Selasa, Mei 29, 2012

Agama Bukan Lagi Aturan Perbaikan dalam Mengajarkan Toleransi


Beberapa waktu lalu, saya sedikit terhibur dengan beberapa komentar di jaringan sosial mengenai salah satu permasalahan yang berdasarkan agama.  Yang membuat saya merasa sangat terhibur bukanlah permasalahan yang dibahas, yaitu mengenai pacaran, melainkan melihat bagaimana pandangan orang-orang yang berkomentar di thread itu. Para pengomentar itu berasal dari berbagai sistem agama (6 sistem agama yang diakui oleh negara, a.l: Islam, Budha, Hindu, Kristen, Katholik, dan KongHu Cu) sehingga pendapat mereka pun lantas berbeda-beda. Tidak hanya itu, pendapat dari orang yang menganut sistem agama yang sama (dan ajaran yang seharusnya sama) bahkan memiliki pandangan yang berbeda mengenai suatu hal.  Bahkan, ada sebagian dari mereka yang akhirnya saling menyalahkan dan saling menghujat satu dengan lainnya.
Mengetahui hal tersebut, saya jadi berpikir, mengapa bisa orang yang diakui beragama dan percaya kepada Tuhan malah tidak bisa saling menghargai satu sama lainnya? Terutama mereka yang notabene dari sistem keagamaan yang sama pun masih bisa saling menghujat. Bagaimana bila mereka berinteraksi dengan orang dari sistem agama yang lain? Di mana toleransi yang selama ini diajarkan di dalam ajaran agama itu sendiri atau bahkan yang telah ditanamkan sejak dini melalui pelajaran Budi Pekerti di dalam silabus pendidikan nasional? Mengapa ketika berurusan dengan agama, logika seolah terkalahkan?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas sempat terlintas di benak Anda juga. Yang saya sesalkan adalah manusia yang dikatakan sebagai makhluk sempurna lengkap dengan alat berpikirnya malah tidak bisa berpikir rasional untuk saling menghargai dan bertoleransi. Tidak sedikit pula yang tidak berpikir lebih lanjut mengenai aturan-aturan agama yang di’paksa’kan kepada mereka. Bahkan sebagian dari mereka pun rela melakukan tindakan yang merugikan orang lain maupun negara mereka sendiri hanya karena hasutan dari suatu aliran agama tertentu. Mereka bahkan membunuh orang dari sistem agama lain (yang bahkan agamanya pun diakui dan harusnya dilindungi oleh negara) hanya karena orang tersebut memiliki kepercayaan yang berbeda. Mereka menganggap orang dengan sistem agama berbeda adalah orang yang tidak pantas dihormati dan pantas untuk mati. Benarkah logika telah mati ketika bertemu dengan agama? Tidak bisa kah perbedaan kepercayaan ini menjadi suatu pembeda pun juga pengikat di saat yang bersamaan?
Jika kita mau diam sejenak untuk berpikir, sebenarnya akan kita temukan kesamaan dari tiap-tiap sistem agama yang ada. Pertama, tiap agama mengakui Tuhan sebagaimana yang tertera dalam dasar negara: Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika negara telah mengakui beberapa sistem agama, maka sebenarnya semua sistem itu di’asumsi’kan sama dalam hal mempercayai Tuhan yang Esa. Maka, untuk apa kita membeda-bedakan?
Kesamaan yang kedua adalah pada dasar kepercayaan itu sendiri. Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang tediri atas a- (=tidak) dan –gama (=kacau). Maka, secara terminologis, agama berarti tidak ada kekacauan atau dengan kata lain adanya sebuah keteraturan. Sebuah aturan dibuat untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Aturan juga berfungsi untuk mengubah sesuatu dari buruk menjadi baik. Maka dari itu, setiap agama nampaknya berdasar pada sesuatu yang sama yaitu kepercayaan untuk berubah menjadi lebih baik dengan mengajarkan yang baik. Contohnya, tidak peduli apapun sistem agama yang kita anut, pasti akan ada peraturan yang menyatakan bahwa mencuri itu tidak diijinkan oleh Tuhan manapun. Maka apa yang sebenarnya berbeda dari agama satu dan yang lainnya? Mungkin hanya sebatas kitab.
Dari analisis sederhana di atas, tidak pantas jika kita menyatakan satu agama itu salah karena pada dasarnya semua agama memiliki dasar kepercayaan dan ajaran yang sama, yaitu kebaikan. Jika kita menganggap salah satu agama salah, maka ajaran agama kita pun juga salah. Lalu, apa yang sebenarnya kita bela dan anggap benar selama ini? Tidak ada. Memang, tidak ada salahnya kita menganggap agama kita lah yang paling baik karena itulah kita memilihnya. Namun, jika kita berhak berargumen seperti itu, maka orang lain pun berhak mengatakan agama merekalah yang terbaik karena mereka mempercayainya. Lalu, apakah tidak bisa kita menerima dan tetap berjalan bersama-sama di dalam suatu harmoni? Buat apa memperumit keadaan dengan mengatakan orang lain kafir dan akan masuk neraka jika sebenarnya kita juga dianggap sama oleh mereka? Selain itu, kita masih tidak tahu benar mengenai hukuman yang akan diberikan Tuhan setelah kita mati (neraka dan surga). Benarkah semua itu ada, ataukah hanya sebuah hiperbola yang menakutkan agar kita patuh terhadap suatu ajaran sekaligus sebuah hiperbola yang menggiurkan agar kita mau berbuat sesuai aturan?
Agama yang bertujuan memperbaiki yang buruk dan mengatur yang tidak tertata serta mengajarkan akan toleransi terhadap semua umat manusia seolah terlihat berbelok akhir-akhir ini. Semua dikarenakan oknum yang membuat agama hanya sebagai ikatan yang mengekang seseorang tanpa memiliki hak yang cukup untuk bertanya. Orang-orang ini terlihat mengerti akan agamanya, namun ketika tiba pada hal "mengapa harus begitu?" banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu untuk apa mereka melakukan semua aturan itu. Bukan hanya itu, agama saat ini terlihat begitu dipolitisir dan dimanfaatkan oleh kaum-kaum oportunis untuk mencapai keinginan mereka semata. Lalu, agama seperti apa yang kau pegang saat ini? Mengapa agama yang baik itu seolah telah kehilangan sinarnya dalam mengajarkan kebaikan? Di bagian mana yang salah sehingga ajaran yang baik tidak lagi terlihat berhasil mengajarkan kebaikan.
Pun dengan ajaran Budi Pekerti yang harusnya berhasil menanamkan rasa saling menghargai antar umat beragama telah gagal memenuhi tugas dan tujuannya. Semua yang diajarkan untuk selalu bersikap baik dalam kehidupan sosial dan berpikir logis ketika berinteraksi dengan orang lain juga gagal diterapkan. Semua ajaran itu bahkan dikalahkan oleh ajaran agama yang sayangnya telah dibelokkan dan disalah-artikan oleh berbagai pihak. Toleransi yang diharapkan untuk terwujud karena Indonesia adalah negara yang mengakui agama-agama yang berbeda tidak dapat diraih.

diambil dari tugas Filsafat Ilmu Budaya (milik saya)

2 komentar:

  1. tulisanmu,,intine opo?koyok wong liberalis ngene :/

    BalasHapus
  2. http://buletin.muslim.or.id/aqidah/penyakit-%E2%80%98semua-agama-sama%E2%80%99

    BalasHapus