak sekali kendaraan (terutama yang berbodi besar) berlalu lalang di jalan. Begitu pula di kota ini. Setiap hari pasti ada rombongan bus pariwisata yang melintas demi mencapai kawasan rekreasi (padahal nggak setiap hari aku keluar rumah dan melihat keadaan di jalan raya :P)
Nggak mau kalah sama anak-anak sekolah yang lain, aku dan teman-teman juga pergi liburan (meski nggak jauh-jauh juga). Kami awalnya berencana ke Bali, tapi karena nggak begitu matang rencananya dan dasarnya lagi bokek juga kalau waktu liburan, maka rencana ke Bali dibatalkan. Akhirnya, bikin rencana lain lagi, yaitu pergi ke villa. Gaya banget kan. Iya kalau ke luar kota terus kita ke villa gitu, ini mah cuma di dalam kota aja. Maklum, di sini kan banyak wahana wisata sehingga villa pun banyak dijumpai di sekitar tempat wisata. *pamer*
Udah dicanangkan kalau kami akan bermalam di villa dan (hampir) semua orang setuju. Setelahnya bilang 'iya' untuk RSVP, okelah, kami mulai menyusun rencana.
1. Rafting? Gagal karena cuma beberapa orang yang minat rafting sebelum ke villa dan kendala ada pada dana.
2. Outbond? Nope! Kendala juga di dana. Dasar kantong lagi cekak tapi tetep pengen liburan.
3. Bakar jagung. Yup, approved!
jadi udah diputusin, di sana kami bakal bakar jagung, bakar roti, atau bakar apapun yang bisa dibakar (bakar villa-nya seru kali ya) *devilish grin*
Akhirnya, H-1. Kami udah siap-siap, ternyata beberapa anak diberitakan tidak sanggup hadir pada acara esok hari. "What??" I said. "Terancam gagal lagi nih," I added.
Secara, acaran kurang sehari, but then you got a message that some of those 'yes' people could not join it. Awalnya udah berasa putus asa, tapi ternyata, bisa diatasi dengan mencari pengganti untuk tetap berangkat ke villa.
Long story short, we went to Coban Randa in the morning. Beberapa hal lucu terjadi dan itu yang bakal membuat liburan ini quite unforgettable (dikit). After that, we went to the villa. Istirahat dulu sebelum akhirnya mutusin untuk beraktivitas lagi. Villa nya enak, ada fasilitas karaoke, halaman bagus, luas dan suasana yang sepi. Nice Place :D
Ini yang rada membuat aku nggak kecewa karena yang bisa ikut liburan ternyata cuma sedikit.
Anyway, that was quite enjoyable. Kumpul sama teman-teman, meski terkadang terasa sedikit bosan juga karena aktivitas masih kurang dipikir masak-masak.
Overall, acara ini lumayan buat refreshing dari kepenatan kota.
Another side, kemarin tiba-tiba pengen makan masakan Jepang dan akhirnya aku serta beberapa orang (cuma 3 orang) pergi ke salah satu fast food Japanese Restaurant yang menjual anek sushi. Akhirnya keturutan juga buat makan Japanese culinary. Abis itu, kami hunting foto meski cuma sebentar karena keburu malam. However, that was great :D
Ini cuma beberapa (satu atau dua doank sebenernya, tp biar keliatan banyak) kegiatan yang aku lakukan di liburan kali ini sembari tetap melakukan ritual 'mentengin nilai' di akhir semester.
Enjoy your holiday, folks!
Hore, hore hore, HORE!!!
*nyanyi*
Yup, bener banget, sekarang suasana liburan sudah begitu kental terasa. Banyak anak sekolah yang udah libur, bahkan ujian tes masuk SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi Negeri udah selesai dilaksanakan. Dengan begitu, udah jelas banget kalau jalan-jalan mulai semakin ramai gara-gara banyak sekali kendaraan (terutama yang berbodi besar) berlalu lalang di jalan. Begitu pula di kota ini. Setiap hari pasti ada rombongan bus pariwisata yang melintas demi mencapai kawasan rekreasi (padahal nggak setiap hari aku keluar rumah dan melihat keadaan di jalan raya :P)
Nggak mau kalah sama anak-anak sekolah yang lain, aku dan teman-teman juga pergi liburan (meski nggak jauh-jauh juga). Kami awalnya berencana ke Bali, tapi karena nggak begitu matang rencananya dan dasarnya lagi bokek juga kalau waktu liburan, maka rencana ke Bali dibatalkan. Akhirnya, bikin rencana lain lagi, yaitu pergi ke villa. Gaya banget kan. Iya kalau ke luar kota terus kita ke villa gitu, ini mah cuma di dalam kota aja. Maklum, di sini kan banyak wahana wisata sehingga villa pun banyak dijumpai di sekitar tempat wisata. *pamer*
Udah dicanangkan kalau kami akan bermalam di villa dan (hampir) semua orang setuju. Setelahnya bilang 'iya' untuk RSVP, okelah, kami mulai menyusun rencana.
1. Rafting? Gagal karena cuma beberapa orang yang minat rafting sebelum ke villa dan kendala ada pada dana.
2. Outbond? Nope! Kendala juga di dana. Dasar kantong lagi cekak tapi tetep pengen liburan.
3. Bakar jagung. Yup, approved!
jadi udah diputusin, di sana kami bakal bakar jagung, bakar roti, atau bakar apapun yang bisa dibakar (bakar villa-nya seru kali ya) *devilish grin*
Akhirnya, H-1. Kami udah siap-siap, ternyata beberapa anak diberitakan tidak sanggup hadir pada acara esok hari. "What??" I said. "Terancam gagal lagi nih," I added.
Secara, acaran kurang sehari, but then you got a message that some of those 'yes' people could not join it. Awalnya udah berasa putus asa, tapi ternyata, bisa diatasi dengan mencari pengganti untuk tetap berangkat ke villa.
Long story short, we went to Coban Randa in the morning. Beberapa hal lucu terjadi dan itu yang bakal membuat liburan ini quite unforgettable (dikit). After that, we went to the villa. Istirahat dulu sebelum akhirnya mutusin untuk beraktivitas lagi. Villa nya enak, ada fasilitas karaoke, halaman bagus, luas dan suasana yang sepi. Nice Place :D
Ini yang rada membuat aku nggak kecewa karena yang bisa ikut liburan ternyata cuma sedikit.
Anyway, that was quite enjoyable. Kumpul sama teman-teman, meski terkadang terasa sedikit bosan juga karena aktivitas masih kurang dipikir masak-masak.
Overall, acara ini lumayan buat refreshing dari kepenatan kota.
Another side, kemarin tiba-tiba pengen makan masakan Jepang dan akhirnya aku serta beberapa orang (cuma 3 orang) pergi ke salah satu fast food Japanese Restaurant yang menjual anek sushi. Akhirnya keturutan juga buat makan Japanese culinary. Abis itu, kami hunting foto meski cuma sebentar karena keburu malam. However, that was great :D
Ini cuma beberapa (satu atau dua doank sebenernya, tp biar keliatan banyak) kegiatan yang aku lakukan di liburan kali ini sembari tetap melakukan ritual 'mentengin nilai' di akhir semester.
Enjoy your holiday, folks!
Kamis, Juni 07, 2012
Kaget dan Sepi
Hari ini, setelah berhasil aku lewati, entah kenapa terasa begitu sepi. Hmm, mulai jablay mellow lagi ini rasa-rasanya. Sebenernya sih nggak ada masalah apa-apa (atau justru karena nggak ada apa-apa itulah, jadinya terasa sepi ya?), hanya sedikit rasa kecewa yanng hinggap di tepian hati gara-gara melihat nilai semester yang cukup mengenaskan mengejutkan.
At the beginning, everything seems to be okay. Nothing is wrong until this morning when I saw that mark. Awalnya, aku sih mengira semuanya nggak bakal seburuk yang aku pikirkan. Mungkin seperti beberapa semester sebelumnya yang udah bisa aku lewati dengan tidak terlalu terluka gara-gara nilai yang tidak terjun bebas. Tapi nampaknya semester inisedikit berubah. Nilaiku akan berubah, ya, sudah bisa dipastikan.
Well, mungkin, nggak ada yang salah sama nilainya kalau memang tugas akhirku gagal aku tuntaskan dengan baik. Hanya saja, yang membuat aku cukup terkejut adalah ketika temanku (yang notabene terlihat sangat antusias dan serius di mata kuliah itu) memiliki nilai yang sama denganku. Wow, I thought. Entah mengapa, jadinya terasa sedikit aneh. Apa nilai ini benar-benar ada dasarnya? If yes, what are the bases to give such grade? Bisa dipertanggung-jawabkan kah? Ini jadi seolah memberikan impresi bahwa antusiasme dan keseriusan bukan lagi jaminan nilai bagus.
Hmm, yang awalnya kekecewaan itu nggak terlalu ada (karena awalnya ngerasa, "yaudah sih, terima aja. mungkin tugas akhirnya masih jelek.") tapi sekarang malah jadi merasacukup kecewa dengan nilai itu. Seolah, nilai itu jadi penentu atau penjelas kalau IP ku semester ini akan turun cukup drastis... :(
yah, semoga nggak buruk-buruk amat...
Another side, aku nampaknya sedikit merasa kesepian karena nggak ada yang menarik yang aku lakukan di liburan ini. Sebelumnya sih sekedar main ke tempat pacar, tapi berhubung dianya lagi sibuk skripsian dan juga kerja, yaudah deh akhirnya di rumah aja. Biar dia punya waktu buat dirinya sendiri dan buat istirahat.
Ya tadi cuma sempet merasa, "Gini ya kalau terbiasa bersama dan tiba-tiba harus mengubah jadwal. Rasanya ada yang sedikit hilang." Anyway, I'm okay now because I know that we have to make it through for him, for me, for both of us. Yeah, US :D
Jadinya, sekarang aku udah bisa menerima lah. Secara, semuanya demi masa depan yang insyaAllah akan lebih baik. Dan aku harus bisa mendukung dia, jadi kekuatannya, jadi orang yang ada dan bisa membantu di keadaan apapun. For it is the thing that I want, for us is going to live together (amen).
Aku hanya berharap dan berdoa kepada Tuhan, bahwa semua yang kami lalui ini adalah yang terbaik. Semua yang kami jalani adalah demi kebaikan kami. Semoga kami tetap diberikan kekuatan pun kesabaran untuk melaluinya dan pada akhirnya mampu mendapatkan hasil yang pantas.
Semangat meraih impian bagi kalian semua :*
At the beginning, everything seems to be okay. Nothing is wrong until this morning when I saw that mark. Awalnya, aku sih mengira semuanya nggak bakal seburuk yang aku pikirkan. Mungkin seperti beberapa semester sebelumnya yang udah bisa aku lewati dengan tidak terlalu terluka gara-gara nilai yang tidak terjun bebas. Tapi nampaknya semester ini
Well, mungkin, nggak ada yang salah sama nilainya kalau memang tugas akhirku gagal aku tuntaskan dengan baik. Hanya saja, yang membuat aku cukup terkejut adalah ketika temanku (yang notabene terlihat sangat antusias dan serius di mata kuliah itu) memiliki nilai yang sama denganku. Wow, I thought. Entah mengapa, jadinya terasa sedikit aneh. Apa nilai ini benar-benar ada dasarnya? If yes, what are the bases to give such grade? Bisa dipertanggung-jawabkan kah? Ini jadi seolah memberikan impresi bahwa antusiasme dan keseriusan bukan lagi jaminan nilai bagus.
Hmm, yang awalnya kekecewaan itu nggak terlalu ada (karena awalnya ngerasa, "yaudah sih, terima aja. mungkin tugas akhirnya masih jelek.") tapi sekarang malah jadi merasa
yah, semoga nggak buruk-buruk amat...
Another side, aku nampaknya sedikit merasa kesepian karena nggak ada yang menarik yang aku lakukan di liburan ini. Sebelumnya sih sekedar main ke tempat pacar, tapi berhubung dianya lagi sibuk skripsian dan juga kerja, yaudah deh akhirnya di rumah aja. Biar dia punya waktu buat dirinya sendiri dan buat istirahat.
Ya tadi cuma sempet merasa, "Gini ya kalau terbiasa bersama dan tiba-tiba harus mengubah jadwal. Rasanya ada yang sedikit hilang." Anyway, I'm okay now because I know that we have to make it through for him, for me, for both of us. Yeah, US :D
Jadinya, sekarang aku udah bisa menerima lah. Secara, semuanya demi masa depan yang insyaAllah akan lebih baik. Dan aku harus bisa mendukung dia, jadi kekuatannya, jadi orang yang ada dan bisa membantu di keadaan apapun. For it is the thing that I want, for us is going to live together (amen).
Aku hanya berharap dan berdoa kepada Tuhan, bahwa semua yang kami lalui ini adalah yang terbaik. Semua yang kami jalani adalah demi kebaikan kami. Semoga kami tetap diberikan kekuatan pun kesabaran untuk melaluinya dan pada akhirnya mampu mendapatkan hasil yang pantas.
Semangat meraih impian bagi kalian semua :*
Minggu, Juni 03, 2012
You Yourselves are the Biggest Enemy in Your Lives
Semalam aku menonton acara MasterChef Australia di salah satu stasiun TV swasta. Bagi yang belum tahu tentang acara ini, MasterChef adalah acara kompetisi masak untuk memperebutkan gelar MasterChef atau yang berarti gelar Koki ahli. Kalau sedang nggak ada jadwal (baca: kencan) malam Minggu atau bahkan Minggu malam, acara ini nggak akan terlewatkan. Yah, itung-itung sebagai hiburan ketika nggak ada pacar yang menemai. Jadi, buat kalian yang sekiranya jomblo atau yang baru ditolak commit to be single at the mean time, acara ini bisa jadi salah satu alternatif menghabiskan malam Minggu atau Minggu malam yang membosankan karena nggak ada pacar.
Anyhow, I will not talk much about the program or about my story when I do not have any dating schedule. What I would like to talk about is the quote that was taken by one of the judges. Mungkin banyak dari kalian yang udah pernah dengar atau membaca quote Sir Edmund Hillary, orang pertama yang sampai di puncak Mt. Everest. Quote itu berbunyi,
Bukan hanya itu, semua ketakutan, rasa ketidak-mampuan, maupun rasa malas (yang dianggap sebagai penyebab utama kegagalan) berasal dari dalam diri kita sendiri. Kitalah yang membuat ketakutan itu, kita juga yang membuat diri kita merasa tidak mampu, dan kita yang menumbuhkan rasa malas hingga akarnya menancap dalam dan akhirnya tumbuh kokoh. Semua itu berawal dari kita, bukan orang lain. Mungkin memang apa yang kita lakukan adalah hal yang teramat sulit, namun jika kita mau mencoba dan berusaha, belum tentu kita tidak bisa melakukan ataupun menyelesaikannya karena sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan, bukan?
Karena semua berawal dari kita, maka kitalah yang harus mengakhirinya. Mengakhiri rasa putus asa, mengakhiri rasa tidak mampu, tidak percaya diri, rasa takut yang berlebihan, dan semua hal negatif dalam diri kita. Dan mulailah memumupuk pikiran-pikiran positif bahwa kita bisa melalui semuanya, bahkan termasuk hal yang dianggap mustahil bagi orang lain atau yang dianggap tidak mungkin bisa kita lewati.
Ya, postingan ini sekedar mengingatkan kita semua untuk terus berjuang dan tak henti-hentinya melawan diri kita sendiri, menembus batas yang secara tidak sadar kita buat untuk diri kita, melakukan yang terbaik yang kita bisa, serta meraih hasil yang maksimal. Keep fighting and keep your chin up even after you fall deeply. :)
Anyhow, I will not talk much about the program or about my story when I do not have any dating schedule. What I would like to talk about is the quote that was taken by one of the judges. Mungkin banyak dari kalian yang udah pernah dengar atau membaca quote Sir Edmund Hillary, orang pertama yang sampai di puncak Mt. Everest. Quote itu berbunyi,
"It is not the mountain we conquer, but ourselves"Hanya satu kalimat tapi sarat akan makna? Sangatlah benar bahwa selama kita hidup di dunia, apapun yang kita lakukan pun yang kita perjuangkan adalah demi diri kita sendiri. Karena itu, musuh terbesar kita bukanlah orang lain yang berada di atas kita, namun justru diri kita sendiri. Karena diri kitalah yang paling tahu akan kebutuhan serta keinginan kita. Kita pula lah yang paling mengerti kelebihan dan keterbatasan yang kita miliki. Dan musuh yang begitu mengenal diri kita adalah musuh terbesar kita.
Bukan hanya itu, semua ketakutan, rasa ketidak-mampuan, maupun rasa malas (yang dianggap sebagai penyebab utama kegagalan) berasal dari dalam diri kita sendiri. Kitalah yang membuat ketakutan itu, kita juga yang membuat diri kita merasa tidak mampu, dan kita yang menumbuhkan rasa malas hingga akarnya menancap dalam dan akhirnya tumbuh kokoh. Semua itu berawal dari kita, bukan orang lain. Mungkin memang apa yang kita lakukan adalah hal yang teramat sulit, namun jika kita mau mencoba dan berusaha, belum tentu kita tidak bisa melakukan ataupun menyelesaikannya karena sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan, bukan?
Karena semua berawal dari kita, maka kitalah yang harus mengakhirinya. Mengakhiri rasa putus asa, mengakhiri rasa tidak mampu, tidak percaya diri, rasa takut yang berlebihan, dan semua hal negatif dalam diri kita. Dan mulailah memumupuk pikiran-pikiran positif bahwa kita bisa melalui semuanya, bahkan termasuk hal yang dianggap mustahil bagi orang lain atau yang dianggap tidak mungkin bisa kita lewati.
Ya, postingan ini sekedar mengingatkan kita semua untuk terus berjuang dan tak henti-hentinya melawan diri kita sendiri, menembus batas yang secara tidak sadar kita buat untuk diri kita, melakukan yang terbaik yang kita bisa, serta meraih hasil yang maksimal. Keep fighting and keep your chin up even after you fall deeply. :)
Sabtu, Juni 02, 2012
Ritual Mantengin Nilai
Morning, guys..
How are you now? Doing great, eh? :)
Setelah dua kali posting hal yang berat (ini tumben-tumbenan banget aku posting bahan yang berat), sekarang saatnya mengembalikan blog ini seperti semula. Diisi dengan cerita hari-hari absurd, pengalaman-pengalaman yang nggak terlupakan (bagiku), cerita-cerita romansa (yang mungkin nggak menyentuh), dan buah pikiran yang terkadang nggak jelas ujung pangkalnya.
For your information, aku sekarang udah masuk masa liburan (lagi). Benar-benar nggak kerasa waktu bergulir begitu cepatnya sampai-sampai aku udah libur kuliah dan lebih mengagetkan lagi, udah masuk tingkat akhir dari kuliahku. Time flies, indeed (see previous post). Waktu liburan, kami semua (baca: mahasiswa di kampusku) punya ritual yang bisa dibilang asik-asik nyebelin. Mungkin ritual ini pernah kalian alami sih.Ritual ini aku sebut sebagai "waiting for good/bad grade". As the name suggests, di sini kami selalu dibuat deg-deg-an dan mau nggak mau harus online dan update terus soal nilai apa aja yang udah keluar di web siakad.
Mungkin kalian berpikir, "ah lebay ah, nungguin nilai aja sampe deg-deg-an segala, kayak mau diapain aja." Well, you may say so, tapi bagi kami (baca: mahasiswa yang setengah-setengah) ritual ini begitu menggemaskan. Secara, kami udah penasaran tingkat dewa sama nilai-nilai kami yang (takutnya) terjun bebas. Ini semua gara-gara berbagaikesenangan kegilaan yang kami lakukan di awal hingga tengah semester, apalagi di akhir semester yang akhirnya berujung, "wah, gak kerasa udah minggu akhir, aku nggak mudheng sama mata kuliahnya" dan jadilah SKS (sistem kebut semalam). Tapi sayangnya untungnya, bagi mahasiswa tingkat tua akhir seperti kami, lebih banyak tugas paper dibanding ujian tulis di dalam kelas. Jadi, masih lumayan lah, bisa ngarang dikit-dikit dan bisa procrastinating (teteup).
Tapi nampaknya bapak dan ibu dosen juga nggak semudah itu melepaskan kami dari ikatan belenggu tugas yang menggunung. Jadinya, beliau niat banget buat memberi tumpukan tugas yang nggak main-main jumlahnya dan well, tingkat kesulitannya. Dafuq is goin' on?. Ini sih ceritanya lepas dari mulutdosen buaya, masuk ke pelukan mulut singa. -__-"
Syukurlah, sekarang semua balada kesibukan bersama hujan badai bernama tugas dan ujian akhir semester udah berakhir. Dan it is now the time of that rites. Sampai sekarang, masih kurang 3 mata kuliah dari total 11 mata kuliah yang aku ambil yang nilainya masih belum pada keluar. Akan seperti apa IP saya semester ini? *jeng jeng jeng jeng* Nantikan up date-an berikutnya.
see ya :D
How are you now? Doing great, eh? :)
Setelah dua kali posting hal yang berat (ini tumben-tumbenan banget aku posting bahan yang berat), sekarang saatnya mengembalikan blog ini seperti semula. Diisi dengan cerita hari-hari absurd, pengalaman-pengalaman yang nggak terlupakan (bagiku), cerita-cerita romansa (yang mungkin nggak menyentuh), dan buah pikiran yang terkadang nggak jelas ujung pangkalnya.
For your information, aku sekarang udah masuk masa liburan (lagi). Benar-benar nggak kerasa waktu bergulir begitu cepatnya sampai-sampai aku udah libur kuliah dan lebih mengagetkan lagi, udah masuk tingkat akhir dari kuliahku. Time flies, indeed (see previous post). Waktu liburan, kami semua (baca: mahasiswa di kampusku) punya ritual yang bisa dibilang asik-asik nyebelin. Mungkin ritual ini pernah kalian alami sih.Ritual ini aku sebut sebagai "waiting for good/bad grade". As the name suggests, di sini kami selalu dibuat deg-deg-an dan mau nggak mau harus online dan update terus soal nilai apa aja yang udah keluar di web siakad.
Mungkin kalian berpikir, "ah lebay ah, nungguin nilai aja sampe deg-deg-an segala, kayak mau diapain aja." Well, you may say so, tapi bagi kami (baca: mahasiswa yang setengah-setengah) ritual ini begitu menggemaskan. Secara, kami udah penasaran tingkat dewa sama nilai-nilai kami yang (takutnya) terjun bebas. Ini semua gara-gara berbagai
Tapi nampaknya bapak dan ibu dosen juga nggak semudah itu melepaskan kami dari ikatan belenggu tugas yang menggunung. Jadinya, beliau niat banget buat memberi tumpukan tugas yang nggak main-main jumlahnya dan well, tingkat kesulitannya. Dafuq is goin' on?. Ini sih ceritanya lepas dari mulut
Syukurlah, sekarang semua balada kesibukan bersama hujan badai bernama tugas dan ujian akhir semester udah berakhir. Dan it is now the time of that rites. Sampai sekarang, masih kurang 3 mata kuliah dari total 11 mata kuliah yang aku ambil yang nilainya masih belum pada keluar. Akan seperti apa IP saya semester ini? *jeng jeng jeng jeng* Nantikan up date-an berikutnya.
see ya :D
Rabu, Mei 30, 2012
Diskusi Post Sebelumnya
Membaca judul post ini mungkin membuat kalian sedikit merasa
penasaran. Mengapa post sebelumnya harus didiskusikan. Terlebih lagi, mengapa blog ini jadi membahas hal-hal yang berat??? :)
Sebenarnya post ini hanya akan sedikit menjelaskan mengenai post sebelumnya yang berkaitan dengan tugas kuliahku (yang belum sempat baca, lihat posting sebelumnya). Aku tak begitu mengira bahwa tugas kuliah yang aku kerjakan (dan aku coba publikasikan di blog ini) mengundang kontroversi. Memang, nampaknya berbicara mengenai agama dan toleransi sosial pada waktu-waktu ini adalah hal yang cukup sensitif. Post mengenai agama itu adalah sebuah tugas akhir dari mata kuliah filsafat yang telah kutempuh.
Sebenarnya post ini hanya akan sedikit menjelaskan mengenai post sebelumnya yang berkaitan dengan tugas kuliahku (yang belum sempat baca, lihat posting sebelumnya). Aku tak begitu mengira bahwa tugas kuliah yang aku kerjakan (dan aku coba publikasikan di blog ini) mengundang kontroversi. Memang, nampaknya berbicara mengenai agama dan toleransi sosial pada waktu-waktu ini adalah hal yang cukup sensitif. Post mengenai agama itu adalah sebuah tugas akhir dari mata kuliah filsafat yang telah kutempuh.
Sekilas tentang mata kuliah ini, pada dasarnya, mata kuliah filsafat
mengajarkanku untuk mempertanyakan banyak hal, terutama hal-hal mendasar dalam
kehidupan manusia. Tak melulu hal yang sangat menyulitkan, hal yang sepele pun
perlu dipertanyakan karena untuk itulah kita dianugerahi komponen yang begitu
canggih bernama otak, untuk memikirkan ‘the underlying reasons of many things’.
Aku cukup menikmati mata kuliah ini karena aku diajarkan untuk memiliki waktu
mempertanyakan sesuatu sebelum memberikan nilai terhadap hal itu. Bagiku mata
kuliah ini seolah penghapus prejudice atau anggapan-anggap buruk lainnya
terhadap sesuatu bahkan sebelum kita mencari kebenarannya.
Maka dari itu, sebelumnya, aku ingin meminta kalian untuk
sejenak menyingkirkan semua prejudice yang kalian punya mengenai banyak hal,
terutama mengenai sistem agama tertentu. Cobalah berpikir netral meski hanya
sejenak dan aku harap kalian mampu mengikuti alur pembicaraan dalam tugas yang
aku kerjakan.
Bagi kalian yang telah meluangkan waktu untuk sejenak
membaca tugasku, sebelumnya aku hanya ingin mengatakan bahwa tugas itu
merupakan pemikiranku akan suatu hal yang aku anggap aneh, dalam hal ini adalah
sistem agama yang aku anggap semakin tidak karuan dikarenakan oknum-oknumnya.
Aku tidak bermaksud menyinggung salah satu agama atau bahkan merendahkan nama
Tuhan Yang Maha Esa serta maha segalanya karena aku juga beragama dan percaya
akan keagungan Tuhan. Hanya saja, mungkin aku merasa kurang puas akan sikap
orang-orang yang mengaku beragama dan menjunjung tinggi nama Tuhan serta
menunjukkan bahwa mereka beriman, namun nyatanya mereka masih berlaku merugikan
orang lain dan justru memunculkan kekacauan di tengah-tengah kehidupan sosial.
Untuk itulah, aku mempertanyakan banyak hal, termasuk
mengapa kita tak bisa hidup berdampingan saja tanpa menyalahkan salah satu
pihak? Bukankah beragama itu hak tiap orang? Bukan aku mempermasalahkan mana
agama yang paling benar karena tiap orang pasti menganggap agamanyalah yang
benar dan semua tidak akan terselesaikan dengan seperti itu. Toleransi tetap
tak akan terwujud dengan ‘pengakuan kebenaran’ karena perdebatan tetap akan
ada. Aku di sini lebih mempertanyakan tentang ‘agama yang dipercaya mengatur
dan mengajarkan kebaikan mengapa seolah tak mampu mengajarkan orang-orangnya
untuk saling menghargai?’ di mana kah keteraturan yang diharapkan oleh agama
itu sendiri? Dan apakah kita bisa dengan mudahnya bersembunyi di balik nama agama
setelah kita melakukan sesuatu? Bukankah itu terkesan begitu tak bertanggung
jawab?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bergantian di dalam
benakku. Di mana toleransi yang selama ini diajarkan melalui agama yang aku
percayai? Bukankah nabiku, penyebar agamaku, sosok yang dimuliakan mengajarkan
untuk bertoleransi dengan semua orang dari agama manapun? Namun, mengapa ajaran yang notabene berasal
dari satu nabi yang sama, dapat dipraktikkan secara berbeda dan pada akhirnya
hanya berbuah menyalahkan orang di luar sistem agamaku? Tidak bisakah hanya
berhenti dalam tahap “Baiklah, aku percaya agamaku yang paling baik dan benar
bagiku. Tapi jika kau tetap ingin beribadah menurut apa yang kau percayai,
silahkan saja. Tidak akan kubunuh kau hanya karena tidak sealiran denganku.”
Bukankah dalam kitab pun diajarkan, untukkulah agamaku dan untukmulah agamamu?
Hanya masalah toleransi lah yang aku permasalahkan karena
aku percaya, sang pencipta itu satu, Tuhanku satu, namun dengan berbagai nama.
Sebuah entitas yang Esa, namun dengan berbagai sebutan. Semua yang menyebabkan
munculnya ‘perbedaan’ akan konsep Tuhan hanyalah image yang dibuat oleh manusia
dikarenakan mereka ingin mengerti Tuhan mereka. Mereka ingin mengenali Tuhan
mereka, untuk itulah mereka tanpa sadar membuat image yang mereka anggap
sebagai gambaran Tuhan yang sayangnya menyebabkan berbeloknya suatu kepercayaan. Pembuatan image
ini terjadi karena keterbatasan manusia untuk benar-benar mengerti sosok Tuhan
yang ada, namun sekaligus tidak ada, yang begitu sempurna dan begitu kuat.
Manusia tidak mampu menggambarkan Tuhan dalam sosok yang mereka tidak tahu,
namun di satu sisi, mereka merasa memerlukan penggambaran itu untuk merasa
lebih dekat dengan Tuhannya. Maka, mereka berusaha mewujudkan itu dalam image
manusia (yang notabene makhluk sempurna) dengan kekuatan super, karena manusia
tidak mampu menggambarkan sosok yang lebih sempurna dibanding manusia since
they only know that human is the perfect creatures compared to un-living
things, plants, and animals.
Mungkin ini yang bisa aku sampaikan. Bukan aku bermaksud
meletakkan salah satu sistem agama di atas yang lain. Aku hanya ingin melihat
kesejajaran mereka sehingga kita pun bisa hidup bersisian tanpa harus
berselisih. Bukan aku bermaksud pula menyalahkan pihak-pihak tertentu karena
aku sadar, ilmu agamaku pun tak setinggi yang kalian pikir, malah ilmu agamaku
masih sangat terbatas. Aku hanya ingin mempertanyakan beberapa hal itu saja
sembari berusaha perlahan mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Semoga ini bisa sedikit memunculkan pengertian akan pemahaman jalan pikiranku dalam post sebelumnya.
Selasa, Mei 29, 2012
Agama Bukan Lagi Aturan Perbaikan dalam Mengajarkan Toleransi
Beberapa waktu lalu, saya sedikit terhibur dengan beberapa
komentar di jaringan sosial mengenai salah satu permasalahan yang berdasarkan
agama. Yang membuat saya merasa sangat
terhibur bukanlah permasalahan yang dibahas, yaitu mengenai pacaran, melainkan
melihat bagaimana pandangan orang-orang yang berkomentar di thread itu. Para pengomentar itu berasal
dari berbagai sistem agama (6 sistem agama yang diakui oleh negara, a.l: Islam,
Budha, Hindu, Kristen, Katholik, dan KongHu Cu) sehingga pendapat mereka pun
lantas berbeda-beda. Tidak hanya itu, pendapat dari orang yang menganut sistem agama
yang sama (dan ajaran yang seharusnya sama) bahkan memiliki pandangan yang
berbeda mengenai suatu hal. Bahkan, ada
sebagian dari mereka yang akhirnya saling menyalahkan dan saling menghujat satu
dengan lainnya.
Mengetahui hal tersebut, saya jadi berpikir, mengapa
bisa orang yang diakui beragama dan percaya kepada Tuhan malah tidak bisa
saling menghargai satu sama lainnya? Terutama mereka yang notabene dari sistem
keagamaan yang sama pun masih bisa saling menghujat. Bagaimana bila mereka
berinteraksi dengan orang dari sistem agama yang lain? Di mana toleransi yang
selama ini diajarkan di dalam ajaran agama itu sendiri atau bahkan yang telah
ditanamkan sejak dini melalui pelajaran Budi Pekerti di dalam silabus
pendidikan nasional? Mengapa ketika berurusan dengan agama, logika seolah
terkalahkan?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas sempat terlintas
di benak Anda juga. Yang saya sesalkan adalah manusia yang dikatakan sebagai
makhluk sempurna lengkap dengan alat berpikirnya malah tidak bisa berpikir
rasional untuk saling menghargai dan bertoleransi. Tidak sedikit pula yang
tidak berpikir lebih lanjut mengenai aturan-aturan agama yang di’paksa’kan
kepada mereka. Bahkan sebagian dari mereka pun rela melakukan tindakan yang
merugikan orang lain maupun negara mereka sendiri hanya karena hasutan dari
suatu aliran agama tertentu. Mereka bahkan membunuh orang dari sistem agama
lain (yang bahkan agamanya pun diakui dan harusnya dilindungi oleh negara)
hanya karena orang tersebut memiliki kepercayaan yang berbeda. Mereka
menganggap orang dengan sistem agama berbeda adalah orang yang tidak pantas
dihormati dan pantas untuk mati. Benarkah logika telah mati ketika bertemu
dengan agama? Tidak bisa kah perbedaan kepercayaan ini menjadi suatu pembeda
pun juga pengikat di saat yang bersamaan?
Jika kita mau diam sejenak untuk berpikir, sebenarnya
akan kita temukan kesamaan dari tiap-tiap sistem agama yang ada. Pertama, tiap
agama mengakui Tuhan sebagaimana yang tertera dalam dasar negara: Ketuhanan
Yang Maha Esa. Jika negara telah mengakui beberapa sistem agama, maka
sebenarnya semua sistem itu di’asumsi’kan sama dalam hal mempercayai Tuhan yang
Esa. Maka, untuk apa kita membeda-bedakan?
Kesamaan yang kedua adalah pada dasar kepercayaan itu
sendiri. Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang tediri atas a- (=tidak) dan
–gama (=kacau). Maka, secara terminologis, agama berarti tidak ada kekacauan
atau dengan kata lain adanya sebuah keteraturan. Sebuah aturan dibuat untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Aturan juga berfungsi
untuk mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik. Maka dari itu, setiap agama
nampaknya berdasar pada sesuatu yang sama yaitu kepercayaan untuk berubah
menjadi lebih baik dengan mengajarkan yang baik. Contohnya, tidak peduli apapun
sistem agama yang kita anut, pasti akan ada peraturan yang menyatakan bahwa
mencuri itu tidak diijinkan oleh Tuhan manapun. Maka apa yang sebenarnya
berbeda dari agama satu dan yang lainnya? Mungkin hanya sebatas kitab.
Dari analisis sederhana di atas, tidak pantas jika
kita menyatakan satu agama itu salah karena pada dasarnya semua agama memiliki
dasar kepercayaan dan ajaran yang sama, yaitu kebaikan. Jika kita menganggap
salah satu agama salah, maka ajaran agama kita pun juga salah. Lalu, apa yang
sebenarnya kita bela dan anggap benar selama ini? Tidak ada. Memang, tidak ada
salahnya kita menganggap agama kita lah yang paling baik karena itulah kita
memilihnya. Namun, jika kita berhak berargumen seperti itu, maka orang lain pun
berhak mengatakan agama merekalah yang terbaik karena mereka mempercayainya.
Lalu, apakah tidak bisa kita menerima dan tetap berjalan bersama-sama di dalam
suatu harmoni? Buat apa memperumit keadaan dengan mengatakan orang lain kafir
dan akan masuk neraka jika sebenarnya kita juga dianggap sama oleh mereka?
Selain itu, kita masih tidak tahu benar mengenai hukuman yang akan diberikan
Tuhan setelah kita mati (neraka dan surga). Benarkah semua itu ada, ataukah
hanya sebuah hiperbola yang menakutkan agar kita patuh terhadap suatu ajaran
sekaligus sebuah hiperbola yang menggiurkan agar kita mau berbuat sesuai
aturan?
Agama yang bertujuan memperbaiki yang buruk dan mengatur yang tidak tertata serta mengajarkan akan toleransi terhadap semua umat manusia seolah terlihat berbelok akhir-akhir ini. Semua dikarenakan oknum yang membuat agama hanya sebagai ikatan yang mengekang seseorang tanpa memiliki hak yang cukup untuk bertanya. Orang-orang ini terlihat mengerti akan agamanya, namun ketika tiba pada hal "mengapa harus begitu?" banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu untuk apa mereka melakukan semua aturan itu. Bukan hanya itu, agama saat ini terlihat begitu dipolitisir dan dimanfaatkan oleh kaum-kaum oportunis untuk mencapai keinginan mereka semata. Lalu, agama seperti apa yang kau pegang saat ini? Mengapa agama yang baik itu seolah telah kehilangan sinarnya dalam mengajarkan kebaikan? Di bagian mana yang salah sehingga ajaran yang baik tidak lagi terlihat berhasil mengajarkan kebaikan.
Pun dengan ajaran Budi Pekerti yang harusnya berhasil
menanamkan rasa saling menghargai antar umat beragama telah gagal memenuhi
tugas dan tujuannya. Semua yang diajarkan untuk selalu bersikap baik dalam
kehidupan sosial dan berpikir logis ketika berinteraksi dengan orang lain juga
gagal diterapkan. Semua ajaran itu bahkan dikalahkan oleh ajaran agama yang
sayangnya telah dibelokkan dan disalah-artikan oleh berbagai pihak. Toleransi
yang diharapkan untuk terwujud karena Indonesia adalah negara yang mengakui
agama-agama yang berbeda tidak dapat diraih.
diambil dari tugas Filsafat Ilmu Budaya (milik saya)
Minggu, Mei 27, 2012
Kalau Bukan Demi MTD
Mei selalu identik dengan salah satu event yang dinanti-nanti oleh banyak orang, khususnya mereka yang berdomisili di Malang. Acara ini dihelat setiap tahun sekali dan telah menjadi ikon kota Malang. Festival Malang Kembali atau yang lebih dikenal dengan istilah Malang Tempo Doeloe (MTD), merupakan acara yang sering ditunggu oleh banyak orang, warga Malang maupun luar Malang. Biasanya diadakan sekitar akhir Mei untuk memperingati HUT kota Malang. Festival ini unik karena mengusung tema Malang pada tahun-tahun lampau. Festival ini diadakan di sepanjang jalan Ijen, Malang. Banyak food-stalls and accessorie-stalls yang ada di sana ikut meramaikan festival ini. Di sini, kita akan menemui banyak hal termasuk barang dan makanan yang mampu mengingatkan kita akan nostalgi masa lalu. Tak jarang, kita akan menemukan mainan lawas yang mengingatkan tentang masa kecil kita, pun makanan tradisional yang sekarang sudah sangat sulit ditemukan.
Oke, sekian tentang general description of MTD-nya. Sekarang, cerita sesungguhnya ni. Kemarin, tepatnya 26 Mei 2012, aku diajak teman-teman ke MTD, ya sekedar jalan-jalan bareng lah karena kami udah semester akhir dan kemungkinan akan semakin sibuk sama urusan masing-masing. Lha ini mumpung masih bisa ngumpul bareng di hari libur dan bisa jalan-jalan bareng (meski tidak semua sanggup hadir) jadi ya udah, berangkatlah kami semua. Ada 10 orang yang sanggup hadir kemarin, aku, mas Bangun, Titi, Mas Nicko, Nizar, Agung, Fima, Ninuk, Nyndi, dan Rina. Rencananya sih, ngumpul jam 3, lebih tepatnya abis ashar. Tapi seperti yang sudah bisa ditebak karena mennjadi kebiasaan, semuanya baru ngumpul jam 4 dan baru bisa berangkat jam segitu.
Long story short, kami akhirnya tiba di MTD setelah jalan kaki dari kos-nya Rina (tempat ngumpul tadi) and we found out that this place was already full of people. What on earth was happening? Biasanya nih jam-jam segini masih bisa jalan dengan santainya, tapi sekarang udah penuh aja sama tubuh-tubuh orang yang berdesak-desakan. Oh, God. Sepertinya semua orang memiliki pemikiran yang sama, yaitu: pergi sore aja, masih bisa jalan santai soalnya masih lengang daripada malem gak bisa menikmati soalnya udah penuh banget. Dan akhirnya, jadilah seperti ini. Sore pun lokasi sepanjang jalan Ijen ini sudah dipenuhi manusia. *shocked*
Di MTD kami sih sempet cuci mata. Melihat banyak wisata kuliner dan barang-barang tradisional yang dijual. Kami juga sempat mencicipi beberapa kuliner tradisional asli Nusantara. Delicious. Bukan hanya itu, kegiatan wajib di sana selain wisata kuliner dan menghabiskan uang adalah *jeng jeng jeng jeng*.
Yup, you are totally right. What else to be done instead of taking so many pictures in that annual event??? Jadinya, kami rame berfoto-foto ria mengabadikan kebersamaan kala itu *ecieh bahasaku. Bukan hanya foto kami yang diabadikan oleh kameran mas Nicko, namun juga foto-foto aneh. You know what, some people stared at us and might think that wewere are crazy. Not give a single damn.lol. :P
We were walking along the way and enjoying the every little thing there, then the time to pray was near. Akhirnya, pada ribut nyari tempat buat sembayang. And, do you know what our decision was? Kami pun mangkir dari area MTD ke Mall Olympic Garden (MOG) buat nyari tempat sembayang. I know that you feel shocked because you might not think about thatcrazy idea. Dan baliknya nih, kita masih harus jalan kaki lagi ke tempat awal karena kondisi sangat tidak memungkinkan untuk naik angkot, sedangkan motor kami semua diparkir di kos-nya Rina di Jl. Blitar. Jadi intinya, rute yang kami lalui kemarin mulai dari Jl. Semarang, Jl. Blitar, terus Jl. Pahlawan Trip, Jl. Ijen, ke arah MOG, balik lagi ke arah Perpus Kota, Jl. Merbabu sampai menembus Gereja Ijen, terus ke Jl. Pahlawan Trip, dan Jl. Blitar lagi. fiuh. What a long journey, indeed. Mungkin kalau kalian hanya membaca dari postingan ini, kalian tidak tahu pasti sejauh apa itu, jadi mungkin lebih baik, kalau kalian main ke Malang, Jawa Timur, cobalah menyusuri jalan-jalan itu sesuai rute yang aku sebutkan dan rasakan sendiri bagaimana serunya kalian berjalan kaki melewati jalan itu.
Mungkin kalian berpikir, demi apa aku mau berjalan sejauh itu? Yang ada hanya membuat kaki gempor dan badan linu-linu. Ya, ini yang aku rasakan sekarang. Jawabannya adalah: kalau bukan demi MTD (dan ngumpul sama teman-teman) mungkin I wouldn't do that.
Oke, sekian tentang general description of MTD-nya. Sekarang, cerita sesungguhnya ni. Kemarin, tepatnya 26 Mei 2012, aku diajak teman-teman ke MTD, ya sekedar jalan-jalan bareng lah karena kami udah semester akhir dan kemungkinan akan semakin sibuk sama urusan masing-masing. Lha ini mumpung masih bisa ngumpul bareng di hari libur dan bisa jalan-jalan bareng (meski tidak semua sanggup hadir) jadi ya udah, berangkatlah kami semua. Ada 10 orang yang sanggup hadir kemarin, aku, mas Bangun, Titi, Mas Nicko, Nizar, Agung, Fima, Ninuk, Nyndi, dan Rina. Rencananya sih, ngumpul jam 3, lebih tepatnya abis ashar. Tapi seperti yang sudah bisa ditebak karena mennjadi kebiasaan, semuanya baru ngumpul jam 4 dan baru bisa berangkat jam segitu.
Long story short, kami akhirnya tiba di MTD setelah jalan kaki dari kos-nya Rina (tempat ngumpul tadi) and we found out that this place was already full of people. What on earth was happening? Biasanya nih jam-jam segini masih bisa jalan dengan santainya, tapi sekarang udah penuh aja sama tubuh-tubuh orang yang berdesak-desakan. Oh, God. Sepertinya semua orang memiliki pemikiran yang sama, yaitu: pergi sore aja, masih bisa jalan santai soalnya masih lengang daripada malem gak bisa menikmati soalnya udah penuh banget. Dan akhirnya, jadilah seperti ini. Sore pun lokasi sepanjang jalan Ijen ini sudah dipenuhi manusia. *shocked*
Di MTD kami sih sempet cuci mata. Melihat banyak wisata kuliner dan barang-barang tradisional yang dijual. Kami juga sempat mencicipi beberapa kuliner tradisional asli Nusantara. Delicious. Bukan hanya itu, kegiatan wajib di sana selain wisata kuliner dan menghabiskan uang adalah *jeng jeng jeng jeng*.
Yup, you are totally right. What else to be done instead of taking so many pictures in that annual event??? Jadinya, kami rame berfoto-foto ria mengabadikan kebersamaan kala itu *ecieh bahasaku. Bukan hanya foto kami yang diabadikan oleh kameran mas Nicko, namun juga foto-foto aneh. You know what, some people stared at us and might think that we
We were walking along the way and enjoying the every little thing there, then the time to pray was near. Akhirnya, pada ribut nyari tempat buat sembayang. And, do you know what our decision was? Kami pun mangkir dari area MTD ke Mall Olympic Garden (MOG) buat nyari tempat sembayang. I know that you feel shocked because you might not think about that
Mungkin kalian berpikir, demi apa aku mau berjalan sejauh itu? Yang ada hanya membuat kaki gempor dan badan linu-linu. Ya, ini yang aku rasakan sekarang. Jawabannya adalah: kalau bukan demi MTD (dan ngumpul sama teman-teman) mungkin I wouldn't do that.
Teruntuk yang Terkasih
Teruntuk yang terkasih,
hidup itu tak selamanya indah, sayang. Terkadang ada waktu di mana keindahan itu pudar, bukan hilang. Terkadang kita akan tiba di satu masa ketika keindahan itu terselimuti kejenuhan yang kita rasakan. Namun, bukan berarti hidupmu tak lagi indah atau tak mungkin menjadi indah.
Hidup tak selamanya sesuai yang kita harapkan, kasih. Memang kitalah pembuat keputusan dan pemilih jalan yang kita lalui, namun hal-hal di luar ekspetasi masih mungkin menghantui. Itulah saat di mana kita harus membuat keputusan lagi. Sebuah keputusan yang akan menentukan laju kita nanti. Ingatlah satu hal, jangan sampai kau menyesali keputusan yang telah kau buat nanti. Lakukan semuanya dengan senang hati.
Aku tahu, melakukan itu semua tidak semudah yang aku tuliskan di sini. Asal kau tahu, aku juga takut. Terkadang aku juga lelah. Tapi di saat itu menerjang, aku berusaha mengingatmu, mengingat mereka yang menyayangiku, mengingat tujuanku, untuk apa aku berjalan di lintasan ini. Aku berusaha membayangkan senyum kalian pun senyumku sendiri. Membayangkan saat-saat bahagia karena kalian berbahagia atas diriku pun bangga akan kesuksesanku. Melawan ketakutan dan rasa lelah itu tidaklah mudah, namun jangan sampai kita kalah.
Tak bisa kita selalu mangkir dari ketidak-indahan hidup, sayang. Semua kepahitan yang kita rasakan adalah penempa kekuatan dan kegigihan kita. Mengalahkan semua kelelahan, menaklukkan semua halangan yang ada. Hadapi, dan kita senantiasa menjadi lebih kuat. Setelah pahit, manis pun akan terasa begitu berharga.
Aku percaya kau mampu, sayang. Kau memiliki kekuatanmu sendiri. Cukuplah ingat ini, sayang: kau tidak sendiri. Tak bisa kujanjikan banyak hal padamu, bahkan tak berani aku bersumpah selalu ada untukmu. Aku hanya bisa berjanji satu hal: berusaha selalu ada untukmu. Berusaha mendukungmu dan membantumu semampuku.
Semua ini demi dirimu. Demi hidupmu juga masa depanmu (dan aku). Kita tidak muda lagi, sayang. Tak bisa terus lari dan menipu diri. Ini jalan yang kita pilih, kita harus lalui. Bersama sampai akhir. Ini inginku, bagaimana denganmu? aku harap jawaban itu sama. :)
hidup itu tak selamanya indah, sayang. Terkadang ada waktu di mana keindahan itu pudar, bukan hilang. Terkadang kita akan tiba di satu masa ketika keindahan itu terselimuti kejenuhan yang kita rasakan. Namun, bukan berarti hidupmu tak lagi indah atau tak mungkin menjadi indah.
Hidup tak selamanya sesuai yang kita harapkan, kasih. Memang kitalah pembuat keputusan dan pemilih jalan yang kita lalui, namun hal-hal di luar ekspetasi masih mungkin menghantui. Itulah saat di mana kita harus membuat keputusan lagi. Sebuah keputusan yang akan menentukan laju kita nanti. Ingatlah satu hal, jangan sampai kau menyesali keputusan yang telah kau buat nanti. Lakukan semuanya dengan senang hati.
Aku tahu, melakukan itu semua tidak semudah yang aku tuliskan di sini. Asal kau tahu, aku juga takut. Terkadang aku juga lelah. Tapi di saat itu menerjang, aku berusaha mengingatmu, mengingat mereka yang menyayangiku, mengingat tujuanku, untuk apa aku berjalan di lintasan ini. Aku berusaha membayangkan senyum kalian pun senyumku sendiri. Membayangkan saat-saat bahagia karena kalian berbahagia atas diriku pun bangga akan kesuksesanku. Melawan ketakutan dan rasa lelah itu tidaklah mudah, namun jangan sampai kita kalah.
Tak bisa kita selalu mangkir dari ketidak-indahan hidup, sayang. Semua kepahitan yang kita rasakan adalah penempa kekuatan dan kegigihan kita. Mengalahkan semua kelelahan, menaklukkan semua halangan yang ada. Hadapi, dan kita senantiasa menjadi lebih kuat. Setelah pahit, manis pun akan terasa begitu berharga.
Aku percaya kau mampu, sayang. Kau memiliki kekuatanmu sendiri. Cukuplah ingat ini, sayang: kau tidak sendiri. Tak bisa kujanjikan banyak hal padamu, bahkan tak berani aku bersumpah selalu ada untukmu. Aku hanya bisa berjanji satu hal: berusaha selalu ada untukmu. Berusaha mendukungmu dan membantumu semampuku.
Semua ini demi dirimu. Demi hidupmu juga masa depanmu (dan aku). Kita tidak muda lagi, sayang. Tak bisa terus lari dan menipu diri. Ini jalan yang kita pilih, kita harus lalui. Bersama sampai akhir. Ini inginku, bagaimana denganmu? aku harap jawaban itu sama. :)
salam hangat,
aku yang menyayangimu, selalu-
Kamis, Mei 24, 2012
Time Flies, Indeed
Hai semuanya...
What's up? I hope you're doing fine.
Kali ini aku hanya ingin berbagi sebuah rasa. Perasaan yang terkadang kita lupakan hanya karena kita terlalu sering merasakannya. Sebuah paradoks kan? Namun, itulah yang terjadi.
Do you ever feel that time flies? Yeah, time passes so fast without us ever notice it. Sering sekali kita tiba-tiba berada di satu titik dalam kehidupan yang akhirnya memaksa kita untuk merasa:
"Wah, cepet banget ya. Gak kerasa udah 2 bulan."
"Wah, perasaan masih kemarin deh masuk semester baru, eh sekarang udah mau UAS aja."
"He? Udah mau liburan lagi? Berarti udah kelewat 6 bulan donk."
Perasaan-perasaan seperti itu dan ekspresi-ekspresi lain yang berkaitan dengan "time flies so fast" sering sekali muncul dalam benak kita, namun ia juga sering terlupakan. Kita ingat hanya jika kita berada di satu titik setelah melewati banyak hal, namun kita sering melupakannya pada keseharian kita. Karena itulah, tak jarang dari kita, termasuk aku, yang merasa terkejut bahwa waktu sudah cukup jauh berjalan. Bukan, bahkan dia berlari begitu cepatnya. Atau bahkan, seperti pepatahnya, dia terbang bagaikan pesawat jet.
Hal inilah yang akhirnya membuat kita merasa terkejut, bahwa ternyata kita sudah menghabiskan sekian bagian dari kontrak hidup kita di dunia tanpa kita menyadarinya. Hal ini juga yang terkadang menimbulkan sebuah penyesalan, entah itu besar pun kecil, karena kita merasa masih banyak yang belum terselesaikan dalam kurun waktu tersebut. Entah memang terlalu banyak hal yang harus dilakukan atau karena kita yang tidak mampu memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin.
Akhir-akhir ini aku merasakannya. Waktu seakan berlalu begitu cepat dan terlihat berusaha meninggalkanku. Terkadang aku merasa lelah hanya untuk berusaha berlari menyamai langkahnya. Namun tetap saja tidak pernah bisa sejajar. Aku sering berpikir: "Aku sudah memasuki kepala dua."; "Sebentar lagi aku sudah harus lulus, padahal aku merasa baru sebulan menjadi mahasiswa."; "Berarti setelah ini aku harus cepat bekerja."; dan pikiran-pikiran lainnya sering kali muncul dalam lamunanku. Tak terasa waktu begitu cepat bergulir.
Aku teringat seorang teman yang berkata, "Life is a race." Yes, indeed, it is. Semua berjalan begitu cepat. Meski kita berusaha memacu kecepatan kita, terkadang kita masih tertinggal. Mungkin memang benar, cepat saja tidak cukup. Ya, speed is not enough, being fast is not enough. Kita memerlukan sebuah strategi. Strategi terbaik bagi masing-masing dari kita untuk menjalani hari dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak tertinggal oleh putaran kehidupan.
Ya, mungkin strategi yang dibutuhkan secara umum adalah, bagaimana kita bisa terus mengingat bahwa waktu bergulir begitu cepat.
What's up? I hope you're doing fine.
Kali ini aku hanya ingin berbagi sebuah rasa. Perasaan yang terkadang kita lupakan hanya karena kita terlalu sering merasakannya. Sebuah paradoks kan? Namun, itulah yang terjadi.
Do you ever feel that time flies? Yeah, time passes so fast without us ever notice it. Sering sekali kita tiba-tiba berada di satu titik dalam kehidupan yang akhirnya memaksa kita untuk merasa:
"Wah, cepet banget ya. Gak kerasa udah 2 bulan."
"Wah, perasaan masih kemarin deh masuk semester baru, eh sekarang udah mau UAS aja."
"He? Udah mau liburan lagi? Berarti udah kelewat 6 bulan donk."
Perasaan-perasaan seperti itu dan ekspresi-ekspresi lain yang berkaitan dengan "time flies so fast" sering sekali muncul dalam benak kita, namun ia juga sering terlupakan. Kita ingat hanya jika kita berada di satu titik setelah melewati banyak hal, namun kita sering melupakannya pada keseharian kita. Karena itulah, tak jarang dari kita, termasuk aku, yang merasa terkejut bahwa waktu sudah cukup jauh berjalan. Bukan, bahkan dia berlari begitu cepatnya. Atau bahkan, seperti pepatahnya, dia terbang bagaikan pesawat jet.
Hal inilah yang akhirnya membuat kita merasa terkejut, bahwa ternyata kita sudah menghabiskan sekian bagian dari kontrak hidup kita di dunia tanpa kita menyadarinya. Hal ini juga yang terkadang menimbulkan sebuah penyesalan, entah itu besar pun kecil, karena kita merasa masih banyak yang belum terselesaikan dalam kurun waktu tersebut. Entah memang terlalu banyak hal yang harus dilakukan atau karena kita yang tidak mampu memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin.
Akhir-akhir ini aku merasakannya. Waktu seakan berlalu begitu cepat dan terlihat berusaha meninggalkanku. Terkadang aku merasa lelah hanya untuk berusaha berlari menyamai langkahnya. Namun tetap saja tidak pernah bisa sejajar. Aku sering berpikir: "Aku sudah memasuki kepala dua."; "Sebentar lagi aku sudah harus lulus, padahal aku merasa baru sebulan menjadi mahasiswa."; "Berarti setelah ini aku harus cepat bekerja."; dan pikiran-pikiran lainnya sering kali muncul dalam lamunanku. Tak terasa waktu begitu cepat bergulir.
Aku teringat seorang teman yang berkata, "Life is a race." Yes, indeed, it is. Semua berjalan begitu cepat. Meski kita berusaha memacu kecepatan kita, terkadang kita masih tertinggal. Mungkin memang benar, cepat saja tidak cukup. Ya, speed is not enough, being fast is not enough. Kita memerlukan sebuah strategi. Strategi terbaik bagi masing-masing dari kita untuk menjalani hari dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak tertinggal oleh putaran kehidupan.
Ya, mungkin strategi yang dibutuhkan secara umum adalah, bagaimana kita bisa terus mengingat bahwa waktu bergulir begitu cepat.
Kamis, Mei 10, 2012
Sampai Gelap Kembali Menyelimuti
Mentari menyapa sang pagi
hangatkan seluruh permukaan bumi
Di sini, aku tetap menanti
hingga gelap kembali menyelimuti
Jauh kugantungkan sang angan
di taburan langit penuh gemintang
Terkadang tertutup awan,
namun bukan menghilang.
Tak jarang lelah aku
seolah tak sanggup lagi 'tuk maju
Merangkak, jatuh, dan menggelepar
berusaha merengkuh sang fajar
Tak jarang seperti mati aku
tak mampu lagi terbangun, terjaga, hanya diam
Terperosok, luka, dan malu
berusaha meraih bulan dalam pelukan sang malam
Jikalau berkenan, Tuan,
ulurkanlah tanganmu
biarkan kesentuh dengan jemariku
Jikalau kau mau, Tuan
angkatlah aku dari jatuhku
bersama, kita mengayuh sampai layu
Sampai gelap kembali menyelimuti...
hangatkan seluruh permukaan bumi
Di sini, aku tetap menanti
hingga gelap kembali menyelimuti
Jauh kugantungkan sang angan
di taburan langit penuh gemintang
Terkadang tertutup awan,
namun bukan menghilang.
Tak jarang lelah aku
seolah tak sanggup lagi 'tuk maju
Merangkak, jatuh, dan menggelepar
berusaha merengkuh sang fajar
Tak jarang seperti mati aku
tak mampu lagi terbangun, terjaga, hanya diam
Terperosok, luka, dan malu
berusaha meraih bulan dalam pelukan sang malam
Jikalau berkenan, Tuan,
ulurkanlah tanganmu
biarkan kesentuh dengan jemariku
Jikalau kau mau, Tuan
angkatlah aku dari jatuhku
bersama, kita mengayuh sampai layu
Sampai gelap kembali menyelimuti...
Mind's Talk
Suara tawa itu selalu terngiang di telingaku. Senyumnya, bahkan garis bibirnya yang membentuk lengkungan menghias wajahnya pun masih kuingat dengan jelasnya. Namun saat ini, bukan dia yang selama ini ceria yang ketemui di hadapanku. Dia terlihat lelah, seolah memikul beban berat di pundaknya. Jarang aku menemuinya dalam keadaan seperti ini, jika bukan karena masalah yang teramat berat.
Pun benar adanya. Dia merasa begitu terbebani. Beban yang 'dengan sengaja' kutaruh di kedua bahunya. Beban yang 'dengan sengaja' aku buat semakin berat. Sedangkan Aku, aku yang mengaku mengertinya, justru semakin membingungkannya. Aku, yang mengaku menyayanginya, justru semakin menyakitinya.
Pantaskah aku meng-klaim diriku seperti itu? Masih pantaskah aku untuk berada di sampingnya, yang telah 'dengan sengaja' aku sakiti?
Mungkin orang menganggapku tak pantas, namun aku akan membuatnya pantas. Akan kujaga dia dan barang yang telah dengan senang hati dia berikan. Ya....
Pun benar adanya. Dia merasa begitu terbebani. Beban yang 'dengan sengaja' kutaruh di kedua bahunya. Beban yang 'dengan sengaja' aku buat semakin berat. Sedangkan Aku, aku yang mengaku mengertinya, justru semakin membingungkannya. Aku, yang mengaku menyayanginya, justru semakin menyakitinya.
Pantaskah aku meng-klaim diriku seperti itu? Masih pantaskah aku untuk berada di sampingnya, yang telah 'dengan sengaja' aku sakiti?
Mungkin orang menganggapku tak pantas, namun aku akan membuatnya pantas. Akan kujaga dia dan barang yang telah dengan senang hati dia berikan. Ya....
Rabu, April 18, 2012
Cerita di Ujung Senja
Apa kabar kah sang penguasa hatiku? Sang penghias senyum di wajahku, meski terkadang tak jarang kau alirkan air mataku. Ingatkah kau akan seuntai percakapan kita di senja kala itu? Sebuah percakapan singkat pun sarat akan makna.
Memang kau tak pandai berkata-kata. Namun, aku tau kau menyayangiku dan menginginkanku untuk menjadi yang terakhir bagimu. Hanya sederet kata yang tak terlalu indah mungkin, mengalir dari ujung bibir merahmu, "Aku lelah berpetualang kepada tiap hati yang kutemui. Belum tentu pula aku akan mampu menemukan hati seperti hatimu yang begitu menyayangiku. Aku ingin singgah untuk selamanya. Di sini, bersama dengan hatimu."
Aku tersenyum mendengarnya. Pernyataan sederhana yang melambungkan jiwa. Ya, memang kata-katamu tak terlalu indah, tapi justru itulah, semua terasa lebih bermakna. Dengan kesederhanaan dan keluguannya, kurasakan sebuah ketulusan pun harapan bersamanya. "Aku pun ingin begitu. Mungkin aku sudah sangat mencintaimu. Namamu mengalir dalam tiap denyut jantungku pun tiap hembusan napasku. Wajahmu selalu membayang di tiap kedipan mataku. Bagaimana bisa aku mencinta yang lain jika aku begitu terlena padamu?"
Kala itu, keinginan akan masa depan pun telah tercurah. Harapan akan memiliki sebuah tempat bernama rumah. Tempat untuk kita tinggal bersama. Tempat di mana cinta tak akan pernah habis terasa. Tempat buah kasih sayang akan menghadirkan bahagia. Sebuah tempat untuk kita selamanya.
Kini, jika kuingat lagi masa itu, sebuah percakapan di ujung senja ketika mentari kan tertidur di ufuk barat, sebuah percakapan sederhana akan sebuah masa depan, senyumku selalu menghiasi sudut-sudut bibirku. Ya, karena kini, semua itu telah terjadi. Kau dan aku dalam sebuah masa depan baru. Kau dan aku, bersama membangun singgasana. Sebuah kerajaan kecil bersama tiga anak centil.
Ya, kita membangun sebuah keluarga. Rumah tempat kita bersama berbagi cinta. Semua berawal dari sebuah cerita di ujung senja.
Kala itu, keinginan akan masa depan pun telah tercurah. Harapan akan memiliki sebuah tempat bernama rumah. Tempat untuk kita tinggal bersama. Tempat di mana cinta tak akan pernah habis terasa. Tempat buah kasih sayang akan menghadirkan bahagia. Sebuah tempat untuk kita selamanya.
Kini, jika kuingat lagi masa itu, sebuah percakapan di ujung senja ketika mentari kan tertidur di ufuk barat, sebuah percakapan sederhana akan sebuah masa depan, senyumku selalu menghiasi sudut-sudut bibirku. Ya, karena kini, semua itu telah terjadi. Kau dan aku dalam sebuah masa depan baru. Kau dan aku, bersama membangun singgasana. Sebuah kerajaan kecil bersama tiga anak centil.
Ya, kita membangun sebuah keluarga. Rumah tempat kita bersama berbagi cinta. Semua berawal dari sebuah cerita di ujung senja.
-Sebuah cerita pun harapan akan masa yang akan datang-
Sabtu, Februari 18, 2012
Roda (di atas pun di bawah)
Halo hola... :)
Bagaimana kabar hati? Semoga baik-baik saja...yah, setidaknya tidak seperti diriku kali ini...hehehe
Orang bilang kehidupan itu selalu berputar layaknya roda yang sedang berjalan, kadang satu titik di atas, terkadang satu titik itu di bawah. Ternyata memang benar. Kau tahu, tak ada orang yang hidupnya hanya terselimuti bahagia atau kesenangan melulu. Pasti ada kalanya mereka mengalami hal yang menyedihkan, bahkan mungkin menyakitkan.
Ya, begitulah kehidupan. Sebagaimana hidupku baru-baru ini. Beberapa hari yang lalu (sampai kemarin pagi) hidupku terasa begitu berwarna. Menyenangkan, sangat. Semua terasa begitu indah. Senyum seolah enggan meninggalkan wajahku *ok, mulai sedikit lebay*
Intinya, hari-hari itu terasa begitu tak terlupakan. Namun, bahagia tak bertahan lama, bagaikan titik yang berada di atas dan akhirnya turun juga. Sebuah kurva tak mungkin menanjak terus. Sejak kemarin aku merasa salah terus. Seolah melakukan hal yang salah. semua terasa tidak pada tempatnya. Sampai-sampai harus bersitegang dengan seseorang yang justru ingin kujaga perasaannya. I felt that I really messed things up. Tak hanya itu, setelah semua mulai baik-baik saja, masih ada saja masalah yang menyulut sumbu ketegangan itu.
Semuanya berawal dari ketidaksukaan. Ketidaksukaannya terhadap salah satu aspek duniaku (dulu). Aku terjebak dalam situasi yang kurang mengenakkan. Aku tidak tahu harus bagaimana, memilih yang mana. Pada akhirnya aku tetap akan mengecewakan. Mungkin hanya seucap maaf yang mampu terujar dari mulutku karena tidak semuanya bisa disatukan, namun bukan berarti tak bisa berdampingan. Aku hanya meminta toleransi darinya, sedikit pengertian. Sedikit saja.
Namun tak bisa juga aku menuntutnya untuk menyukai apa yang tidak disukainya.
Yah, memang, hidup kadang di atas kadang di bawah. Aku hanya butuh menjalaninya. Menghadapi apa yang ada. Semoga kami diberi kesabaran, begitu juga dengan anda semua :D
Bagaimana kabar hati? Semoga baik-baik saja...yah, setidaknya tidak seperti diriku kali ini...hehehe
Orang bilang kehidupan itu selalu berputar layaknya roda yang sedang berjalan, kadang satu titik di atas, terkadang satu titik itu di bawah. Ternyata memang benar. Kau tahu, tak ada orang yang hidupnya hanya terselimuti bahagia atau kesenangan melulu. Pasti ada kalanya mereka mengalami hal yang menyedihkan, bahkan mungkin menyakitkan.
Ya, begitulah kehidupan. Sebagaimana hidupku baru-baru ini. Beberapa hari yang lalu (sampai kemarin pagi) hidupku terasa begitu berwarna. Menyenangkan, sangat. Semua terasa begitu indah. Senyum seolah enggan meninggalkan wajahku *ok, mulai sedikit lebay*
Intinya, hari-hari itu terasa begitu tak terlupakan. Namun, bahagia tak bertahan lama, bagaikan titik yang berada di atas dan akhirnya turun juga. Sebuah kurva tak mungkin menanjak terus. Sejak kemarin aku merasa salah terus. Seolah melakukan hal yang salah. semua terasa tidak pada tempatnya. Sampai-sampai harus bersitegang dengan seseorang yang justru ingin kujaga perasaannya. I felt that I really messed things up. Tak hanya itu, setelah semua mulai baik-baik saja, masih ada saja masalah yang menyulut sumbu ketegangan itu.
Semuanya berawal dari ketidaksukaan. Ketidaksukaannya terhadap salah satu aspek duniaku (dulu). Aku terjebak dalam situasi yang kurang mengenakkan. Aku tidak tahu harus bagaimana, memilih yang mana. Pada akhirnya aku tetap akan mengecewakan. Mungkin hanya seucap maaf yang mampu terujar dari mulutku karena tidak semuanya bisa disatukan, namun bukan berarti tak bisa berdampingan. Aku hanya meminta toleransi darinya, sedikit pengertian. Sedikit saja.
Namun tak bisa juga aku menuntutnya untuk menyukai apa yang tidak disukainya.
Yah, memang, hidup kadang di atas kadang di bawah. Aku hanya butuh menjalaninya. Menghadapi apa yang ada. Semoga kami diberi kesabaran, begitu juga dengan anda semua :D
Jumat, Februari 17, 2012
To a Place Called 'Home'
Dia berjalan terseok-seok. 'Haus', pikirnya. Mentari siang ini bersinar terik, panasnya menusuk kulit. Fiuh. Dihelanya napas dalam, perlahan. Ditengadahkannya wajahnya seolah menantang sang Surya. Sinarnya begitu menyilaukan hingga tanpa sadar dia segera mengangkat tangannya untuk melindungi pandangannya.
'Hah', senyum sinis itu terukir di bibirnya. Ternyata dia tak begitu kuat untuk menantang matahari.
'Haha, lucu', pikirnya. Bagaimana dia mampu menantang mentari yang dengan gigih bersinar menerangi dunia tanpa henti. Meski badai datang, meski mendung menjelang, bintang besar itu tak lelah pun tetap setia bertengger di tepian langit, menanti saat yang tepat untuk menunjukkan sinarnya lagi. Bagaimana bisa dia yang lemah dibandingkan dengan sang Surya yang begitu kuat?
Tidak ada yang tahu akan semua lukanya, kisah sedihnya. Yang orang tahu hanyalah dia, lelaki periang yang penuh canda dan tawa. Seolah tak pernah lengkungan senyum bulan sabit-nya menghilang dari paras tampannya. Namun, apakah orang tahu di balik semua tawa itu, di balik semua senyum itu, tersimpan kepedihan yang menyesakkan dada hingga terkadang membuatnya sesak untuk sekedar menghirup udara.
Perlahan diayunkannya kakinya selangkah demi selangkah menuju tempat yang disebut rumah. 'Haha, rumah. Kata yang cukup aneh untuk digunakan menamai tempat itu', batinnya. Harusnya rumah berarti tempat di mana kau merasa diterima. Rumah harusnya menjadi tempat di mana kau merasa disambut oleh orang-orang yang kau cintai. Namun, bagaimana dengan tempat itu? Tak ada siapa pun di sana semenjak seseorang itu pergi. Jauh, tanpa kabar. Orang yang selama ini mengisi tempat itu dengan sesuatu bernama cinta. Orang yang selama ini selalu menyambutnya ketika dia lelah sepulang dari kantornya.
Ya, tempat yang dulunya disebut rumah, kini telah terasa hampa tanpa kehadiran orang yang diharapkannya. Maka, masihkah itu disebut rumah? Ketika semua yang dia rasakan hanya kosong, bagaikan sebuah lubang besar menganga. Masihkah pantas itu disebut rumah ketika semua kehangatan telah sirna dan hanya dingin yang mengisinya. Masihkah dia bisa menyebut itu rumah jika tak ada sedikit pun harapan dan hanya sunyi yang menyelimutinya?
Sampailah ia di muka tempat itu, dibukanya pintu depan secara perlahan. Hening. Bukan, sunyi. Senyap. Dingin. Dia memandang sekeliling, sepasang matanya menangkap sepotong demi sepotong dari tiap ruang yang ada. Memang berperabot, namun tetap saja kosong.
Kini tempat itu tak diberinya nama. Hanya sebuah tempat berisikan kenangan. Hanya ruang kosong yang menanti untuk dihuni. Hanya seonggok bangunan yang menunggu seseorang untuk kembali menyebutnya sebagai 'rumah' di mana cinta memenuhi tiap sudut ruangnya. Di mana ada dia dan orang yang dicintainya.
Teruntuk yang terkasih,
Lama sudah kau tak memberiku kabar. Kala itu kau hanya berpamitan untuk pergi, sejenak. Namun, hingga kini aku tak jua melihatmu kembali ke tempat yang (dulu) kita sebut sebagai 'rumah kita'. Tak tahukah bahwa aku merindumu? Tak rindukah kau padaku? Kau tahu, tempat itu masih sama, ruang itu masih sama, yang tak sama hanyalah tak adanya sosokmu di dalamnya. Namun, itu cukup untuk membuat perbedaan yang begitu dalam. Di sana masih kusimpan kenangan tentangmu, menantimu mengambilnya kembali. Di sana masih kusimpan rasa itu, menantimu untuk menyambutnya lagi. Menyebutnya (lagi) sebagai 'rumah kita' sebagaimana biasanya.
Aku, yang setia menunggumu
'Hah', senyum sinis itu terukir di bibirnya. Ternyata dia tak begitu kuat untuk menantang matahari.
'Haha, lucu', pikirnya. Bagaimana dia mampu menantang mentari yang dengan gigih bersinar menerangi dunia tanpa henti. Meski badai datang, meski mendung menjelang, bintang besar itu tak lelah pun tetap setia bertengger di tepian langit, menanti saat yang tepat untuk menunjukkan sinarnya lagi. Bagaimana bisa dia yang lemah dibandingkan dengan sang Surya yang begitu kuat?
Tidak ada yang tahu akan semua lukanya, kisah sedihnya. Yang orang tahu hanyalah dia, lelaki periang yang penuh canda dan tawa. Seolah tak pernah lengkungan senyum bulan sabit-nya menghilang dari paras tampannya. Namun, apakah orang tahu di balik semua tawa itu, di balik semua senyum itu, tersimpan kepedihan yang menyesakkan dada hingga terkadang membuatnya sesak untuk sekedar menghirup udara.
Perlahan diayunkannya kakinya selangkah demi selangkah menuju tempat yang disebut rumah. 'Haha, rumah. Kata yang cukup aneh untuk digunakan menamai tempat itu', batinnya. Harusnya rumah berarti tempat di mana kau merasa diterima. Rumah harusnya menjadi tempat di mana kau merasa disambut oleh orang-orang yang kau cintai. Namun, bagaimana dengan tempat itu? Tak ada siapa pun di sana semenjak seseorang itu pergi. Jauh, tanpa kabar. Orang yang selama ini mengisi tempat itu dengan sesuatu bernama cinta. Orang yang selama ini selalu menyambutnya ketika dia lelah sepulang dari kantornya.
Ya, tempat yang dulunya disebut rumah, kini telah terasa hampa tanpa kehadiran orang yang diharapkannya. Maka, masihkah itu disebut rumah? Ketika semua yang dia rasakan hanya kosong, bagaikan sebuah lubang besar menganga. Masihkah pantas itu disebut rumah ketika semua kehangatan telah sirna dan hanya dingin yang mengisinya. Masihkah dia bisa menyebut itu rumah jika tak ada sedikit pun harapan dan hanya sunyi yang menyelimutinya?
Sampailah ia di muka tempat itu, dibukanya pintu depan secara perlahan. Hening. Bukan, sunyi. Senyap. Dingin. Dia memandang sekeliling, sepasang matanya menangkap sepotong demi sepotong dari tiap ruang yang ada. Memang berperabot, namun tetap saja kosong.
Kini tempat itu tak diberinya nama. Hanya sebuah tempat berisikan kenangan. Hanya ruang kosong yang menanti untuk dihuni. Hanya seonggok bangunan yang menunggu seseorang untuk kembali menyebutnya sebagai 'rumah' di mana cinta memenuhi tiap sudut ruangnya. Di mana ada dia dan orang yang dicintainya.
Teruntuk yang terkasih,
Lama sudah kau tak memberiku kabar. Kala itu kau hanya berpamitan untuk pergi, sejenak. Namun, hingga kini aku tak jua melihatmu kembali ke tempat yang (dulu) kita sebut sebagai 'rumah kita'. Tak tahukah bahwa aku merindumu? Tak rindukah kau padaku? Kau tahu, tempat itu masih sama, ruang itu masih sama, yang tak sama hanyalah tak adanya sosokmu di dalamnya. Namun, itu cukup untuk membuat perbedaan yang begitu dalam. Di sana masih kusimpan kenangan tentangmu, menantimu mengambilnya kembali. Di sana masih kusimpan rasa itu, menantimu untuk menyambutnya lagi. Menyebutnya (lagi) sebagai 'rumah kita' sebagaimana biasanya.
Aku, yang setia menunggumu
Langganan:
Postingan (Atom)