Well I wonder could it
be
When I was dreaming ‘bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy, call me blind
to still be suffering is stupid after all of this time
When I was dreaming ‘bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy, call me blind
to still be suffering is stupid after all of this time
Sebuah lagu terdengar dari kejauhan memecah keheningan di
antara kita. Kita yang tidak tahu harus berkata apa. Kita yang mungkin mulai
hari esok hanya akan terdiri dari hanya aku atau hanya kamu, bukan lagi ada aku
dan ada kamu. Kita yang mungkin tidak akan bisa bersama lagi tepat sehari
setelah hari ulang tahunku.
“Haha, pas banget ya lagunya. Seolah semua orang tahu
tentang kisah kita saat ini,” kataku sambil tertawa. Tawaku garing dan tidak
bernyawa.
“Nggak bisa ya, yang diputer itu lagu lain, bukan yang ini?
Bikin suasana tambah suram aja,” ungkapmu sedikit sebal dan mungkin merasa
bersalah.
“Did I lose my love to someone better? And does she love you
like I do. I do, you know I really really do,” gumamku menirukan lantunan lagu
itu.
Kamu hanya diam tanpa kata melihat tingkahku yang seperti
itu. Mungkin kamu berpikir aku masih sangat kekanak-kanakan. Tapi, bisa saja
kamu membiarkanku seperti itu untuk sedikit menghilangkan rasa bersalahmu. Atau
mungkin kamu membiarkanku karena kamu tahu, dengan cara itulah aku bisa mengurangi
rasa sakit hatiku. Mungkin lebih tepatnya rasa kecewa yang mendalam. Tak
sengaja ekor mataku menangkap pandanganmu padaku. Entah apa arti dari
pandanganmu itu, tapi aku merasakan segurat kesedihan dan kekecewaan. Mungkin
kamu juga terluka. Harusnya kamu terluka karena jika tidak, jika hanya aku yang
merasakan luka ini, betapa menyedihkannya aku.
“Jadi, ini terakhir kalinya kita makan bersama?” tanyaku
padamu.
“Sepertinya begitu. Ini kencan kita yang terakhir,” jawabmu
lemah. Tiba-tiba kamu menghembuskan napas cukup keras. Entah, itu artinya apa.
“Jangan mengatakan kencan yang terakhir. Sangat menyakitkan
mendengarkannya karena berakhir dengan sebuah ironi.” Aku berusaha sekuat
tenagaku untuk menahan air mata yang mendesak keluar. Aku tidak ingin menangis,
setidaknya tidak di hadapanmu. Aku tidak ingin terlihat lemah sehingga
membuatmu mengasihaniku.
“Maaf,” hanya sebuah kata itu yang meluncur dari bibirmu.
“Sudah, kamu nggak perlu minta maaf lagi. Kita kan sudah
janji untuk bisa menerima apapun keputusan hari ini. Selain itu, kamu sudah ada
dia yang menunggumu. Dia lebih membutuhkannya daripada aku. Aku masih sanggup
menjalani hidupku sendiri, sambil menunggu orang yang mau menerimaku lagi,” aku
tersenyum, tapi sangat terpaksa. Sekali lagi, kamu hanya diam. Aku yakin bahwa
kamu tahu seberapa terlukanya aku. Aku yakin bahwa kamu sangat mengerti sebuah
kata maaf saja tidak akan bisa mengubah sebuah perpisahan.
“Ya, aku sudah memilikinya,” katamu lebih untuk meyakinkan
dirimu sendiri. “Terima kasih atas kehadiranmu selama ini. Nggak ada yang bisa
menggantikan posisimu di dalam sini,” kau menunjuk dada sebelah kiri, tempat
sebuah hati yang pernah aku miliki. “Sebenarnya sangat sulit melepaskanmu
karena selama ini, secara tidak sadar kamu telah menjadi standar di dalam
hidupku. Kamu telah mengisinya dengan perasaanmu. Tapi, entah mengapa seolah
semesta terlalu cemburu jika aku memilikimu seutuhnya. Karena itulah, mereka
bersekongkol memisahkan kita. Aku sayang kamu. Tapi kita sama-sama tahu bahwa
ini tidak mungkin berlanjut”
Aku setuju dengan
kalimat terakhirmu. Kita masih saling menyayangi tapi kita juga sama-sama tahu
bahwa kita memiliki orang yang sudah menunggu kita dengan harapan-harapannya.
“ Iya. Aku permisi sebentar. Urusan wanita,” candaku sambil
memberikan cengiran khas ku. Kamu hanya tersenyum menanggapinya dan kemudian
mengangguk.
Tak lama aku kembali ke dekatmu. “Ayo,” ajakku.
Aku tak ingin terlihat menyedihkan di hadapanmu, tapi aku
tahu kalau aku tidak bisa menipumu. Kamu selalu tahu bagaimana keadaanku.
Perlahan tapi pasti kamu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Kau
menarikku mendekat dan merangkulku, melakukan kebiasaanmu selama ini. Lucu,
kita tahu kita harus berpisah, tapi tangan kita masih akan saling terpaut
seperti ini. Entah sampai berapa lama, mungkin ini yang terakhir kalinya setelah aku tahu kau dijodohkan dengan dia.
And we were letting go of something special
Something we’ll never have again
I know, I guess I really really know
The day you went
away-M2M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar