Jumat, September 07, 2012

Warna di tengah Kelabu


Masih teringat jelas dalam ingatanku tentang hari itu. Suatu senja bulan Oktober tahun 2010. Pertemuan itu bukan tak disengaja. Aku yang sudah merencanakannya. Aku tahu kau, namun mungkin kau belum mengetahuiku. Bahkan sangatlah mungkin jika kau belum merasakan keberadaanku. Mungkin kau masih belum tahu jika aku ada.

Awalnya, aku ragu untuk menyapa. Aku takut dikira sok kenal. Terlebih lagi, aku malu. Ya, aku malu jika ternyata akhirnya kau menganggapku sebagai seorang yang mengganggu. Tapi hatiku berkata lain, entah dari mana sebuah keyakinanakan terjadinya cerita yang menarik tiba-tiba menyeruak keluar. Mengisi seluruh ruang hati dan menghapuskan segala ragu yang sempat singgah tadi. Akhirnya, kuputuskan untuk menyapamu, berharap kau akan sedikit mengenaliku meski sebenarnya aku tahu bahwa harapan ini hanya semu.

Dan ternyata benar, kau bahkan menganggapku sebagai orang lain—orang yang kau kenal. Sebenarnya, aku kecewa kala itu, namun candaanmu segera menggantikannya secepat angin berlalu. Aneh, meski kita belum saling mengenal. Meski ini adalah pembicaraan pertama kita, aku merasa telah mengenalmu sekian lama. Aku merasa begitu akrab. Bersamamu terasa hangat, bersamamu seolah waktu berhenti melaju.

Kita sama-sama tahu bahwa aku sudah ada kekasih kala itu dank au pun sedang menyukai seseorang. Kita sama-sama tahu bahwa mungkin kedekatan kita tidak seharusnya seperti ini. Bahwa mungkin kebersamaan kita adalah salah. Namun, tak bisa kupungkiri sedikit pun, aku menikmati saat-saat bersamamu. Dan buruknya, aku mencandu. Asal kau tahu, sejak itu aku selalu menantikan kehadiranmu dalam hariku yang kelabu.

Hari berganti minggu, minggu tergeserkan oleh bulan, dan aku akhirnya berpisah dengan kekasihku. Kecewa, iya. Tapi, tak ada air mata yang hinggap di pelupuk mataku. Entah, aku tidak merasakan sakit meski telah dikhianati olehnya. Hanya sedikit rasa kecewa dari egoku yang tinggi, “mengapa dia berani menduakan aku?” Ya, saat itu aku merasa kalah. Herannya, hanya dengan sebuah telepon darimu yang menanyakan kabarku, semua rasa kekalahanku terhapuskan oleh suaramu yang terdengar merdu di telingaku. Saat itu, aku tahu, aku sebenarnya telah jatuh kepadamu. Aku tahu mengapa tak kurasakan sakit di hatiku, karena sejak hari itu, sebuah senja di bulan Oktober 2010, aku telah menyerahkan hatiku kepadamu. Mungkin orang menganggapku aneh karena tak mencintai kekasihku, namun lihatlah, justru aku bersyukur tak mencintainya karena pada akhirnya dia mengkhianatiku.

Perlahan pun pasti, kita semakin saling mengisi. Kau tahu, seperti biasa aku selalu menantikan hadirmu dalam hariku. Tak kuasa aku menjalani hari tanpa tahu kabarmu, tanpa mendengar suaramu, tanpa melihat binar matamu. Dalam saat apapun, kau berhasil menenangkan gelisahku. Aku selalu rindu akan senandungmu, meski terkadang sebenarnya sumbang, tapi bagiku itu senandung terindah yang kau lantunkan. Sebagaimana kau menjadi anugerah terindah dalam hidupku.
***
Agustus 2012,

Terdengar suara Duta, sang vokalis menemani soreku kini. Sambil membayangkan dirimu menatap langit senja yang sama di jarak yang berbeda. Kunikmati lantunan lagu yang sederhana, namun penuh dengan makna, yang menggambarkan tentang dirimu. Kunikmati rinduku padamu, berharap lantunan lagu ini juga terdengar samapi di tempatmu.

Sifatmu nan s'lalu
Redahkan ambisiku
Tepikan khilafku
Dari bunga yang layu

Saat kau disisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki


“Untuk dirimu yang sekarang berada di tempat yang cukup jauh, terima kasih telah datang dan mengisi hidupku, Sayang. Terima kasih telah menuliskan kisah yang indah. Terima kasih telah menjadi anugerah terindah bagiku, dan akan selalu begitu. Terima rinduku, semoga bisa temani hari-harimu di negeri seberang,” batinku.

-terinspirasi dari lagu Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki-Sheila On 7-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar