Sabtu, Februari 18, 2012

Roda (di atas pun di bawah)

Halo hola... :)
Bagaimana kabar hati? Semoga baik-baik saja...yah, setidaknya tidak seperti diriku kali ini...hehehe

Orang bilang kehidupan itu selalu berputar layaknya roda yang sedang berjalan, kadang satu titik di atas, terkadang satu titik itu di bawah. Ternyata memang benar. Kau tahu, tak ada orang yang hidupnya hanya terselimuti bahagia atau kesenangan melulu. Pasti ada kalanya mereka mengalami hal yang menyedihkan, bahkan mungkin menyakitkan.

Ya, begitulah kehidupan. Sebagaimana hidupku baru-baru ini. Beberapa hari yang lalu (sampai kemarin pagi) hidupku terasa begitu berwarna. Menyenangkan, sangat. Semua terasa begitu indah. Senyum seolah enggan meninggalkan wajahku *ok, mulai sedikit lebay*

Intinya, hari-hari itu terasa begitu tak terlupakan. Namun, bahagia tak bertahan lama, bagaikan titik yang berada di atas dan akhirnya turun juga. Sebuah kurva tak mungkin menanjak terus. Sejak kemarin aku merasa salah terus. Seolah melakukan hal yang salah. semua terasa tidak pada tempatnya. Sampai-sampai harus bersitegang dengan seseorang yang justru ingin kujaga perasaannya. I felt that I really messed things up. Tak hanya itu, setelah semua mulai baik-baik saja, masih ada saja masalah yang menyulut sumbu ketegangan itu.

Semuanya berawal dari ketidaksukaan. Ketidaksukaannya terhadap salah satu aspek duniaku (dulu). Aku terjebak dalam situasi yang kurang mengenakkan. Aku tidak tahu harus bagaimana, memilih yang mana. Pada akhirnya aku tetap akan mengecewakan. Mungkin hanya seucap maaf yang mampu terujar dari mulutku karena tidak semuanya bisa disatukan, namun bukan berarti tak bisa berdampingan. Aku hanya meminta toleransi darinya, sedikit pengertian. Sedikit saja.
Namun tak bisa juga aku menuntutnya untuk menyukai apa yang tidak disukainya.

Yah, memang, hidup kadang di atas kadang di bawah. Aku hanya butuh menjalaninya. Menghadapi apa yang ada. Semoga kami diberi kesabaran, begitu juga dengan anda semua :D

Jumat, Februari 17, 2012

To a Place Called 'Home'

Dia berjalan terseok-seok. 'Haus', pikirnya. Mentari siang ini bersinar terik, panasnya menusuk kulit. Fiuh. Dihelanya napas dalam, perlahan. Ditengadahkannya wajahnya seolah menantang sang Surya. Sinarnya begitu menyilaukan hingga tanpa sadar dia segera mengangkat tangannya untuk melindungi pandangannya.
'Hah', senyum sinis itu terukir di bibirnya. Ternyata dia tak begitu kuat untuk menantang matahari.

'Haha, lucu', pikirnya. Bagaimana dia mampu menantang mentari yang dengan gigih bersinar menerangi dunia tanpa henti. Meski badai datang, meski mendung menjelang, bintang besar itu tak lelah pun tetap setia bertengger di tepian langit, menanti saat yang tepat untuk menunjukkan sinarnya lagi. Bagaimana bisa dia yang lemah dibandingkan dengan sang Surya yang begitu kuat?

Tidak ada yang tahu akan semua lukanya, kisah sedihnya. Yang orang tahu hanyalah dia, lelaki periang yang penuh canda dan tawa. Seolah tak pernah lengkungan senyum bulan sabit-nya menghilang dari paras tampannya. Namun, apakah orang tahu di balik semua tawa itu, di balik semua senyum itu, tersimpan kepedihan yang menyesakkan dada hingga terkadang membuatnya sesak untuk sekedar menghirup udara.

Perlahan diayunkannya kakinya selangkah demi selangkah menuju tempat yang disebut rumah. 'Haha, rumah. Kata yang cukup aneh untuk digunakan menamai tempat itu', batinnya. Harusnya rumah berarti tempat di mana kau merasa diterima. Rumah harusnya menjadi tempat di mana kau merasa disambut oleh orang-orang yang kau cintai. Namun, bagaimana dengan tempat itu? Tak ada siapa pun di sana semenjak seseorang itu pergi. Jauh, tanpa kabar. Orang yang selama ini mengisi tempat itu dengan sesuatu bernama cinta. Orang yang selama ini selalu menyambutnya ketika dia lelah sepulang dari kantornya.

Ya, tempat yang dulunya disebut rumah, kini telah terasa hampa tanpa kehadiran orang yang diharapkannya. Maka, masihkah itu disebut rumah? Ketika semua yang dia rasakan hanya kosong, bagaikan sebuah lubang besar menganga. Masihkah pantas itu disebut rumah ketika semua kehangatan telah sirna dan hanya dingin yang mengisinya. Masihkah dia bisa menyebut itu rumah jika tak ada sedikit pun harapan dan hanya sunyi yang menyelimutinya?

Sampailah ia di muka tempat itu, dibukanya pintu depan secara perlahan. Hening. Bukan, sunyi. Senyap. Dingin. Dia memandang sekeliling, sepasang matanya menangkap sepotong demi sepotong dari tiap ruang yang ada. Memang berperabot, namun tetap saja kosong.

Kini tempat itu tak diberinya nama. Hanya sebuah tempat berisikan kenangan. Hanya ruang kosong yang menanti untuk dihuni. Hanya seonggok bangunan yang menunggu seseorang untuk kembali menyebutnya sebagai 'rumah' di mana cinta memenuhi tiap sudut ruangnya. Di mana ada dia dan orang yang dicintainya.

Teruntuk yang terkasih,
Lama sudah kau tak memberiku kabar. Kala itu kau hanya berpamitan untuk pergi, sejenak. Namun, hingga kini aku tak jua melihatmu kembali ke tempat yang (dulu) kita sebut sebagai 'rumah kita'. Tak tahukah bahwa aku merindumu? Tak rindukah kau padaku? Kau tahu, tempat itu masih sama, ruang itu masih sama, yang tak sama hanyalah tak adanya sosokmu di dalamnya. Namun, itu cukup untuk membuat perbedaan yang begitu dalam. Di sana masih kusimpan kenangan tentangmu, menantimu mengambilnya kembali. Di sana masih kusimpan rasa itu, menantimu untuk menyambutnya lagi. Menyebutnya (lagi) sebagai 'rumah kita' sebagaimana biasanya.

Aku, yang setia menunggumu

Rabu, Februari 01, 2012

Dia yang (pernah) Mencintaimu

Sayang, aku tahu kita kini bersama
aku bahagia,
sungguh

Aku telah menanti cukup lama
menantimu berjalan
kembali padaku
ke tempat aku menunggumu kala itu

Sayang, aku percaya kamu
Itu benar.

Telah kubuang jauh semua raguku
Ragu yang sempat menghantui
bagaikan bayangan yang selalu mengikuti
Aku sempat takut
tak pernah kupungkiri itu
Namun tidak saat ini.

Takut itu telah tersingkir
tergantikan oleh seuntai percaya yang hadir

Sayang, aku tahu
banyak cerita yang kau punya dulu
Ya, karena kau selalu mencariku kala itu
Meski kau sempat dengan dia,
gadis yang memberikan hatinya
Aku bahkan tahu ceritamu bersamanya.

Sayang, mungkin memang takut itu sudah hilang
namun entah kenapa aku masih merasakan ketidak-sukaan.
Sebut aku egois
pun mungkin sedikit apatis
Aku hanya tidak suka

Mungkin karena dia pernah "merebutmu" dariku
Mungkin karena dia pernah mengisi hatimu
Mungkin karena dia pernah menghiasi harimu
Mungkin....
Masih banyak mungkin-mungkin lain
menari dalam benakku, bermain-main

Bahkan mungkin karena melihatnya,
mendengar tentang dia,
mengetahui kisahnya,
seolah melihat bayanganku sendiri
dalam pantulan cermin.
Ya, mungkin
karena aku
terlalu mencintaimu

Lukaku (dulu) sama dengan lukanya
Aku hanya tidak suka
teringatkan akan masa itu
Tapi bagaimanapun,
kau telah mengucap janji untuk denganku kan,
Sayang?

Bisakah kupercaya itu?
Untuk itu,
aku akan menerimanya
sebagai bagian dari masa lalumu.
Karena bagaimanapun,
tanpa dia
kau mungkin tak pernah sampai pada tahap kisahmu,
pun beranjak dari masa lalumu

Sayang, aku akan mencoba
menerima kisahnya,
kisah dia
yang (pernah) mencintaimu (seperti aku di kala itu).