“Kenapa kamu selalu memaksakan kehendakmu? Tidak bisakah
kamu mendengar pendapatku?” teriak seorang pria kepada wanitanya.
“Ingat, selama ini aku sudah sering menurutimu dan mengalah.
Tidak ingatkah kamu ketika kamu lebih memilih menonton bola bersama teman-temanmu
dibanding menemaniku sendirian di rumah?” timpal wanita itu.
“Bukankah aku sudah menjelaskan tentang itu? Sudah pernah
kita bahas kan sebelumnya? Kenapa dibahas lagi?”
“Ah, sudahlah. Aku lelah. Terserah kamu saja,” akhirnya
wanita itu pun menyerah dan melangkah pergi dengan air mata yang sedari tadi
disembunyikannya.
-Right in the thick of
love, At times we get sick of love. It seems like we argue everyday-
***
Bukan kali ini kami bertengkar. Ini sudah kesekian
kalinya semenjak dua tahun yang lalu kami menikah. Orang bilang adu argumen itu
hal biasa, terlebih lagi usia pernikahan kami masih seumur jagung. Kami masih
sama-sama egois, masih sama-sama ingin menang sendiri.
Aku bertemu suamiku tiga tahun yang lalu. Dan di
pertemuan pertama kami, dia sudah mampu mencuri cintaku. Kala itu, dia selalu
mampu membuat hari yang biasa menjadi luar biasa. Seolah keindahan semesta
terkalahkan oleh keindahan cinta dua orang manusia yang dimabuk asmara. Memang
ketika jatuh cinta semua menjadi indah, bahkan ada cerita tai kucing pun berasa
coklat. Semua seolah akan baik-baik saja.
Cerita tentang masa depan pun mengalir sempurna.
Bagaimana kau ingin memiliki rumah di suatu kota yang sejuk. Betapa aku ingin
menghiasinya dengan taman yang penuh bunga. Betapa kita ingin mewujudkan
kebersamaan kita. Namun, lihatlah kini, dua tahun sudah sejak ijab perjanjian
nikah yang kau ucapkan dan kita masih butuh lebih banyak belajar menerima semua
kekurangan.
--I know I misbehaved. And
you made your mistakes. And we both still got room left to grow--
Sudah dua hari berlalu sejak argumen kita yang lalu.
Dan sudah dua hari ini aku singgah di rumah orang tuaku. Begitulah aku, masih
kekanak-kanakan. Selalu mencari jalan pulang ketika kami memiliki masalah yang
belum terselesaikan. Tahukah kamu, Sayang? Di dalam sendiriku ini, aku selalu
memikirkanmu. Tak kuingkari khawatirku selalu menyerbu. Sudah makan kah kamu?
Bagaimana tidurmu semalam tadi? Tapi egoku masih tidak mau mengalah. Aku pun
terlalu malu untuk menghubungimu.
***
Fajar menyingsing. Dia muncul dari peraduannya
semalam. Sinarnya menghangatkan bumi dan seisinya. Kulihat layar handphoneku. Sebuah pesan baru
masuk di nomorku. Sebuah pesan dari nomor yang aku kenal dan selalu aku hafal sejak
tiga tahun lalu.
From: +62812***
Sayang, pulanglah. Aku merindumu. Sepi rumah kita
tanpa ada kamu di dalamnya.
Salam rindu, suamimu.
Sebuah pesan singkat yang mampu meluluh-lantakkan
semua egoku. Sebuah pesan singkat yang menghangatkan hatiku, mengalahkan
hangatnya mentari pagi ini. Dan aku pun tak sanggup lagi untuk tidak membalas
pesan itu.
To: +62812***
Jemput aku. Aku merindumu.
Salam sayang, istri yang memikirkanmu.
Tak lama setelah kukirimkan pesan singkat itu,
terdengar deru mobil di depan rumah orang tuaku. Ternyata, dia langsung
menjemputku begitu menerima pesanku. Dia, suami yang aku cintai. Aku sambut pria pujaanku itu di depan rumah. Kupasangkan
senyum terindah yang aku punya.
Tersenyum pula ia sembari memelukku hangat. Sebuah
pelukan yang biasa dia berikan ketika kami bersama dan tak terasa aku begitu
merindukan pelukan ini. “Maafkan aku, Sayang. Jangan pergi lagi, ayo kita
selesaikan semuanya dengan baik-baik,” dia berucap dan mengecup keningku
hangat.
“Iya, aku minta maaf untuk keegoisanku kemarin,
Sayang. Maaf sudah terlalu keras kepala.”
“Pun aku begitu. Kita benahi semuanya perlahan-lahan.
Memang mungkin kita membutuhkan sedikit lagi waktu. Aku yakin kita bisa
melaluinya bersama. Aku yakin.”
--And though love
sometimes hurts..I still put you first..And we'll make this thing work..But I
think we should take it slow--
Ya, mungkin kami memang masih butuh sedikit waktu.
Sedikit lagi waktu untuk belajar saling memahami, belajar mengalah dan
mengerti. Sedikit lagi waktu untuk tumbuh. Mungkin akan ada lagi adu argumen
yang berikutnya, namun di situlah kami belajar berkembang. Mungkin akan ada
lagi saat-saat aku melangkah keluar dari pintu rumah itu, namun bukan berarti
aku menyerah dan meninggalkan pergi. Mungkin akan ada lagi saat-saat di mana
dia harus menjemputku pulang, dan di sinilah kami akan berjuang. Ya, sedikit
lagi waktu, tidak perlu terburu-buru.
Take it slow
Maybe we'll live and learn
Maybe we'll crash and burn
Maybe you'll stay, maybe you'll leave,
maybe you'll return
Maybe another fight
Maybe we won't survive
But maybe we'll grow
We never know baby youuuu and I