Dia berjalan terseok-seok. 'Haus', pikirnya. Mentari siang ini bersinar terik, panasnya menusuk kulit. Fiuh. Dihelanya napas dalam, perlahan. Ditengadahkannya wajahnya seolah menantang sang Surya. Sinarnya begitu menyilaukan hingga tanpa sadar dia segera mengangkat tangannya untuk melindungi pandangannya.
'Hah', senyum sinis itu terukir di bibirnya. Ternyata dia tak begitu kuat untuk menantang matahari.
'Haha, lucu', pikirnya. Bagaimana dia mampu menantang mentari yang dengan gigih bersinar menerangi dunia tanpa henti. Meski badai datang, meski mendung menjelang, bintang besar itu tak lelah pun tetap setia bertengger di tepian langit, menanti saat yang tepat untuk menunjukkan sinarnya lagi. Bagaimana bisa dia yang lemah dibandingkan dengan sang Surya yang begitu kuat?
Tidak ada yang tahu akan semua lukanya, kisah sedihnya. Yang orang tahu hanyalah dia, lelaki periang yang penuh canda dan tawa. Seolah tak pernah lengkungan senyum bulan sabit-nya menghilang dari paras tampannya. Namun, apakah orang tahu di balik semua tawa itu, di balik semua senyum itu, tersimpan kepedihan yang menyesakkan dada hingga terkadang membuatnya sesak untuk sekedar menghirup udara.
Perlahan diayunkannya kakinya selangkah demi selangkah menuju tempat yang disebut rumah. 'Haha, rumah. Kata yang cukup aneh untuk digunakan menamai tempat itu', batinnya. Harusnya rumah berarti tempat di mana kau merasa diterima. Rumah harusnya menjadi tempat di mana kau merasa disambut oleh orang-orang yang kau cintai. Namun, bagaimana dengan tempat itu? Tak ada siapa pun di sana semenjak seseorang itu pergi. Jauh, tanpa kabar. Orang yang selama ini mengisi tempat itu dengan sesuatu bernama cinta. Orang yang selama ini selalu menyambutnya ketika dia lelah sepulang dari kantornya.
Ya, tempat yang dulunya disebut rumah, kini telah terasa hampa tanpa kehadiran orang yang diharapkannya. Maka, masihkah itu disebut rumah? Ketika semua yang dia rasakan hanya kosong, bagaikan sebuah lubang besar menganga. Masihkah pantas itu disebut rumah ketika semua kehangatan telah sirna dan hanya dingin yang mengisinya. Masihkah dia bisa menyebut itu rumah jika tak ada sedikit pun harapan dan hanya sunyi yang menyelimutinya?
Sampailah ia di muka tempat itu, dibukanya pintu depan secara perlahan. Hening. Bukan, sunyi. Senyap. Dingin. Dia memandang sekeliling, sepasang matanya menangkap sepotong demi sepotong dari tiap ruang yang ada. Memang berperabot, namun tetap saja kosong.
Kini tempat itu tak diberinya nama. Hanya sebuah tempat berisikan kenangan. Hanya ruang kosong yang menanti untuk dihuni. Hanya seonggok bangunan yang menunggu seseorang untuk kembali menyebutnya sebagai 'rumah' di mana cinta memenuhi tiap sudut ruangnya. Di mana ada dia dan orang yang dicintainya.
Teruntuk yang terkasih,
Lama sudah kau tak memberiku kabar. Kala itu kau hanya berpamitan untuk pergi, sejenak. Namun, hingga kini aku tak jua melihatmu kembali ke tempat yang (dulu) kita sebut sebagai 'rumah kita'. Tak tahukah bahwa aku merindumu? Tak rindukah kau padaku? Kau tahu, tempat itu masih sama, ruang itu masih sama, yang tak sama hanyalah tak adanya sosokmu di dalamnya. Namun, itu cukup untuk membuat perbedaan yang begitu dalam. Di sana masih kusimpan kenangan tentangmu, menantimu mengambilnya kembali. Di sana masih kusimpan rasa itu, menantimu untuk menyambutnya lagi. Menyebutnya (lagi) sebagai 'rumah kita' sebagaimana biasanya.
Aku, yang setia menunggumu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar