Sabtu, April 23, 2011

Hidup Bukan Untuk Mati

*Repost note di FB

Berdiri ia di pinggir jembatan itu, sebuah jembatan tinggi penghubung tepian sungai. Melamun. Pandangan matanya menerawang jauh, menembus dunia masa lalu. Terlihat kosong, sebuah cerminan hatinya yang murung. Sayu tatapannya menghunjam jatuh pada air sungai yang keruh. Manusia silih berganti melewati jembatan itu, namun ia tetap terdiam, mematung. Tak terganggu sedikit pun. Seolah tak nampak baginya kehidupan serta lalu-lalang di atas jembatan itu. Pandangan ingin tahu tiap orang pun tak jua kembalikan kesadarannya ke alam nyata. Seolah jiwanya telah meninggalkan raga yang berdiri dan tetap bergeming itu.

Tak ada seorang pun yang tahu apa yang ia pikirkan kini, tak seorang pun. Hanya dia dan Tuhannya.

Perlahan, matanya serasa hidup. Berkilat untuk sejenak, namun kemudian redup. Diremasnya kedua tangannya erat. Kegalauan selimuti hati dan pikirnya. Rahangnya mengatup keras, menyuarakan gemeletuk gigi yang bergesekan.

Sepasang mata menatapnya heran. Bukan menghakimi dengan pandang menghujat, namun tatap penuh rasa penasaran. Penasaran akan apa yang mungkin terjadi di detik berikutnya. Tentang semua yang mungkin berubah dalam pergerakan sang waktu. Tatap itu tak pernah lepas dari fokus lensa matanya, pada sesosok manusia di tepian jembatan.

Perlahan, tubuh itu bergerak. Dia lepaskan genggaman tangannya. Sejenak, kedua tangan itu terkulai lemas, namun berubah tegas dalam detik berikutnya. Dia genggam tepian jembatan itu erat sebagai penyangga berat tubuhnya. Dia naikkan kakinya satu demi satu, kanan, kemudian kiri. Mula memanjat perlahan pagar jembatan itu. Dicondongkannya tubuhnya seolah menantang angin dingin yang berhembus di pagi yang mendung.

"Di saat semua terasa indah, Nona, kala itulah manusia selalu lupa." Mendengar suara dari sampingnya, ia pun terhenti.

"Ya, di saat semuanya terasa indah, kala itu manusia selalu lupa. Karena itulah Dia memberi sebuah coba agar mereka tidak semena-mena. Hidup adalah masalah, Nona. Semua tergantung bagaimana manusia mampu memandang masalah dari sudut yang berbeda dan menghadapi segalanya meski tubuh dan jiwa mereka penuh luka."

Dia bergeming. Menanti suara susulan dari sampingnya.

"Hidup tak selamanya indah, nona. Terkadang kta harus penuh lumpur, bahkan berlumur darah. Namun, justru semua itu yang membuat hidup lebih bermakna. Manusia hidup bukan untuk mati, melainkan berjuang sekuat tenaga. Mencari hikmah di balik setiap duka. Jangan kau kira hanya kau yang merana dan menganggap ini akhir dunia. Akhir dari semua. Hiduplah sengan indah dan ukirlah kisah yang bermakna selagi kau bisa."

Diam. Hanya semilir angin berhembus menggesek dedaunan lembut.

"Siapa kau?" suaranya tercekat. Hanya tanya itu yang mampu ia utarakan sambil perlahan memalingkan wajah menghadap sumber suara.

"Hanya seorang pengemis tua yang tak begitu berharga." Sosok yang menjadi asal suara itu pun tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan dia yang terhenyak karena kata-kata yang menusuk hatinya.

Ya, hidup tak bisa selamanya indah. Kita tak selalu bisa dapatkan apa yang kita inginkan. Jika kita siap berusaha meraih semuanya, berarti kita juga harus siap untuk kehilangan semuanya.

Minggu, April 17, 2011

Cerita Sebuah Hati

"Jika kau ingin pergi,
pergilah...
Aku tak bisa mengikat hatimu di sini
karena aku hanya memegang bayangmu selama ini,
bukan dirimu yang asli.
Pergilah.
Mungkin aku akan tetap begini,
menanti saat yang indah nanti."

Aku terbangun dari tidurku. Kulihat jam yang tertera di layar handphone ku. Masih pukul 3 dini hari. Fiuuuhhh, mimpi yang sama lagi, batinku. Mimpi yang menyakitkan dan menakutkan. Sudah beberapa hari belakangan ini aku memimpikan hal yang sama di jam yang sama. Entahlah, nampaknya pikiran bawah sadarku tak bisa kuajak bekerja sama dalam melupakan hal yang menyakitkan ini.

Hmm, rasanya dari tadi aku hanya mengulang-ulang tentang hal yang menyakitkan, mungkin kau merasa bingung hal apa itu. Intinya adalah sebuah kehilangan. Saat ini aku sangat takut kehilangan seseorang yang berharga bagiku, namun sepertinya aku memang telah kehilangan dia. Perlahan-lahan dia pergi melangkahkan kakinya keluar dari dunia kami, duniaku terutama. Kini sepertinya dia telah menemukan sebuah dunia baru, dunianya, yang tak bisa aku masuki, tak mungkin pula untuk kurengkuh. Dia pun perlahan-lahan melupakan kehadiranku dalam hidupnya.

Aku selama ini selalu berusaha menahannya untuk tetap berada di dunia kami, dunia yang aku dan dia kenal. Tapi semuanya percuma karena aku sadar, yang aku pegang hanya bayangnya, bukan dirinya pun jiwanya. Aku hanya mengikat raganya, bukan hatinya. Hingga dia terasa begitu jauh dari jangkauan meski aku bisa melihat wujudnya.

Aku tak tahu sebenarnya mengapa aku menahannya. Mungkin hanya untuk menghindarkan diriku dari rasa sakit akan kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Aku berpikir, selama aku bisa mempertahankan mengapa harus kulepas? Aku berpikir, menahannya adalah tindakan terbaik yang bisa aku lakukan. Ya, terbaik. Menurut siapa? Menurut aku, pikiranku, dan egoku saja, kan. Aku tak pernah berpikir sedikitpun tentang dia dan perasaannya. Jika memang begitu, masih pantaskah aku untuk memilikinya di dekatku?

TIDAK!!

Lepaskan saja dia, hatiku berkata. Iya, aku tahu kalau aku harus melepasnya. Logikaku tahu benar akan hal itu, namun efektorku tak bekerja sesuai akal pikiran. Sampai kapan aku akan tetap begini? Terjebak dalam rasaku, dalam masa lalu. Mempertahankan sesuatu yang tak ingin dipertahankan, menanti seseorang yang tak ingin dinanti, memikirkan dia yang bahkan tak sedikitpun memikirkan aku. Mampukah aku berjalan maju? Ibarat kaki, aku telah patah dan tak mungkin mampu berjalan sesempurna dulu. Semua yang telah berubah tak bisa kembali seperti sedia kala. Semua luka yang ada, mungkin perlahan akan sembuh, namun bekasnya akan tetap ada.

Hmm.. mungkin memang harus merelakan, meski sakit, meski gila. Lebih baik melepaskan meski hatiku berdarah pun bernanah. Mungkin dengan ini, aku bisa memandang lurus ke depan, berjalan maju meski terseok, dan mampu melihat pintu bahagia lain yang mungkin terbuka untukku.

Sebuah suara berkumandang. Kuhentikan pikiranku yang keruh. Bangkit aku dari terbaringku, mengambil air wudhu, dan mengadu pada Sang Penciptaku.

Aku telah berusaha untuk merelakanmu
Melepas anganku akan mu
Bebaskan hatimu
juga Hatiku....
Bebaskan hati kita..