*Repost note di FB
Berdiri ia di pinggir jembatan itu, sebuah jembatan tinggi penghubung tepian sungai. Melamun. Pandangan matanya menerawang jauh, menembus dunia masa lalu. Terlihat kosong, sebuah cerminan hatinya yang murung. Sayu tatapannya menghunjam jatuh pada air sungai yang keruh. Manusia silih berganti melewati jembatan itu, namun ia tetap terdiam, mematung. Tak terganggu sedikit pun. Seolah tak nampak baginya kehidupan serta lalu-lalang di atas jembatan itu. Pandangan ingin tahu tiap orang pun tak jua kembalikan kesadarannya ke alam nyata. Seolah jiwanya telah meninggalkan raga yang berdiri dan tetap bergeming itu.
Tak ada seorang pun yang tahu apa yang ia pikirkan kini, tak seorang pun. Hanya dia dan Tuhannya.
Perlahan, matanya serasa hidup. Berkilat untuk sejenak, namun kemudian redup. Diremasnya kedua tangannya erat. Kegalauan selimuti hati dan pikirnya. Rahangnya mengatup keras, menyuarakan gemeletuk gigi yang bergesekan.
Sepasang mata menatapnya heran. Bukan menghakimi dengan pandang menghujat, namun tatap penuh rasa penasaran. Penasaran akan apa yang mungkin terjadi di detik berikutnya. Tentang semua yang mungkin berubah dalam pergerakan sang waktu. Tatap itu tak pernah lepas dari fokus lensa matanya, pada sesosok manusia di tepian jembatan.
Perlahan, tubuh itu bergerak. Dia lepaskan genggaman tangannya. Sejenak, kedua tangan itu terkulai lemas, namun berubah tegas dalam detik berikutnya. Dia genggam tepian jembatan itu erat sebagai penyangga berat tubuhnya. Dia naikkan kakinya satu demi satu, kanan, kemudian kiri. Mula memanjat perlahan pagar jembatan itu. Dicondongkannya tubuhnya seolah menantang angin dingin yang berhembus di pagi yang mendung.
"Di saat semua terasa indah, Nona, kala itulah manusia selalu lupa." Mendengar suara dari sampingnya, ia pun terhenti.
"Ya, di saat semuanya terasa indah, kala itu manusia selalu lupa. Karena itulah Dia memberi sebuah coba agar mereka tidak semena-mena. Hidup adalah masalah, Nona. Semua tergantung bagaimana manusia mampu memandang masalah dari sudut yang berbeda dan menghadapi segalanya meski tubuh dan jiwa mereka penuh luka."
Dia bergeming. Menanti suara susulan dari sampingnya.
"Hidup tak selamanya indah, nona. Terkadang kta harus penuh lumpur, bahkan berlumur darah. Namun, justru semua itu yang membuat hidup lebih bermakna. Manusia hidup bukan untuk mati, melainkan berjuang sekuat tenaga. Mencari hikmah di balik setiap duka. Jangan kau kira hanya kau yang merana dan menganggap ini akhir dunia. Akhir dari semua. Hiduplah sengan indah dan ukirlah kisah yang bermakna selagi kau bisa."
Diam. Hanya semilir angin berhembus menggesek dedaunan lembut.
"Siapa kau?" suaranya tercekat. Hanya tanya itu yang mampu ia utarakan sambil perlahan memalingkan wajah menghadap sumber suara.
"Hanya seorang pengemis tua yang tak begitu berharga." Sosok yang menjadi asal suara itu pun tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan dia yang terhenyak karena kata-kata yang menusuk hatinya.
Ya, hidup tak bisa selamanya indah. Kita tak selalu bisa dapatkan apa yang kita inginkan. Jika kita siap berusaha meraih semuanya, berarti kita juga harus siap untuk kehilangan semuanya.