Tanggal 1 Mei 2013 malam.
Seorang anak kecil lapor kepada mamanya, "Ma, aku besok libur." Tertawa lah dia dengan riang menyadari kalau hari ini dia bisa tidur sampe malam. Sang mama pun terkejut, "Lho, kok libur? dalam rangka apa?"
"Kan besok Hardiknas. Aku nggak ikut upacara, jadinya ya libur. Kan enak bisa di rumah." timpal si anak sambil cengar cengir kuda.
Entah, karena sang bunda tak bisa menimpali atau berpikiran apa, yang jelas hanya helaan napas yang keluar dan mengakhiri percakapan itu.
Tanggal 2 Mei 2013.
Hari ini cerah, mungkin bahkan bisa dibilang panas. Ya syukurlah tidak hujan karena kan kasihan yang sedang berupacara di lapangan luas. Namun, panas matahari cukup terik juga ternyata. Tiba-tiba teringat bayangan ketika masih kecil mungkin sekitar SD atau SMP di mana setiap ada peringatan Hardiknas selalu mendapat jatah berpanas-panasan upacara di lapangan. Kala itu, menurut saja meski sebenarnya tak tahu apa yang dirayakan dan mengapa harus merayakannya dengan upacara sampai ada yang pingsan segala. Ya, mungkin untuk menghormati pahlawan yang telah memperjuangkan bangsa ini dulu.
Kalau mengingat sejarah, memang dulunya bangsa ini bangsa budak. Pendidikan sangat sulit untuk diraih. Hanya orang-orang yang terpilih kekayaannya lah yang bisa mengenyam pendidikan yang baik. Namun, syukurlah orang-orang tersebut mampu memperjuangkan bangsanya yang lain sehingga akhirnya mampu berdiri di kaki sendiri tanpa harus mengemis dan melayani para penjajah. Ya, bangsa ini akhirnya merdeka.
Benarkah sudah merdeka? Tak ayal pertanyaan itu melintas lagi di dalam benak. Bukankah jika merdeka, semua bisa merasa lebih baik? Pendidikan harusnya lebih merata? Namun, lihat saja pada praktiknya. Pendidikan gratis seolah hanya sebuah propaganda. Masih saja harus membayar mahal untuk merasakan nikmatnya pendidikan. Masih saja mereka yang terpilih yang bisa mendapat fasilitas yang layak. Bukankah sama saja dengan masa lalu namanya? Belum lagi, mereka yang pandai lebih banyak memilih menjadi budak negara asing dan tidak memajukan bangsanya sendiri. Bukankah ini lebih parah? Lalu, apa gunanya berdiri di bawah terik matahari seolah ingin menghormati pun merayakan Hardiknas jika kenyataannya tidak berbuah manis seperti harapan para pejuang yang dulu?
Mungkin, kita yang sudah menjadi bagian dari sistem tidak mampu berbuat banyak untuk dunia pendidikan. Ya, saya hanya seorang lulusan sarjana pendidikan yang mungkin akan menjadi guru kelak. Mungkin tidak banyak yang bisa saya sumbangkan pada bangsa ini, namun sebuah pesan berharga yang akan melekat pada diri saya adalah 'lakukan yang bisa kamu lakukan untuk mengubah yang ada di hadapanmu'. Saya akan berusaha semampu saya untuk mengubah kelas saya sendiri nantinya. Guru itu bukan pekerjaan yang mudah, saya yakin. Bertaruh nama baik dalam mengajar. Bertanggung jawab secara moral terhadap generasi bangsa. Untuk itulah, kita (calon guru) hendaknya berusaha melakukan yang terbaik yang kita bisa, bukan hanya berdiri mengikuti upacara dan tidak memberikan perubahan. Semangat Hardiknaa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar