Secercah sinar keemasan masuk entah darimana, menyinari Mata
yang masih terpejam.
“Selamat pagi.” Telinga mendengar sebuah suara dari
kejauhan. Suara yang aku kenal dan selalu aku rindukan. Mata membuka kelopaknya
perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan terang di dalam ruangan.
“Selamat pagi, Sayang.” Bibir berucap membalas salam hangat
dari yang aku rindukan. Sebuah kecupan ringan mendarat di Dahi pemilikku.
Sebuah kecupan dari orang yang aku rindukan, kekasih pemilikku. Ya, aku adalah
Hati, yang dimiliki seorang wanita bernama Freya. Perjalananku cukup panjang
sampai akhirnya menemukan sebuah tambatan. Asal kau tahu saja, pemilikku adalah
seorang wanita yang keras hati. Terlalu kuat dia melindungiku untuk tidak
terluka karena pernah dia rasakan sakit yang begitu dalam karena luka yang ada
padaku.
---
Can
anybody hear me?
Am I
talking to myself?
My
mind is running empty
In
the search for someone else
Who
doesn’t look right through me.
It’s
all just static in my head
Can
anybody tell me why I’m lonely like a satellite?
“Permisi, boleh saya duduk di sini?” Seorang pria datang menghampiri
Freya yang sedang asik melahap buku favoritnya di sebuah kafe kesukaannya.
Mengernyitlah dahinya, merasa terganggu dengan kehadiran pria itu. Aku tahu dia
tidak akan menyukai ini karena dia bukan tipe orang yang mudah bergaul. Dia
suka menyendiri dan lebih memilih bersembunyi di balik buku daripada
berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi seorang pria asing. “Bolehkah
saya duduk di sini? Maaf jika menganggu, tapi tempat duduk yang lain sudah
penuh, dan saya lihat bangku ini kosong. Jadi, bisakah saya bergabung?”
Freya memandang sekeliling dan melihat bahwa semua bangku yang kosong
itu sudah terisi. Tidak lagi dia punyai sejuta alas an untuk menolak pria itu.
Memang, di waktu-waktu makan siang, kafe ini selalu penuh. Tapi biasanya tidak
pernah sepenuh ini. Padahal pemilikku hanya ingin menikmati hari ini,
sendirian. Entah bagaimana dia terbiasa dengan kesendirian, sebenarnya aku
merasa cukup kesepian.
Akhirnya, Kepala mengangguk
dengan tidak ikhlas, isyarat memperbolehkan pria itu bergabung dengan Freya.
“Terima kasih,” ucap pria itu.
Hening. Beginilah Freya ketika bersama dengan orang yang tidak dia
kenal. Lebih banyak diam dengan pikirannya. Benar-benar antisosial.
“Buku itu cukup menarik.”
Hmm, gigih juga pria ini untuk
membuat pemilikku membuka sedikit pertahanannya. Sudahlah, menyerah saja.
”Maaf?” hanya satu kata yang terucap dari bibir pemilikku. Entah memang
dia tidak mendengar atau hanya ingin memberikan isyarat ‘jangan ganggu aku’.
“Buku itu,” ucap pria itu sambil menunjuk buku yang Freya bawa.
“Ceritanya menarik. Aku sudah membacanya bahkan berkali-kali.”
“Kau yakin sudah pernah membaca buku ini?”
“Tentu saja. Itu tentang perjalanan seseorang di surga kan? Five People Meet in Heaven karangan
Mitch Albom kan? Apa kau meragukan aku”
“Ya, kau benar. Aku menyukai buku ini dan aku heran ada seorang pria
yang menyukai buku ini juga. Karena itu, aku sedikit terkejut mendengar
pernyataanmu tadi.”
Dan aku juga terkejut mengetahui pemilikku mau membuka sedikit
pertahanannya pada pria ini. Tampaknya, ini akan berlanjut lagi.
--
Benar saja, kedekatan pemilikku dengan pria (yang dulunya asing) yang
ternyata bernama Eros memiliki keterlanjutan. Nama yang unik, kuakui, untuk
seorang yang juga unik dan penuh cinta. Tak kusangka pertahanan yang dipasang oleh pemilikku
perlahan-lahan luruh dan kini, aku hampir tidak memiliki sebuah tembok pun
mengelilingi keberadaanku. Aku, Hati yang selama ini terlindungi, telah dibuka
kembali.
“Espresso, satu,” kudengar pria itu memesan minuman seperti biasanya.
“Vanila latte, satu.”
“Kau begitu menyukai espresso ya? Setiap datang kemari kulihat kau
memesan minuman yang sama.”
“Sama seperti kau yang selalu memesan vanilla latte kesukaanmu.”
Ya, aku tahu jawabnya. Karena
wanita ini, pemilikku, tidak terlalu menyukai perubahan. Dan karena itulah aku
heran, bagaimana dia bisa menerima bergitu banyak perubahan setelah mengenalmu,
tuan.
“Itu karena aku suka sesuatu yang berbau vanilla, dan aku cukup
menyukai kopi. Jadi, aku berusaha mencari gabungan keduanya,” timpal Freya.
Hari ini, seperti biasanya selama sekian minggu, mereka menikmati siang
bersama. Memesan kopi kesukaan mereka dan berbagi banyak cerita. Sepertinya
bahkan pemilikku sudah berbagi hati dengan pria itu karena aku merasakan
kehangatan yang merasuk setiap mereka bersama.
Bibir kini mampu tertawa lepas setiap candaan yang diberikan Eros menggelitikku. Bahkan Mata sampai menitikkan air karena tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba keheningan menyeruak. Tangan merasakan sebuah sentuhan lembut dari
tangan milik pria itu. Dan kehangatan lagi-lagi menyelubungiku.
“Aku merasa senang menghabiskan waktu bersamamu. Kau tahu, sejak hari
pertama kita bertemu, aku merasakan kenayamanan yang luar biasa. Entah
bagaimana, seolah aku sudah mengenalmu sekian lama. Sejak itu, setiap detik
bergulir, pikiranku melayang melambung memikirkanmu. Wajahmu dan semua
tentangmu tak bisa aku enyahkan sedetik pun.”
Dia berhenti sejenak, dan aku seolah berhenti berdetak. Paru-paru
sedikit sesak karena kata-kata indah yang pria itu sampaikan.
“Sejak itu, aku ingin menghabiskan semua hariku bersamamu. Maukah kau
menjadi kekasihku?” pinta pria itu pada pemilikku.
Bibir hanya diam. Pemilikku ragu, mungkin akulah yang ragu. Aku masih
takut merasakan sakit lagi. Tapi aku juga tak ingin kehilangan kehangatan ini.
Berperanglah aku dengan Otak. Dan akhirnya, aku telah memutuskan.
Can
I please come down?
‘Cause
I’m tired of drifting round and round.
Can
I please come down?
“Iya,” ucap Bibir, diikuti dengan anggukan Kepala.
Sebuah kecupan mendarat di Bibir dan lagi, kehangatan yang tak
terlukiskan menyelimuti aku lagi. Inilah yang selama ini aku cari di dalam
kesendirian. Sebuah kehangatan yang mengusir sepi dan mampu meruntuhkan pertahanan aku, sebuah Hati milik Freya.
Sebuah kecupan rasa espresso telah menghapuskan semua rasa
sakit yang pernah ada. Kecupan rasa espresso itu masih membekas lama. Pahit pun
manis terasa bersamaan. Mungkin, inilah cinta. Seorang lelaki (yang dulunya
asing) telah mampu memenuhi semua ruang yang aku punya.
---
"Ini, vanilla latte kesukaanmu, Sayang," pria itu menyodorkan sebuah cangkir kepada Freya dan kemudia dia menyesap espresso kesukaannya. Freya pun menyesap kopinya dan menikmati kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
Sebuah kecupan mendarat lembut di Bibir. Sebuah kecupan rasa espresso yang selalu aku sukai, pun dirindukan pemilikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar