Tadaimaaaa…..
*membuka blog dan menyadari betapa usangnya blog ini. Ternyata sudah cukup lama aku tidak menulis di blog ini, dari bulan Mei hingga Juni.
Wow, satu bulan penuh, atau lebih mungkin :)
Maaf, bagi orang-orang yang mengikuti blog ini, yang suka membaca blog ini, dan yang selalu memantau perkembangannya *membungkuk (tapi emangnya ada?)
Aku jarang menulis karena sibuk, hahaha. Ya, ya, ya, aku tahu itu alasan klasik. Baiklah, akan aku katakan yang sebenarnya, aku sedang menghadapi sesuatu yang dinamakan writer’s block. Ya, aku tidak ada ide untuk menulis! *jdaaar* suara petir menyambar.
Anyway, kali ini aku akan menuliskan pengalamanku selama tour 3 hari (Blitar, Trenggalek, dan Kediri) di liburan ini. Setelah sebulan lebih kami (baca: aku dan teman-teman sekelasku) merencanakan perjalanan ini—aku tahu kalian mungkin menganggap kami lebay, tapi begitulah adanya—akhirnya perjalanan ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Kami berangkat dari Malang pada hari Minggu, 12 Juni 2011. Rencana awal, kami berangkat setelah subuh, tapi seperti yang telah diduga, jadwal pemberangkatan mundur beberapa jam, menjadi pukul 07.00 (ternyata budaya memakai jam dari karet itu masih kami lestarikan).
Perjalanan dimulai menuju kota pertama, Blitar. Sebenarnya ini bukan tujuan utama melainkan tempat persinggahan pertama. Kami hanya transit, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi menuju tujuan utama, yaitu Tenggalek.
Blitar, apa yang kalian pikirkan saat mendengar nama kota itu?
Yup, benar (meskipun kalian tidak menjawab atau pun jawaban kalian salah, tetap saja aku anggap benar. Baik kan?) tujuan wisata kami di Blitar adalah waduk Karangkates. Waduk itu lumayan bagus sebenaranya, namun sayang, seperti layaknya tempat wisata lain yang selalu didapati adanya kerjaan tangan-tangan jahil yang membuang sampah sembarangan, mencorat-coret dinding maupun pagar, atau hal-hal yang lain. Semua itu membuatnya menjadi tidak indah. Terlepas dari itu, pemandangan yang dipampangkan cukup menarik, seolah ada pulau di tengan waduk itu (ya, mungkin itu memang pulau betulan). Udaranya cukup sejuk, karena memang masih pagi dan jalanan masih cukup sepi. Waduk itu berada di kanan jalan, jika kita datang dari arah Malang. Di kiri jalan terdapat landaian tanah yang tertanami tetumbuhan hijau. Letak jalan raya dan jembatan berada beberapa meter lebih tinggi dari waduk dan landaian tanah itu. Seolah kau berada di atas gunung dan mampu melihat semua yang ada di bawah tanpa sedikit pun penghalang pandangan mata. Dan hari itu cerah, secerah mentari yang bertengger di singgasana langit, secerah senyum kami yang penuh kekaguman dan kesenangan :D
Tempat singgah kedua, masih di Blitar. Museum Bung Karno. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba mereka (baca: teman-temanku) tertarik dengan sebuah museum dan makam, namun bagaimanapun itu adalah sebuah warisan nenek moyang, harta negara yang patut untuk dikunjungi dan dilestarikan (udah sok ni bicaranya). Museum Bung Karno merupakan sebuah kawasan wisata yang cukup luas. Di sana terdapat perpustakaan tempat menyimpan buku-buku sejarah (yaiyalah tempat nyimpen buku) mengenai Indonesia, Bung Karno sendiri, maupun buku-buku yang lainnya. Selain itu, terdapat museum yang menyimpan gambar-gambar (foto maupun lukisan tentang Bung Karno. Salah satunya adalah sebuah lukisan yang notabene ajaib. Ya, ajaib karena lukisan itu berdetak. Detakan itu tepat berasal dari titik di mana jantung seharusnya berada, yaitu dada sebelah kiri. Memang, jika dilihat dari depan, tidak akan terlihat bedanya. Hanya nampak layaknya lukisan biasa, namun jika kita melihatnya dari samping, maka akan nampak bagian dada tersebuut berdenyut-denyut lembut dan berirama laksana denyutan jantung manusia. Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi, mungkin ada suatu trik atau suatu penjelasan ilmiah tentang itu, entahlah. Bisa dibilang lukisan itu menjadi Point of Interest di kawasan wisata ini selain makam Bung Karno sendiri tentunya. Selain lukisan yang berdetak itu, banyak sekali lukisan serta foto-foto pada zaman kemerdekaan. Melihat foto-foto tersebut rasanya seperti kita menyaksikan suatu peristiwa pada zaman itu, padahal mungkin kita belum lahir. Sayangnya, di dalam museum, pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar.
Rute museum ini berurutan dari depan ke belakang—museum, perpustakaan, makam, dan pusat oleh-oleh. Sekarang, kami menuju makam Bung Karno. Sebelumnya, seperti yang sempat disiarkan di berita bahwa ada sejarawan yang percaya bahwa Bung Karno tidak dilahirkan di Blitar melainkan di Surabaya. Well, aku tidak tahu mana yang benar, karena masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. Back to the topic, di sana terdapat dua buah makam dan satu buah guci besar yang terletak di pendopo. Jadi, letak makam tersebut di atas atau lebih tinggi dari jalan yang dilalui pengunjung. Aku tidak tahu itu ditujukan untuk apa, apakah agar makam itu tidak dirusak atau kotor (tapi siapa yang akan mau merusak makam?), ataukah suatu bentuk penghormatan. Hei, aku tahu Bung Karno adalah orang yang berjasa, namun dia juga hanya seorang manusia yang setara derajatnya dengan manusia yang lain di hadapan Tuhan. Entah mengapa aku merasa orang-orang terlalu menghormatinya. Aku tahu makam mungkin tempat keramat, namun entah mengapa orang-orang terlalu mengkultuskannya. Terserahlah.
Rute berlanjut ke pasar oleh-oleh. Banyak sekali stand yang menjual cindera mata mulai dari yang kecil dan mudah dibawa seperti pin, gantungan kunci, topeng, baju, sandal, sampai yang besar seperti lampion, pajangan, dan peralatan dapur. Pasar oleh-oleh itu cukup besar, namun jalannya sempit sehingga pejalan kaki yang lain harus terpaksa berhenti sejenak saat ada pengunjung yang berhenti untuk melihat-lihat barang di salah satu stan. Anyway, jalan-jalan di Blitar lumayan seru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar