Sang gadis masih tetap duduk terdiam di depan teras menikmati pergantian suasana itu. Begitu damai, begitu indah, pun terasa begitu mencekam baginya. Entah, mungkin hanya perasaannya saja atau hanya pikiran yang melintas sekilas. Prasangka buruk terus saja berkecamuk di dalam benaknya. Sudah banyak yang dia lakukan untuk menepis semua prasangkanya, namun semua terlihat sia-sia. Seolah pikiran negatif itu akan benar-benar terjadi. Dia tak kuasa menampiknya. Mereka menyerbunya seketika seperti kelam yang menjarah langit ketika matahari tak lagi terlihat.
Dia takut, setakut manusia pada kematian. Namun tenang saja, semua ini tidak ada hubungannya dengan mati. Dia hanya merasa takut akan kehilangan untuk kesekian kalinya. Klise memang.
Bukankah itu wajar? Banyak orang datang dan pergi dari kehidupanku, kan? Aku sudah sering kehilangan orang lain. Lalu untuk apa aku merasakan ketakutan ini?
Pertanyaan itu dia tujukan pada hatinya. Meski telah kehilangan orang yang pernah dekat dengannya di masa lalu, tetap saja, dia tidak pernah terbiasa dengan rasa kehilangan. Sakitnya tetap saja terasa, menusuk dalam dan menekan. Membuatnya sesak napas meski hanya mengingat saat-saat itu. Kini, dia takut rasa sakit yang sama akan menyerbu masuk ke dalam hatinya. Lagi..
"Tak adakah yang bisa meredakan ini? Aku butuh seseorang untuk membuatku tenang, setenang air yang tidak bergelombang. Aku butuh kau. Apa kau tahu itu? Aku butuh kehadiranmu. Aku diam, bukan berarti aku tidak tahu apapun. Aku diam, bukan berarti aku baik-baik saja. Di mana kamu saat ini? Aku rindu perlukmu, aku rindu belaimu. Aku rindu suaramu, lembut pun mampu debarkan jantungku. Aku rindu pandang matamu. Aku rindu kamu, Sayang. Aku diam, bukan berarti aku tak mau menghubungimu. Aku diam, menunggumu hadir dalam kesakitanku. Cepatlah datang, Sayang, atau mungkin aku akan lebih parah dari mati."Malam semakin kelam, langit tiada berbintang. Bulan pun tak menampakkan pucat sinarnya. Mendung, seolah langit ikut merasakan ketakutannya.