Sepi. Aku sendiri. Seperti malam-malam yang telah lalu. Hanya mampu berdiri mematung, diam membisu. Kadang ingin aku berteriak kepada malam akan kesendirianku ini. Lucu! Aku kan hanya seonggok boneka pajangan yang telah lapuk, yang tak bisa berbicara. Tapi anehnya, aku mampu melihat orang silih berganti, berlalu-lalang di hadapanku. Aku bisa merasa dan memahami layaknya manusia.
Bertahun-tahun sudah kujalani, di sini, memandang hampa pada sepi. Zaman telah berubah, generasi berganti, semuanya berbeda dan ada aku di dalam semua itu dengan keadaanku yang tetap seperti pertama kali aku ada di sini. Tetap dengan wajah tersenyum padahal merasa hampa.
Lampu menyala. Hm, pemilikku telah datang. Bersiap membuka toko ini. Tunggu dulu, siapa yang ikut di belakangnya? Dua orang asing menggotong sesuatu. Apa? Aku tak bisa melihat dengan jelas sampai akhirnya benda itu diletakkan di sampingku. Sebuah manekin. Indah sekali. Hanya itu yang telintas dalam benakku. Kupandangi dia sepuas hatiku. Desain yang sempurna. Matanya, hidungnya, senyumnya. Menawanku memenjarakan aku dalam jeratan rasa yang asing. Apa yang kurasakan? Entahlah, aku tak mampu menjelaskan. Ada sensasi yang lain dalam diriku. Bahagia. Bagaimana bisa? Apa karena aku telah menemukan seseorang? Mungkin saja.
Toko mulai ramai. Pemandangan yang biasa bagiku karena memang ini satu-satunya toko pakaian di daerah terpencil ini. Aku tak menyadari ada seorang anak kecil berhenti di depan kami-- aku dan ”dia”-- menatap kami, kemudian menyentuh tanganku. Mencoba menggoyangnya. Aku ingin berkata ”jangan lakukan itu! Nanti aku bisa rusak”, tapi tak mungkin kulakukan. Kluk. Tiba-tiba kulihat sesuatu terjatuh di depanku. Pergelangan tanganku. Tidak! Mengapa jadi begini? Memang aku tak akan merasakan sakit, tapi mengapa semuanya terjadi di depan ”dia”? Ketakutan merasukiku, menguasai inderaku, mengacaukan pikiranku. Seseorang datang menghampiri bocah itu, ternyata pemilik toko. Dia memungut pergelangan tanganku, mencoba memperbaikinya. Gagal. Aku memang telah lapuk. Aku menyadari itu tapi tetap saja merasa sakit jika memikirkannya terlebih lagi karena aku telah bertemu seseorang. Aku mendengar pemilik toko berkata,”Sepertinya boneka ini memang sudah rusak dan harus diganti”.
Aku terkejut, aku panik. Seolah petir menyambarku, sadarkan aku dari ketakutanku, kembalikanku ke dalam alam nyata. Ini buruk, benar-benar buruk. ”Tidak! Jangan!” Aku mencoba berteriak. Aku tidak ingin diganti. Aku tidak ingin pergi dari sini dan sendiri lagi. Aku ingin menangis. Percuma. Tidak akan ada air mata yang jatuh, yang terlihat oleh mereka hanyalah sebuah senyum palsu. Aku tak bisa menunjukan perasaanku pada mereka. Menyedihkan.
Tak lama, aku telah diangkut oleh dua orang asing tadi, dibawa pergi menjauh dari tempatku berdiam selama ini. Aku tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandang pedih pada ”dia” untuk terakhir kalinya. Apakah memang aku tidak ditakdirkan untuk bahagia? Pada akhirnya aku kembali merasa hampa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar